Berpuasa dengan kesungguhan adalah jalan menuju taqwa, karena puasa bisa mencegah dusta. Dan dusta sesungguhnya hanya dimiliki oleh mereka—para hipokrit alias orang munafik, yang dalam Al-Quran digambarkan sebagai pendusta.
Namun, mereka berpenampilan mengagumkan, bertutur kata memukau, dan selalu sensitif dengan mengira setiap teriakan keras ditujukan kepada mereka.
Hadis Bukhari meriwayatkan ciri-ciri kemunafikan adalah berbohong, ingkar janji, dan berkhianat.
Allah SWT pun berfirman: “Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, satu dengan yang lain adalah (sama), mereka menyuruh (berbuat) yang mungkar dan mencegah (perbuatan) yang makruf dan mereka menggenggamkan tangannya (kikir). Mereka telah melupakan Allah, maka Allah melupakan mereka (pula). Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik.” (QS. At-Taubah: 67)
Sementara itu, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menggambarkan kalau orang-orang mukmin selalu memerintahkan pada kebajikan dan melarang perbuatan mungkar.
Maka, orang-orang munafik mempunyai ciri khas tidak mau menginfakkan hartanya di jalan Allah dan juga berzikir kepada Allah. Itu yang menandakan mereka sama dengan kaum fasik, yaitu orang yang keluar dari jalan kebenaran dan masuk ke dalam jalan kesesatan.
Menekuni puasa dengan ketaatan dan kejujuran bisa dimaknakan sebagai ikhtiar untuk tidak mendustai diri sendiri. Karena potensi hipokrisi sejatinya terdapat pada setiap orang, tak terkecuali kita.
Betapa buruknya jiwa yang disepuh dusta. Semoga puasa yang kita jalani bisa menjaga diri kita untuk tetap lurus di jalan Allah. Insya Allah. [Kopajali, Kamis, 5 September 2019]