Tapi jika kalian bertanya kepadaku, untuk masalah-masalah mendasar, orang Kristen biasa dan orang Muslim biasa memiliki kesamaan lebih banyak dibandingkan antara mereka dan imam agama mereka.

Kalimat tersebut dituturkan Kerra, istri Maulana Jalaluddin, yang sebelum menikah memeluk Kristen dan setelah menikah masih kerap merindukan Maria.

Sebagai istri ulama terkenal, Kerra dihadapkan pada kebingungan. Di satu sisi, orang-orang menuntut dia yang mualaf untuk terus membuktikan keimanannya—secara harfiah ini berarti menjalankan syariah. Di sisi lain, justru dari suaminya, yang sering dipanggil dengan nama Rumi, ia belajar betapa setiap orang punya jalan masing-masing untuk menemukan dan mencintai Tuhan.

Kebingungan-kebingungan semacam inilah yang dirajut dengan telaten oleh Elif Shafak, penulis Turki, dalam novel Empat Puluh Kaidah Cinta (Kepustakaan Populer Gramedia, 2014). Ia memperlihatkan bagaimana pengalaman dan pemahaman keberagamaan bisa demikian paradoksal, dan bagaimana kita kerap terjebak memahami kebenaran dengan K besar.

Yang ditelisik Shafak kali ini adalah titik balik kehidupan Rumi dari awalnya, katakanlah, ulama konvensional menjadi penyair mistik. Perjumpaan Rumi dengan Syams Tabriz, darwis pengembara, mendapatkan porsi terbesar dalam cerita. Selain itu, dikisahkan pula perubahan yang dialami Ella Rubinstein setelah menyimak kisah Rumi dan Syams.

Jadi, bertahun-tahun Ella menjadi ibu-rumah-tangga-yang-baik demi mempertahankan pernikahan meski sejak lama mencium gelagat perselingkuhan suaminya. Ia takut dan cemas menghadapi kenyataan dan memilih untuk berusaha mengabaikannya—menganggap perselingkuhan suaminya sebagai kekhilafan insidental, meski terjadi berulang kali dan masih terus terjadi.

Baru setelah menelusuri jejak Syams dan Rumi, Ella punya nyali untuk merangkul kenyataan. Perlahan ia memahami, andai memang perpisahan harus terjadi, karena itu yang terbaik untuk keluarganya, maka terjadilah. Tentu pada mulanya semua tidak akan baik-baik saja, tapi ia mulai yakin bahwa kenyataan hidup memiliki mekanisme sendiri untuk memulihkan keadaan.

Dari Syam dan Rumi juga Ella belajar tentang makna cinta dari sudut pandang berbeda. Baik itu cinta terhadap diri sendiri, sesama manusia, sesama makhluk, dan juga Tuhan. Bagaimanapun, persis pada titik (cinta) itulah Syams menghantam Rumi, menunjukkan kepada dia dunia yang lain yang selama ini tak pernah disambanginya.

Dalam berdakwah, Rumi memang sudah selalu menekankan kelembutan. Tapi ini jenis kelembutan yang di mata Syams terlampau elitis. Dia misalnya berkhotbah soal kesabaran dalam menghadapi penderitaan. Khotbahnya demikian lembut hingga seorang pengemis yang menderita kusta bernama Hasan mangkel dan menggerutu, “Apa yang Rumi tahu soal penderitaan? Dia anak pemuka agama dan pewaris keluarga kaya.” Toh, Syams tetap mengagumi Rumi dengan kasihnya yang tak berujung dan luar biasa.

Satu-satunya persoalan hanyalah keberjarakan. Lihat saja saat keduanya pertama berjumpa di mana Rumi sedang naik kuda, sementara Syams berjalan kaki dan menyapanya. Sewaktu Syams hendak mengajukan pertanyaan, Rumi mempersilakan tapi sambil tetap duduk bergeming di atas kuda. Bahkan saat diminta Syams untuk turun dari kuda agar sama tinggi, Rumi perlu waktu sejenak karena wajahnya terasa terbakar dan perutnya berpilin (tak pernah ada yang berani memintanya seperti itu sebelumnya).

Sedikit-banyak, keberjarakan pun masih menjadi problem kehidupan beragama hari ini. Sebagian kita percaya setiap agama mengajarkan kebaikan, sebagian lagi menganggap agamanya paling oke, sebagian lainnya terbiasa mengamini segala kata pemuka agamanya. Namun semua sama-sama masih terjebak dalam jarak yang tak kasatmata tapi terentang lebar antara “bentuk dan isi”, “luar dan dalam”.

Maka, Syams berkawan dengan pengemis, pelacur, dan pemabuk—kelompok yang sebelumnya tak tampak di mata Rumi. Dan, dia menentang mentah-mentah, bahkan cenderung mengejek, segala formalitas yang beku dan fanatik dalam beragama, apalagi jika formalitas itu hanya menguntungkan penguasa. Simak saja ketika dia “berbincang” dengan Hakim Tinggi di Baghdad soal kehidupan beragama.

Dengan tajam Syams mengutip kisah Musa yang menegur seorang penggembala karena berdoa menggunakan “kalimat” yang salah. Lalu, malamnya Musa mendengar suara Tuhan: “Dia (penggembala itu) mungkin tidak mengatakan hal yang benar dengan cara yang benar, tapi dia tulus… Aku senang dengannya…”

Begitulah. Novel ini menarik untuk disimak karena kita kini hidup dalam abad di mana ada banyak, dan tampaknya semakin banyak saja, orang yang senang menyibukkan (dan mungkin menghidupi) diri dengan menilai cara orang lain berhubungan dengan Tuhan. [Red]

Judul Buku: Empat Puluh Kaidah Cinta Penulis: Elif Shafak Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (Mei, 2014) Halaman: vi + 492
Redaksi
Author: Redaksi

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *