Alkisah, terjadi pertemuan Paseban Agung Kerajaan Dwarawati, dengan Maha Raja duduk di singgasana, Raja Sri Bathara Krisna, yang merupakan titisan Dewa Wisnu. Hadir dalam pertemuan itu Patih Udawa, Senopati perang Raden Haryo Setiyaki, dan putra mahkota Kerajaan Dwarawati, Raden Sombo Wisnu Broto.
Ternyata kerajaan Dwarawati kedatangan tamu agung dari kerajaan Mandura. Beliau adalah Raja Baladewa, kakak kandung Raja Dwarawati Sri Bathara Krisna. Setelah jamuan makan malam bersama, Raja Baladewa mengutarakan maksud kedatangannya.
Intinya, beliau menjadi duta Raja Astina Pura, yakni Raja Duryudana, untuk melamar putri kerajaan Dwarawati, yaitu Dewi Wisnuwati. Sang Dewi hendak dinikahkan dengan putra mahkota kerajaan Astina Pura yang bernama Pangeran Sarjo kusumo.
Namun belum sempat lamaran itu dijawab, diterima atau tidak, boleh atau tidak, tiba-tiba datanglah punokawan Madukoro, Petruk Kantong Bolong, menghadap Raja Sri Bathara Krisna. Inti kedatangan Petruk adalah menagih janji kepada raja. Jadi, dahulu, sewaktu ada pemberontakan Raja Pandu Bergolo Manik, Sri Bathara Krisna menyuruh Petruk maju perang untuk melawan pemberontak tersebut.
Petruk menyanggupi, namun punya syarat: kalau menang, kelak ia akan minta “telur” Dwarawati. Betul saja, Petruk berperang melawan Prabu Pandu Bergolo Manik, yang ternyata badar (berubah wujud) menjadi Nolo Gareng, kakaknya sendiri—dan berhasil menang.
Memperebutkan Dewi Wisnuwati
Nah, saat ini, Petruk menagih janji, meminta “telur” Dwarawati. Di sini, yang dimaksud “telur” bukanlah telur ayam, bukan pula telur bebek. Melainkan maksudnya anak perempuan, keturunan Raja Dwarawati yaitu Dewi Wisnuwati. Mendengar maksud Petruk itu, sangat marahlah Prabu Baladewa. Sumpah serapah dan makian keluar dari mulut beliau.
Dengan muka merah, mata terbelalak, sambil menuding-nuding ke muka Petruk, Raja Baladewa berujar, “Petruk orang tua yang tidak tahu diri, cuma punokawan, cuma pembantu, cuma rakyat jelata, cuma kere, berani-beraninya melamar putri raja.”
Namun demikian, Raja Dwarawati adalah titisan Dewa Wisnu yang sangat bijaksana. Sebelum pertikaian dan peperangan terjadi, dipanggillah anaknya, Dewi Wisnuwati, untuk menghadap Ayahanda. Raja Sri Bathara Krisna pun bilang pada putrinya, “Ada dua pelamar, kesatu Pangeran Sarjo Kusumo, putra mahkota kerajaan Astina Pura, dan kedua Petruk Kantong Bolong, punokawan Madukoro.”
Akhirnya Dewi Wisnuwati berkata bersedia dinikahi siapa saja, asalkan pengantin laki-laki bisa membawa tiga pusaka: Jamus Kalimasada, Tombak Karawelang, dan Songsong Tunggul Nogo. Ketiga pusaka itu milik Raja Amarta, yakni Raja Yudistira.
Setelah mendengar pernyataan Dewi Wisnuwati, Prabu Baladewa segera pergi menuju Amarta untuk meminjam ketiga pusaka tersebut. Sedangkan Petruk bergeming. Namun perlu diketahui, Petruk adalah anak Kyai Semar Bodronoyo, ya Sang Hyang Ismoyo, dewa yang menyamar menjadi kawula alit alias punakawan.
Baca Juga: Tragedi Cupu Manik Asta Gino
Petruk tidak ke mana-mana, hanya duduk bersila, bersemedi, dan bermeditasi, dan lalu ketiga pusaka itu datang sendiri sendiri ke hadapan Petruk. Nah, akhir cerita, Petruklah yang memenangkan sayembara dan bisa menikah dengan Dewi Wisnuwati. [Tegalmulyo, Gunungkidul, Rabu Pon, 30 Oktober 2019]
Sugeng enjang kang mas, ceritanya mengingatkan kembali lakon2 pakem d carangan yg pernah kubaca duluuuu banget. Tks selamat berkarya
Ayo, mari bagikan ceritamu ke: redaksi@rehal.id 🙂