Tanggal 23-24 September 2019 kemarin terjadi demonstrasi besar-besaran di beberapa kota di Indonesia, seperti Balikpapan, Bandung, Malang, Medan, Jakarta, Yogyakarta, dan Samarinda (di Mataram juga berlangsung aksi serupa pada 26 September).
Harian The Jakarta Post bahkan menyebutnya sebagai “biggest student movement since 1998”. Aksi mahasiswa terbesar setelah 1998.
Ya, mahasiswa memang menjadi penggerak aksi rakyat tersebut. Sejumlah insiden serta rancangan dan revisi undang-udang menjadi pemicu aksi.
Dimulai dari darurat asap di Sumatera dan Kalimantan, diskriminasi Papua, pengesahan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi oleh Dewan Perwakilan Rakyat—dengan restu pemerintah, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, hingga RUU Ketenagakerjaan dan RUU Pertanahan.
Mereka turun ke jalan tentu bukan tanpa alasan. Sejumlah RUU justru dianggap membahayakan kehidupan demokrasi di Indonesia dan cenderung bersikap lunak terhadap praktik korupsi—hal yang menjadi masalah besar bangsa ini sebelum dan setelah merdeka.
Pada akhirnya, setelah berjibaku dengan aparat yang membawa gas air mata dan water canon, aksi mereka membuahkan hasil. DPR menyatakan akan menunda pengesahan RUU yang dianggap kontroversial.
Belum sesuai tuntutan memang (yang menghendaki pembatalan revisi UU KPK yang sudah disahkan), apalagi ada ketentuan yang menyatakan RUU yang sudah disepakati pemerintah dan DPR tetap dinyatakan sah meski tidak ditandatangani presiden setelah 30 hari berselang.
Tapi, bagaimanapun, setidaknya pintu sudah terbuka. Suara mereka terdengar, meski perjalanan masih panjang.
Di mana-mana, kekuasaan tak bisa dibiarkan melenggang sendiri dan harus ada cermin kritik sebagai penyeimbang. Dan, sejak dulu, suara mahasiswa selalu menjadi cermin paling jernih yang perlu kita jaga bersama.
Toh, peserta aksi kemarin tidak terbatas dari kalangan mahasiswa. Ada juga kelompok petani, buruh, dan pelajar—di sejumlah video terlihat peserta aksi mengenakan seragam putih abu-abu.
Sebagaimana dituturkan Chriestian Rizky, dari serikat pekerja, agenda utamanya mengikuti aksi 24 September di Ibu Kota kemarin adalah menolak revisi UU KPK.
“Ini agenda netral dan objektif demi keberlangsungan generasi anak-cucu kita, direct impact. Tujuannya mengawal KPK dari rongrongan korupsi berjemaah para elite politik,” ucapnya.
Baca juga: Harapan Milenial akan Pemimpin Masa Kini
Ia turun ke jalan untuk memperkuat barisan perjuangan rekan-rekan mahasiswa. Menurutnya, hal ini penting dilakukan untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
“Kita perlu mengawal duit negara dan KPK dari indikasi upaya politik transaksional di Senayan,” pungkasnya. []