“Obat ini wes ta’ minum belum, ya? Rasanya sudah. Tapi, kok, masih di sini. Harusnya obat yang sudah diminum itu disimpan dalam laci. Ah, mungkin saya lupa masukkan laci … Lupa masukkan laci, apa lupa ta’ minum, ya? Piye tho aku ini? Nanya sendiri. Bingung sendiri.”

Percakapan menggelitik itu dilontarkan The Sin Nio di awal film Sepinya Sepi. Sekaligus deret kalimat itu menggarisbawahi pelik jenakanya persoalan yang dihadapi manusia sepanjang kehidupan: melawan lupa dan/atau menjaga ingatan. Mulai dari hal-hal kecil seperti sudah minum obat atau belum, hingga kisah-kisah heroisme dalam meraih, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan.

Sepinya Sepi merupakan bagian dari seri monolog “Di Tepi Sejarah” persembahan Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru Direktorat Jenderal Kebudayaan bersama Titimangsa Foundation dan Kawankawan Media. Dengan arahan Happy Salma, Yulia Evina Bhara, Heliana Sinaga, Ahda Imran, dan Yosep Anggi Noen, film ini berhasil menghadirkan pengalaman baru—setidaknya bagi saya—dalam menikmati film sekaligus teater.

Betapa tidak, monolog berdurasi setengah jam umumnya sangat mudah membuat saya bosan. Tapi Sepinya Sepi cukup berhasil mengusir bosan itu dengan tata artistik, elemen-elemen musik, kalimat-kalimat monolog yang mengusik, dan tentu akting yang menyentuh.

Dalam hal terakhir, sosok Laura Basuki—yang berperan sebagai The Sin Nio—berperan penting menyalurkan emosi ke dalam diri saya. Dan seperti di banyak filmnya yang lain, semisal “3 Hati, Dua Dunia, Satu Cinta”, dia mampu meluapkan pergolakan batin yang bersifat personal menjadi perasaan yang universal, yang membuat saya tertawa atau berkaca-kaca.

Secara sederhana, Sepinya Sepi bercerita tentang sosok perempuan keturunan Tionghoa asal Wonosobo, Jawa Tengah, bernama The Sin Nio. Dia ingin ikut angkat senjata melawan penjajah di zaman perang kemerdekaan Indonesia.

Di titik ini saja, The Sin Nio sudah menghadapi dua persoalan pelik berkaitan dengan identitasnya. Pertama, dia perempuan, yang dianggap baiknya di rumah saja. Karena perang dan revolusi adalah milik para lelaki. Kedua, dia Tionghoa, yang dianggap orang luar—bukan “asli” Indonesia. Salah-salah disangka mata-mata NICA Belanda.

Mendengar penuturan The Sin Nio, tak terbayangkan situasi mengerikan yang dihadapinya pada era revolusi 1945 tersebut. Kata dia, revolusi seperti api yang ditiup angin ke pohon-pohon kering, membakar apa saja. Semua orang jadi penuh kebencian.

Ada cerita ketika satu orang berkhianat dan menjadi mata-mata Belanda, orang Tionghoa satu desa dibunuh. Tapi The Sin Nio ndak takut. Saya tetap kepingin ikut perang dan bergabung dengan tentara Republik. Sebab, dia merasa bukan hanya Tionghoa, melainkan juga Indonesia. Dia ingin mengusir penjajah yang sudah menginjak-injak tanah airnya.

Terlebih lagi, berdasarkan informasi yang dia terima, Belanda sengaja mengadu domba orang pribumi dan Tionghoa. Rakyat dihasut, orang Tionghoa dijadikan umpan. Belanda ingin menunjukkan bahwa tidak ada yang namanya tentara Republik, yang ada hanya gerombolan pengacau dan pembunuh.

Maka The Sin Nio membulatkan tekad untuk ikut menjadi tentara. Tak peduli keluarga menentangnya. Dia pilih angkat senjata. Dipakainya kain panjang melilit dada, erat dan rata, lalu dikenakannya seragam. Karena revolusi adalah milik para lelaki, maka jadi lelakilah aku. Karena revolusi penuh kecurigaan dan kebencian, maka aku sekarang adalah lelaki Jawa bernama Moechamad Moechsin.

Ya, untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan, The Sin Nio berubah menjadi seseorang yang bukan dirinya. Ibaratnya, dialah Mulan dari Wonosobo. Luar biasa bukan? Jika sosok Mulan yang difilmkan oleh Disney bersumber dari kisah legenda Negeri Tirai Bambu abad 4-5 Masehi, The Sin Nio adalah tokoh nyata yang hidup di zaman perang Indonesia melawan penjajah.

Dan dia memilih “terlibat” dalam sejarah, ikut angkat senjata, terjun langsung ke medan perang. Bisa kita bayangkan pengorbanan yang diberikan The Sin Nio untuk tanai airnya: Indonesia. Bukan sebatas harta atau nyawa, melainkan “identitas” hidupnya.

Sayang memang sosok The Sin Nio belum sepopuler Mulan, yang ceritanya direproduksi hingga kancah internasional. Namun, inspirasi yang diberikan The Sin Nio terbukti dapat melampaui zaman, menembus ruang dan waktu.

Lihat saja Sepinya Sepi. Meski dipenuhi nada-nada pilu tentang kesepian yang dirasakan seorang pejuang veteran—yang telah memberikan segalanya dan siap tidak menerima apa-apa—film ini menguraikan bahwa sekecil apa pun nyala api kehidupan meski tetap dijaga.

The Sin Nio tidak menuntut banyak. Padahal dia sudah kehilangan banyak. Saat dia bergerilya, adiknya ternyata dibunuh entah oleh laskar atau gerombolan liar yang marah karena ada orang Tionghoa yang dianggap menjadi mata-mata Belanda. Menyedihkan.

Bagaimanapun, The Sin Nio setelah kemerdekaan hanya ingin meminta surat pengakuan masa lalu dari negara. Sebab, masa lalu itu adalah sejarah hidupnya. Dia menolak menjadi obat yang dilupakan sudah diminum atau belum. Dia sekadar ingin mengingatkan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hasil jerih payah seluruh elemen bangsa, termasuk dia yang berdarah Tionghoa. Dengan demikian, semestinya kemerdekaan ini berhak dinikmati seluruh rakyat Indonesia.

Untuk menjaga ingatan akan sejarah hidupnya, The Sin Nio rela datang ke Jakarta dari Wonosobo, berpisah lagi dengan keluarga, dengan suami dan anak-anaknya. Tak dia sangka, tidak semudah itu untuk mendapatkan surat pengakuan masa lalu dari negara. Tidak semudah saat dirinya memutuskan ikut berperang demi membela negeri tercinta.

Dia terkatung-katung di Ibu Kota. Sampai tiga tahun The Sin Nio masih belum juga mendapatkan haknya. Sementara, bekalnya sudah habis. Dia terpaksa hidup dari pemberian teman seperjuangan. Numpang tidur di kantor veteran, atau di masjid.

Ada kalanya terpikir untuk pulang, tapi dia menolak menyerah dan tak ingin merepotkan anak-cucunya.Dia sadar, mungkin para pejabat negara heran ada pejuang mengaku bernama Moechamad Moechsin, tapi perempuan. Orang Tionghoa lagi.

Namun dia tidak ingin menyerah. Dia percaya Tuhan akan mendengar doanya. Sampai suatu hari, The Sin Nio berkesempatan menghadiri sebuah acara bersama teman-teman veteran. Dan, di sana dia bertemu dengan istri presiden.

“Bayangkan saya berjabatan dengan beliau dan pakai seragam ini. Lha, kok ya saya berani-beraninya nanya ke beliau soal surat keputusan masa lalu saya,” The Sin Nio bercerita dengan semringah.

Dia pun masih ingat, ibu negara merespons dengan senyum-senyum seraya berkata, “Iya, nanti.”

Dan ternyata empat bulan kemudian, surat keputusan masa lalu The Sin Nio benar-benar terbit. Dia tampak sangat bangga dan haru—saya sampai menitikkan air mata melihat adegan ini, meski tidak sedang mengiris bawang. Betapa masa lalu, sejarah hidup, bisa begitu penting bagi seseorang, dan juga bagi orang lain sebagai pembelajaran.

Bagaimanapun, Sepinya Sepi berhasil mengaduk-ngaduk emosi saya. Apalagi saat kemudian The Sin Nio bercerita, setelah surat keputusannya keluar, dia tidak mendapatkan apa-apa lagi. Belum ada uangnya. Dia masih harus menunggu bertahun-tahun sampai akhirnya mendapat Rp 28 ribu sebulan.

“Mau bilang ndak cukup kok rasanya rak pantes, malu sama Gusti Allah. Kayak ndak mensyukuri. Ya sudah, yang penting saya sudah mendapatkan masa lalu saya,” ucapnya

Saya seperti masih ingin menangis mendengar kalimat itu, tapi senang juga melihat The Sin Nio akhirnya mendapatkan haknya. Sekaligus, agak miris ya melihat bagaimana negara menghargai jasa para pahlawan.

Yang pasti The Sin Nio memberikan pelajaran penting. Dia sadar dirinya bukan seperti orang Tionghoa kesohor lainnya yang ikut membela kemerdekaan. Dia hanya perempuan Tionghoa yang sudah tua. Bekas prajurit yang ke sana-kemari pakai baju tentara kayak orang ndak waras. Namun tidak ada yang dia sesali. Dia tidak takut dilupakan. Yang penting saya sudah menjalankan kewajiban atas apa yang saya yakini.

Jelas tak mudah berpegang teguh pada keyakinan semacam ini. Apalagi mengingat, selain sulit mendapatkan pengakuan negara, The Sin Nio tak selalu menerima respons menyenangkan dari orang-orang sekitar. Saat jalan-jalan ke luar rumah petaknya di pinggiran rel kereta api, sering kali The Sin Nio diikuti anak-anak kampung, disoraki.

“Bukan cuma anak-anak, banyak orang menganggap saya kurang waras. Setiap hari pakai baju tentara. Tulisan namanya Moechsin, tapi yang pakai perempuan tua. Pernah juga di satu kantor yang bagus, ada tentara bentak-bentak saya. Dipikir saya ini pengemis.”

Toh, tak peduli apa yang dihadapi, The Sin Nio kukuh melangkah di jalan pedangnya. Bagi saya, ini merupakan wujud kecantikan sejati seorang perempuan. Melangkah yakin tak tergoyahkan di jalan yang penuh pengorbanan. Dan setelah segala yang dialami, dia tak lupa bersyukur pada Tuhan atas hidup yang diberi. Hidup yang sangat berarti.

Satu hal yang saya rasa kurang dari Sepinya Sepi, yaitu tidak adanya subtitle dalam film. Padahal, mengingat konsepnya sebagai film yang bisa ditonton di mana saja, kapan saja—termasuk di kamar lewat gadget dengan mengakses situs Indonesiana.tv, sembari makan camilan—keberadaan subtitle menurut saya cukup penting untuk memastikan pesan yang dilontarkan dalam film dapat diterima oleh penonton. Apalagi dalam film monolog yang notabene bertumpu pada kekuatan kata-kata yang disampaikan tokoh utama.

Saya beberapa kali harus memutar ulang adengan dalam film karena merasa melewatkan kalimat-kalimat yang dituturkan The Sin Nio. Tentu ini pengalaman yang kurang menyenangkan dalam menonton film. Toh, pengalaman ini pun membuat saya sadar bahwa tidak mudah memang untuk menjaga ingatan. Jangankan atas sejarah masa lalu yang terjadi puluhan tahun silam, peristiwa yang baru terjadi beberapa detik saja bisa dengan mudah dilupakan.

Memang, sudah takdirnya manusia menjadi tempat salah dan lupa. Hanya, seperti diingatkan The Sin Nio, kita tidak boleh menyerah. Hidup harus dijalani dengan penuh keyakinan, tanpa pamrih, dan rasa syukur.

Terima kasih Sepinya Sepi. Terima kasih The Sin Nio. Selamat.[]

Redaksi
Author: Redaksi

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *