Adat ayam ke lesung, adat itik ke pelimbahan. Tegaklah seperti Alif, Nak…

Kata-kata tersebut mengiringi kepergian Ibrahim, memantapkan hatinya untuk menghadapi segala yang terentang di hadapan.

Toh, sejak lama, Ibrahim dikenal keras kepala. Suka membangkang. Mirip dengan kakeknya, Datuk Tan Malaka, yang bersikeras mengirim Ibrahim belajar di sekolah Belanda di Bukittinggi meski pemangku adat yang lain tidak sepakat.

Bagaimanapun juga, Belanda adalah penjajah yang dengan senapan di tangan merampas panen kebun kopi kita, dengan sepucuk surat merenggut sepuluh pemuda untuk ikut kerja paksa.

Dan selanjutnya kisah Ibrahim, yang kemudian dikenal dengan nama Tan Malaka, diisi pembangkangan demi pembangkangan. Ia melepaskan gelar adat, dan melanjutkan sekolah ke tanah penjajah.

Lalu ia meninggalkan sekolah (karena dipersulit dalam ujian keguruan), dan kembali ke tanah air sebagai tenaga pengajar bagi anak-anak buruh perkebunan. Selanjutnya, ia menentang keputusan partai untuk melakukan pemberontakan yang hanya akan mengorbankan rakyat.

Demikianlah sedikit-banyak kisah yang tergambar dalam novel Tan, karya Hendri Teja. Tentu rata-rata kita tak asing lagi dengan nama Tan Malaka. Dia mendapatkan gelar pahlawan nasional di era Orde Lama, tapi dilupakan oleh Orde Baru, dan kemudian kerap dikutip sana-sini di era Reformasi.

Berbagai kontroversi dan misteri mengiringinya. Dari soal posisinya dalam gerakan kiri hingga musabab dan proses kematiannya.

Yang Terlupakan (Lagi)

Namun, dalam novel Tan, dituturkan satu sisi yang belum banyak disorot berkaitan dengan pendiri Partai Murba itu: kiprahnya di dunia pendidikan. Tan tampak memiliki visi-misi pendidikan yang jernih, yang berpihak kepada mereka yang disingkirkan.

Dia ingin agar dalam diri para murid tumbuh pemahaman bahwa kelompok terpelajar wajib membela kaum kromo yang melarat.

Ia bahkan sempat menyelenggarakan sekolah rakyat yang terbilang cukup berkembang di Semarang. Hanya saja memang, pada masa penjajahan yang serba menyesakkan, sulit untuk hidup tenang tanpa terlibat politik.

Tan tak bisa tinggal diam menyaksikan ketidakadilan yang menimpa rakyat. Dia disebut-sebut menggerakkan aksi pemogokan buruh perkebunan dan pelabuhan demi menuntut kesetaraan dan peningkatan upah.

Jadilah ia diburu pemerintah kolonial, dan hidup berpindah-pindah dari satu kota ke lain desa. Begitu terus. Masuk penjara pun tak membikin ia jera. Malah perlawanannya semakin sengit.

Ia telaten merapatkan barisan demi mimpi tentang sebuah bangsa yang menentukan masa depannya sendiri.

Toh, dalam novel Tan, bukan hanya dikisahkan tentang yang politik dari kehidupan seorang pejuang, melainkan juga romantikanya yang pelik.

Kita dibawa menyelami cinta segitiga antara Hendrik, Fenny, dan Ibrahim. Kemudian ada Enur, gadis desa yang jatuh hati pada Tan—dan baru di saat-saat akhir ia menyadari perasaannya.

Alhasil, pembaca sedikit-banyak dapat lebih mengenal sisi pribadi Tan Malaka.

Selain itu, kita dapat menangkap nuansa polemik yang sejak lama diperdebatkan dalam kontestasi ideologi politik: tarik ulur antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

Dan Tan Malaka, lewat sikapnya, menegaskan betapa “aku” (yang pribadi) hanya bermakna di dalam “kita” (yang umum). []

Judul Buku: Tan (Sebuah Novel)
Penulis: Hendri Teja
Penerbit: Javanica
Cetakan: Pertama, Februari 2016
Tebal: 429 hlm
Satya Wibisana
Author: Satya Wibisana

One thought on “<span style='color:#ff0000;font-size:16px;'>Buku</span> <h/1> <span style='font-size:14px;'><h3>Sang Pembangkang</h3>”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *