Momen Pemilihan Umum 2019 terasa amat sengit, bahkan mungkin paling sengit, terutama bagi generasi yang pada 1990-an masih mengenyam pendidikan dasar dan juga generasi setelahnya. Sebab, bagi angkatan sebelumnya, ada momen lebih panas dengan konflik lebih runcing. Pun kini perbedaan pilihan politik—untuk tidak menyebutnya perpecahan—begitu kentara. Mulai dalam hubungan dengan teman lama, tetangga, rekan kerja, hingga keluarga.

Di media sosial, suasana tampak lebih bergejolak. Ada yang saling ejek, saling sindir, saling hina, juga saling maki. Lengkap. Semua membela kubu masing-masing. Seolah jika kubunya menang, hidup pasti berubah auto-mudah. Puncaknya, boleh jadi berlangsung pada 21-22 Mei 2019 lewat aksi turun ke jalan di Ibu Kota untuk menolak hasil penghitungan suara Pemilihan Presiden 2019. 

Dalam aksi itu, diberitakan 8 orang meninggal (termasuk 3 remaja usia 16-19 tahun) dan 700 lebih luka-luka. Bukan main pilunya. Di satu sisi, muncul pendapat yang menyebutkan fenomena tersebut sebagai tanda masyarakat kita semakin melek dan cerdas secara politik. Penguasa tak bisa lagi semena-mena mengatur hajat hidup orang banyak untuk kepentingan orang sedikit. Namun di sisi lain, hal itu menandakan masyarakat kita masih gampang sekali terjebak dalam jargon dan intrik politik praktis. 

Padahal, jika mau sejenak bertanya pada diri sendiri saja, kita akan terkejut terheran-heran memikirkan untuk apa semua kegaduhan itu? Coba ingat-ingat lagi: Sejak kapan pemilu kita, di Indonesia, baik era Reformasi, Orde Baru, maupun Orde Lama, sanggup menghasilkan perubahan signifikan untuk mewujudkan angan-angan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?

Terbaik dari yang Terburuk: Sebuah Mitos
Bagaimanapun, setiap kontestasi (termasuk pemilu) selalu ditujukan untuk mencari pemenang. Orang arif sering mengatakan pemenang ini belum tentu sosok terbaik, tapi minimal tidak buruk-buruk amat (paling tidak mengalahkan yang lebih buruk). Di sinilah politik dengan licin menciptakan mitos, lalu memerangkap imajinasi kita tentang baik-buruk dan juga kalah-menang.

Sebab, “tidak buruk-buruk amat” itu nilainya sepadan dengan “tidak baik-baik banget”. Dan, seorang pemenang yang “belum tentu sosok terbaik” sama artinya dengan “bukan pemenang”, alias “si kalah”. Soalnya, hal itu menunjukkan masih ada yang lebih baik darinya.

Lho, kenapa tidak ada hasil imbang? Karena sejatinya, bagi orang yang mengincar kemenangan, “hasil imbang” itu berarti “kalah”. Iya, kan? Bayangkan Anda dan teman-teman duduk di bangku kuliah semester 1, lalu main bermain bola dengan para sepuh angkatan si mbah, dan ternyata hasilnya imbang. Apa Anda tidak akan merasa kalah?

Saya tidak akan menyebut siapa yang mahasiswa semester 1 dan siapa yang angkatan si mbah dalam konteks pemilu Indonesia. Tapi jelas, imajinasi kita soal baik-buruk dan menang kalah kini tengah dibikin lindap.

Kenyataannya, jika menonton pertandingan sedari awal, kita bisa melihat dengan gamblang siapa yang menguasai lapangan, sanggup mengembangkan permainan, dan bisa mendikte ke mana lawan harus bergerak. Bahkan ketika kemudian wasit sudah meniup peluit akhir, hasil pertandingan pun telah ditetapkan, mereka masih bisa meminta waktu tambahan (yang dalam hal ini sesuai aturan—setelah sebelumnya penonton di tribun sempat rusuh) untuk meninjau ulang jalannya pertandingan.

Setidaknya, mereka bisa menunda lawan berpesta pora merayakan kemenangan. Atau, seiyanya, mereka bisa mengajukan posisi tawar untuk bermusyawarah. Alhasil, terlepas dari apa pun yang diputuskan saat ketuk palu di MK, mereka inilah yang pada akhirnya menjadi juara. Bagaimana tidak? Mereka dapat membuat pemenang tidak tenang dan terus waswas sampai detik terakhir, bahkan mungkin hingga setelah pertandingan dinyatakan usai dan pemenang sudah mengalungi medali nanti. Mantap jiwa.

Sekarang saja sudah berembus angin segar skema rekonsiliasi dengan berbagi harta kemenangan demi menjaga perdamaian. Ya, niatnya bagus, sih. Namun hal ini sekaligus menegaskan kekalahan sang pemenang serta kegagalannya mengukuhkan diri sebagai pemenang. 

Agar Tak Sia-Sia Menjadi Penonton
Lalu, kalau sudah begitu, siapa yang tidak kebagian apa-apa dan hanya mendapatkan lelah—dengan jumlah teman yang berkurang, energi dan waktu yang terbuang percuma, juga cicilan yang tidak kunjung lunas? Jawabannya, tentu saja para penonton. Di mana-mana, yang namanya penonton itu cuma kebagian nilai hiburan disertai dengan luapan emosinya: rasa senang, bangga, sedih, sebal, kesal, dan semacamnya. 

Dan, bagian yang paling epik, untuk bisa mengecap semua itu penonton harus merogoh kocek sendiri—mengeluarkan uang buat membayar tiket. Nah, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, penonton ini adalah rakyat jelata alias sobat missqueen semua.

Serius. Siapa pun yang nanti jadi juaranya, entah itu juara di hati, juara tanpa mahkota, juara bertahan, atau juara yang diketahui malaikat, bisa dipastikan besoknya Anda tetap harus membanting tulang dan memeras keringat. Capek? Sudah pasti. Apakah sosok yang Anda dukung peduli? Belum tentu (malah saya yakin tidak bakal).

Pada titik inilah terlihat jelas betapa kita, penonton pada umumnya, masih sangat gagap memahami politik (dan masa lalu). Lihat saja, “program” dan jargon yang diusung masih sama, atau setidaknya belum banyak beranjak, dari zaman kakek saya gebuk-gebukan dengan Belanda. Selalu berupa narasi besar seputar anti-asing, anti-komunisme, atau kawan-kawan sepermainannya.

Bukan saya menganggap persoalan itu tidak penting, tapi setelah semuanya, kenapa belum ada yang berani muncul dengan tawaran lebih riil? Ya, memang sih, di kancah yang lebih sempit sudah ada perkembangan. Ada yang maju dengan program rumah tanpa uang muka. Menurut saya, ini positif dalam konteks “menjual program konkret”, meski sampai sekarang saya masih sering garuk-garuk kepala saat mendengarnya.

Yang lebih bikin mangkel, saat penonton di tribun masih berkutat dengan emosinya—tak jarang saling lempar botol—manajer di lapangan sudah salaman dan/atau berpelukan. Para pemain tampak bercengkerama akrab, bertukar kaus. Kutu kupret.

Yah, mungkin pada akhirnya penonton memang hanya dapat pasrah menerima kenyataan, puas menyaksikan pertandingan yang disuguhkan. Sedangkan yang menikmati rumah gedong serta mobil mewah adalah para pemain dan manajer (lebih enak jadi penonton bayaran, ya, biar cuma dapat nasi bungkus atau nasi kotak). 

Padahal, penonton bersatu tak bisa dikalahkan, sayup-sayup katanya. []

Satya Wibisana, editor buku dan penulis paruh waktu.

Satya Wibisana
Author: Satya Wibisana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *