Manja Sus, nama yang familier di ranah politik Sumbawa dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Beliau tokoh senior Partai Golkar, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sumbawa periode 1999-2009, dan juga pernah duduk sebagai anggota DPRD Provinsi NTB (2013-2014).

Karena itu, beliau pun identik dengan politik dan orang-orang menempatkannya sebagai pesohor karena politik. Tak banyak yang tahu bahwa sesungguhnya tokoh berambut gondrong ini seniman sastra dan teater.

Bahkan, sedikit yang menyadari bahwa melenggangnya beliau untuk pertama kali sebagai wakil rakyat dari wilayah timur Kabupaten Sumbawa adalah untuk memenuhi harapan keterwakilan golongan seniman di DPRD. Manja Sus merupakan warga Taliwang, Kabupaten Sumbawa Barat, yang sejak 1966 pindah ke Kecamatan Empang di wilayah timur Kabupaten Sumbawa. Ia pindah karena diterima sebagai guru bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Pertama Negeri Empang.

Sejak tinggal di sana, Manja Sus mulai menggelar pentas-pentas puisi dan drama kecil-kecilan—entah bersifat tunggal ataupun menjadi sisipan dalam rangkaian pentas hari besar nasional. Di samping karya sendiri, puisi atau drama yang dipentaskan Manja Sus biasanya dikutip atau hasil saduran dari karya-karya yang termuat dalam Majalah Sastra Horison, yang memang menjadi langganannya saat itu.

Khusus untuk pementasan drama, Manja Sus membangun kelompok drama kecil bersama teman-teman guru SMPN Empang dan guru-guru sekolah lain di Empang. Selain menjadi pemain, Manja Sus bertindak sebagai penulis skenario dan sutradara. Lapangan sepak bola Kecamatan Empang adalah lokasi yang paling sering digunakan untuk pentas tunggal kelompok drama Manja Sus cs.

Biasanya, durasi per pentas mencapai satu jam dan terbagi atas tiga sampai empat babak. Dari obrolan dengan beliau, masih jelas dalam ingatan bagaimana antusiasnya warga Empang menonton. Maklum, pentas drama merupakan sesuatu yang baru di Empang saat itu. Ditambah lagi hiburan masih sangat minim.

Banyak judul puisi dan drama karyanya, namun sayang Manja Sus tidak pernah menyimpan arsip naskah atau dokumentasinya. Naskah drama yang masih ia ingat adalah “Copet”, “Abu Jahal”, dan “Lotre”. Drama “Lotre” dipentaskan sebagai refleksi atas maraknya judi lotre atau judi buntut di Indonesia saat itu, termasuk di Empang.

Bagi Manja Sus, naskah puisi atau drama haruslah mewakili suasana kehidupan manusia saat itu dan memberikan pesan-pesan perubahan bagi kebaikan kehidupan di masa yang akan datang. Kelompok drama Manja Sus cs pernah pula mengikuti lomba teater yang diselenggarakan di Lapangan Pahlawan, Kota Sumbawa Besar. Saat itu, mereka mengangkat tema ibu yang kejam. Mereka berhasil menggondol juara pertama.

Lewat pentas drama inilah untuk pertama kalinya Manja Sus mengenal sosok Dinullah Rayes. Sastrawan nasional asal Sumbawa tersebut bertugas sebagai juri.

Aktivitas pentas puisi dan drama Manja Sus berlangsung hingga tahun 1982. Sejak 1983 sampai 1998, ia lebih fokus menjadi pembina dan insiator kegiatan seni budaya Kecamatan Empang, sebab dalam rentang waktu tersebut dirinya dipercaya menjadi Penilik Kebudayaan di Kantor Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Empang.

Sebagai Penilik Kebudayaan, Manja Sus banyak terlibat dalam usaha-usaha memajukan seni budaya tradisional. Tercatat pada 1988, ia ikut membawa kelompok tari anak-anak sekolah dasar (SD) Kecamatan Empang ke ajang Lomba Tari Daerah Tingkat SD se-NTB di Mataram. Sebagai utusan Kabupaten Sumbawa, kelompok tari tersebut berhasil meraih juara umum.

Manja Sus pun pernah ikut memunculkan karya tari kreasi baru garapan maestro tari Sumbawa asal Empang, Ibu Darmawan Syamsuddin, dalam pentas di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Untuk memesan versi cetak buku Pertemuan di Simpang Zaman, klik: s.id/rehal. Untuk membeli versi elektronik, klik: s.id/pdsz.

Kesibukan sebagai anggota DPRD plus pengurus partai dan sebagai orang politik secara umum telah semakin menjauhkan dirinya dari dunia puisi dan drama. Sejak 1999, ia nyaris tak pernah lagi menulis puisi, naskah drama, apalagi tampil dalam pentas.

Tahun 2006 adalah tahun-tahun intens Manja Sus dekat, bertemu, mengobrol, berdiskusi, dan merancang-rancang rencana pengembangan seni budaya dengan saya, teman muda sekaligus anak didik seni dan budayanya. Dalam intensitas tersebut, kami kerap berbalas sajak lewat pesan singkat di ponsel. Itulah titik balik kreativitas berpuisi Manja Sus. Ia mulai menulis puisi lagi.

Saya selalu mencatat ulang puisi-puisi Manja Sus dan menyimpannya. Ada dua puluh satu judul, yang akhirnya semua saya masukkan menjadi kontribusi sang penyair dalam antologi ini.

Sayang, Manja Sus terlalu larut dengan aktivitas politik. Setelah hanya dua puluh satu sajak, ia tak pernah lagi menyisihkan waktu untuk menulis. Barulah pada 2018, ketika kami berencana membangun lembaga pengembangan seni budaya, beliau saya pancing lagi untuk mau mengorek-ngorek kertas. Lahirlah satu karyanya.

Alhasil, ada dua puluh dua judul sajak yang kini bisa kita baca dari seniman dan budayawan Sumbawa Timur ini. Jumlah yang terbilang sedikit, dengan tema-tema yang terbatas pula. Tapi kita mesti ingat bahwa hebatnya seorang sastrawan tidak cuma diperhitungkan dari segi kuantitas karya. Ada sisi kualitas yang harus pula dipentingkan, baik kualitas pengungkapan maupun kualitas pesan yang terkandung di dalamnya.

Kualitas pengungkapan yang baik akan menjadikan karya diakui sebagai karya bernilai tinggi, menurut standar-standar mutu sastra yang sahih. Kualitas pesannya akan membuat karya sastra menjadi asupan yang baik bagi jiwa, bagi pembangunan spiritual manusia, bahkan dapat menjadi sebab perubahan positif masyarakat dan zaman.

Dua puluh dua sajak Manja Sus saya yakini memiliki kualitas pengungkapan sastra dan kualitas pesan yang baik. Ada pesan sosial dari cetusan pikiran dan perasaan seorang politisi. Paling minim ada pesan pribadi seorang suami pada istrinya. Pesan-pesan sederhana yang kalau kita ingat fungsi pewakilan puisi, akan jadi pula pesan bagi politisi lain, bagi suami lain—pesan-pesan yang sarat nilai.

Lagi pula, nilai puisi baru akan jelas setelah sampai ke tangan pembaca. Dan ini tujuan saya merangkum sajak Manja Sus: Mengajak Anda membaca, lalu mendengar Anda menilai, selanjutnya kita beradu pendapat. Karya Manja Sus sudah pantas untuk dibicarakan.

Kata pengantar ini mungkin telah terjebak dalam ulasan tentang Manja Sus. Tapi apalah pentingnya saya mengulas diri sendiri. Toh, saya hidup di zaman kini, masih aktif berpuisi dan paling tidak membagikannya di media sosial. Sedangkan Manja Sus adalah masa lalu dalam tinjauan masyarakat sastra Sumbawa, terlebih bagi yang muda. Akibatnya, mungkin ia sudah
dilupakan. Inilah bencana yang berbahaya.

Melupakan Manja Sus sebagai seorang seniman sastra dan drama sama saja dengan memangkas sejarah kelahiran dan perkembangan seni budaya di Kabupaten Sumbawa. Bersamaan dengan terpangkasnya sejarah itu, gugurlah pula buah-buah karya dan pemikiran sastra beliau yang semestinya tetap sampai pada kita, dinikmati dan menjadi asupan pengetahuan dan spiritual, hingga generasi-generasi setelah kita.

Dengan buku antologi puisi ini, saya sedang mengantisipasi bencana ini, seraya berharap Anda termasuk orang yang sepaham. Kita bersama, tegak melawan lupa.[]

Yin Ude
Author: Yin Ude

Yin Ude, lahir di Empang, Sumbawa, 1 Januari 1978. Aktif menulis dan memublikasikan cerpen, artikel dan puisinya sejak tahun 1997, yang termuat di media lokal dan luar Sumbawa, seperti Sumbawa Ekspress, Sumbawa Post, Gaung NTB, dan Lombok Post.

By Yin Ude

Yin Ude, lahir di Empang, Sumbawa, 1 Januari 1978. Aktif menulis dan memublikasikan cerpen, artikel dan puisinya sejak tahun 1997, yang termuat di media lokal dan luar Sumbawa, seperti Sumbawa Ekspress, Sumbawa Post, Gaung NTB, dan Lombok Post.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *