Bincang santai tentang lawas berlangsung dengan suasana penuh kekeluargaan. Di kediaman Pariwa Adat Lembaga Adat Tana Samawa (LATS) Kemutar Telu Kabupaten Sumbawa Barat DR. KH. L. Zulkifli Muhadli, SH.,MM, sejumlah pemerhati tradisi lisan yang tergabung dalam grup Lawas Samawa Maras menggelar bincang tentang lawas. Dipandu langsung oleh H. Hasanuddin, S.Pd, pengurus LATS, kegiatan berjalan lancar.

Hadir dalam kesempatan tersebut para pengurus LATS, di antaranya Dr. H. Agus Muhammad Jihad, Aries Zulkarnain, Madya Yakub Zein, H. B. Abdullah, H. Wahab Zakariah, H. Abdullah, H. Syamsuddin, H. Hasanudin, S.Pd, Mufty Al-Husni, dan ZAkariah Zurbini. Sementara dari LATS Kemutar Telu yang hadir dalam kesempatan tersebut yaitu Dr. KH. L. Zulkifli Muhadli, SH, MM, Agus Irawan Syahmi, Sanapiah Jando, S.Pd, Mujiburrahman,S.Pd, Muhammad AR, Nurhayati, S.Pd, Surdianah, S.Pd, Roy Marhandra, M.Nasir, S.Pd., M. Pd, KH.Syamsul Ismain, LC, DR.Zainuddin, SH, MM, Sekdis Pariwisata Pemuda Olahraga KSB, dan penggiat kebudayaan Nurhidayati Arifah, S.Pd.

H. Hasanuddin, S.Pd, dalam kalimat pembukanya mengundang kepada seluruh peserta diskusi untuk dapat berbicara semuanya, menyampaikan apa saja kegundahannya tentang keberadaan lawas Sumbawa di tengah-tengah masyarakat.

Beberapa poin penting yang menjadi kesepahaman yang lahir melalui diskusi panjang tersebut di antaranya:

DR. KH. L. ZULKIFLI MUHADLI, SH, MM

Di awal kegiatan diskusi, Kyai Zul atau yang akrab dipanggil Buya Zul menyampaikan pandangannya mengenai lawas. Disampaikan Buya Zul bahwa lawas merupakan fitur khusus (distinctive feature) dalam kehidupan masyarakat Sumbawa. Menjadi karakter, identitas yang unik, yang bisa membedakan dengan yang lain. Dikatakan begitu karena lawas telah menunjukkan karakternya berbeda dengan yang lainnya. Karena menjadi identitas, tentu penting untuk kita pertahankan keberadaannya.

Perlu direnungkan juga bahwa kata atau bahasa merupakan hal yang pertama diberikan Allah SWT kepada Nabi Adam as. Allah SWT menurunkan Nabi Adam ke muka bumi lewat kata-kata. Adam ketika berada di bumi harus menyimbolkan setiap apa yang disaksikan dan dialami melalui kata-kata. Misalnya kata meja atau konsep meja baru akan dimengerti ketika meja terwujudkan lewat simbol kata-kata. Maka dari itu sumber dari ilmu pengetahuan adalah kata/bahasa. Kita bersyukur memiliki lawas sebagai sebuah kekayaan budaya. Jika kita ingin melihat konsep hidup masyarakat Sumbawa, cukup dengan mempelajari lawas. Lawas yang terdiri dari kata-kata/diksi terpilih menjadi sebuah kekayaan literasi sastra yang memiliki makna mendalam tentang konsep hidup orang Sumbawa.

Lawas ini penting untuk kita bicarakan, karena merupakan mata rantai yang menyambungkan semangat berkebudayaan kita. Jika lawas kita tinggalkan, maka akan terlepas mata rantainya, tentu akan menyebabkan rantai kebudayaan terputus.

Sudah banyak yang meneliti bahasa Samawa, termasuk bagaimana terbangunnya simbol-simbol animisme masayarakat Sumbawa tempo dulu—yang mempersonifikasi pohon-pohon besar, batu-batu besar, sebagai bentuk kekuatan alam yang dijadikan sesembahan. Jejak rekam sejarah seperti yang disebutkan merupakan catatan yang harus kita ketahui agar kita mengerti seperti apa proses yang berlangsung hingga kita menjadi umat Islam mayoritas. Dampak dari globalisasi yang menghilangkan batas-batas wilayah menyebabkan budaya kita sekarang terancam punah. Globalisasi, kalau kita tidak antisipasi dari awal, maka budaya kita akan habis. Ini sudah kita lihat bahwa semua negara di dunia sedang mempertahankan identitas lokalnya sebagai upaya untuk mempertahankan eksistensi di dunia global.

Suasana diskusi bincang lawas.

DRS. H. AGUS MUHAMMAD JIHAD

Mewakili pengurus LATS Sumbawa, Drs. H. Agus Muhammad Jihad yang akrab di panggil Aji Jihad memberikan pandangan tentang Lawas. Ada kecenderungan generasi kita hari ini tidak bisa berbahasa Sumbawa. Dari sekian banyak mahasiswa yang saya ajar, hanya 20 persen yang bisa bahasa Sumbawa. Tentu ini merupakan keprihatinan kita yang perlu segera ditindaklanjuti. Lawas sebagai karya sastra yang menggunakan bahasa Sumbawa harus menjadi media untuk mempertahankan keberadaan bahasa daerah. Oleh karenanya, bahasa ibu (bahasa Sumbawa) harus kita bangkitkan di rumah masing-masing.

Secara teknis, kita perlu menganalisis apa fungsi dan makna lawas. Keunikan lawas: walaupun hal yang disampaikan tajam, bentuknya tetap sopan. Fungsi dan makna yang dimiliki lawas dapat menjadi identitas etnis Sumbawa. Sebagai identitas sosial etnis samawa, lawas memiliki pakem tersendiri yang membedakannya dengan karya sastra pantun yang ada di daerah lain. Ada fungsi dan makna religious, yaitu nilai yang berpatokan kepada falsafah “Adat barenti lako syara, syara barentin lako kitabullah”. Selain bernuansa religius, lawas memiliki fungsi hiburan, dan fungsi dan makna komunikatif.

DR. ZAINUDDIN, SH, MM

Sebagai pemerhati sekaligus atas nama Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Sumbawa Barat, Dr. Zainuddin yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Disparpora Sumbawa Barat, memberikan pandangan tentang perlunya kita mendalami tentang latar belakang kedatangan suku bangsa sehingga terbentuknya suku Sumbawa. Dikatakan Doktor Zein bahwa Sumbawa memiliki keturunan darah Banjar, seperti yang termuat di dalam hikayat Banjar Kotawaringin.

Di situ disebutkan bahwa gelombang kedatangan suku Banjar menuju Lombok dan Sumbawa berlangsung dalam waktu yang lama, sehingga membaur menjadi sebuah suku yang menetap di Sumbawa. Jejak kedatangan bangsa Banjar juga masuk dalam catatan sejarah Islam di tanah Samawa.

Adapun untuk mempertahankan lawas dan bahasa Sumbawa agar tidak terancam dari kepunahan, perlu adanya upaya dari semua pihak untuk menjadikan bahasa Sumbawa menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah. Hal tersebut dicontohkan seperti yang terjadi pada masyarakat Bali, di mana bahasa Bali menjadi mata pelajaran wajib di setiap sekolah dasar yang ada di Bali. Kita perlu mencontoh mereka sebagai upaya untuk mempertahankan bahasa dan lawas. Kita harus konsisten mempertahankan lawas dalam pusaran globalisasi. Jika lawas terus dapat dipertahankan, suatu saat nanti pasti akan ada banyak orang yang datang untuk mempelajari.

NURHAYATI

Seorang maestro tari dan sekaligus budayawan yang masih dimiliki oleh Sumbawa sekarang adalah Nurhayati. Di umurnya yang sudah paruh baya, ia masih tetap eksis menciptakan karya seni berupa tarian daerah. Lawas yang menjadi bagian terpenting dalam penciptaan karya tari, juga menjadi seni yang dilakoni beliau. Beberapa karya yang berbahan dasar lawas, seperti kembong, langko, dede, sering dilantunkan oleh beliau saat hendak menciptakan karya tari. Dikatakan Bu Ayat, panggilan akrabnya, bahwa beliau sering mengunakan lawas yang menyindir tapi tidak menyinggung orang. “Saya juga sering diminta membuat lawas sesuai dengan keadaan yang ada.”

ARIES ZULKARNAEN

Salah satu budayawan yang aktif menulis hingga saat ini, Aris Zulkarnaen, selalu hadir dan siap jika diminta untuk menyampaikan buah pikirannya tentang kebudayaan daerah Sumbawa, hingga kita tidak heran jika nama Aries Zulkarnain tidak asing di pendengaran para pemerhati budaya Sumbawa. Banyak buku yang telah diterbitkannya. Dalam kesempatan tersebut, beliau menyampaikan bahwa adat pasti berasal dari agama besar. Kalau tidak sama dengan agama, berarti itu bukan adat. Adat pasti berasal dari agama besar.  Kalau tidak sama dengan agama, berarti itu bukan adat. Itulah mengapa tradisi menyembah pohon besar masih ada sampai sekarang. Dalam ajaran agama pasti mengenal adab dan edab. Adab pasti ada nilai, pasti ada unsur yang merupakan pelajaran.

Lahirnya lawas dalam produk budaya Sumbawa merupakan karya yang paling indah se-Nusantara, karena ada pakem tersendiri, tersublimasi dalam pola pikiran. Cuma memang sekarang ini penggunaan lawas perlu diperhatikan bagaimana tata caranya. Banyak kritikan karena orang sekarang tidak menggunakan aturan dalam belawas. Untuk mempertahankan keberadaan lawas di tengah-tengah masyarakat, kita harus membuat rekomendasi agar dibuatkan buku tentang lawas, kamus bahasa Taliwang, kamus bahasa Sumbawa, dan berbagai karya buku lainnya. Harus kita perbanyak dokumentasi tentang lawas sehingga akan semakin mudah mempelajari lawas kapan pun dan di mana pun.

KH. SYAMSUL ISMAIN

Salah satu tokoh agama yang juga ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Sumbawa Barat ini turut memberikan pandangan terkait dengan perlunya pelestarian bahasa dan lawas Sumbawa. Kiai Syamsul menerangkan bahwa falsafah “Adat barenti ko syara, syara barenti ko kitabullah” merupakan bahasa yang sekaligus menjadi pegangan bagi penyelenggaraan adat istiadat di Kabupaten Sumbawa Barat. Kalau di daerah Arab dan Eropa, ada kita kenal syair jahiliah dan syair-syair kontemporer. Di Sumbawa, alhamdulillah ada tradisi yang diwariskan nenek moyang yaitu berupa lawas. Harapannya, kita semua memiliki kebanggaan menjadi orang Sumbawa.

Dalam kesempatan tersebut Kyai Syamsul menyampaikan usul kepada Pariwa Adat agar ada ketentuan baku tentang lawas, terlepas nanti dalam bentuk langko, bakembong, sakeco, semuanya harus ada aturan baku. Apa kaidah-kaidahnya, harus ada pakem yang nantinya dapat disosialisasikan kepada masyarakat Sumbawa sehingga kita merasa memiliki adat tersebut. Ini bisa kita masukkan ke muatan lokal dari TK hingga ke perguruan tinggi. Perlu juga bahasa Sumbawa agar dapat dipergunakan dalam penyampaian khotbah di masjid-masjid.

MADYA YAKUB ZAIN

Salah satu tokoh lawas yang kini menetap di Kecamatan Moyo Hilir, Bapak Madya Yakub Zein, beliau menerangkan bahwa sekarang ini ada 14 bahasa mengalami kepunahan. Dewasa ini juga banyak di antara generasi muda lupa bahasanya sendiri, Bahasanya sudah tercemar, termasuk di Sumbawa. Oleh karenya kita sekarang merindukan nilai-nilai yang memberikan ketenangan. Kita harus menempatkan posisi lawas dalam membangun peradaban. Yang ada sekarang ini adalah catatan “angkatan 66” dari para penggubah lawas yang bisa kita cerna. “Oleh karena itu, saya sepakat dengan Buya Zulkifli Muhadli agar fungsi lawas dapat menjembatani peradaban baru.

MUHAMMAD AR

Pemerhati budaya yang juga pengurus LATS Kabupaten Sumbawa Barat mengungkapkan kegelisahan bahwa anak-anak kita sekarang sudah banyak yang tidak bisa berbahasa Sumbawa. Usulan untuk memasukkan bahasa daerah ke dalam muatan lokal di sekolah-sekolah adalah hal yang cukup penting untuk ditindaklanjuti. Di samping itu, perlu diterbitkan peraturan daerah tentang penggunaan bahasa daerah di dalam masyarakat.

H. B. ABDULLAH

Haji Abdullah selaku tokoh masyarakat yang juga seorang maestro lawas dari Kabupaten Sumbawa menyatakan bahwa dirinya selalu menjadi orang yang dicari-cari jika ada kegiatan kemasyarakatan dan kegiatan adat. Dalam kesempatan tersebut, beliau menembangkan lawas yang isinya mengajak kepada para peserta diskusi untuk memiliki perhatian penuh kepada nasib dan keberadaan lawas Sumbawa.

SURDIANAH

Guru dan pelatih tari yang juga menjabat Bendahara LATS Kemutar Telu ini menerangkan bahwa sekarang karya tari yang dibuatnya banyak diambil dari lawas. Terkait dengan keberadaan lawas, disampaikan Surdiana bahwa kini lawas sudah masuk ke program muatan lokal. Yang menjadi persoalan sekarang bagaimana cara membuat silabus muatan local itu. Kenyataannya di sekolah-sekolah sekarang, banyak kita lihat pelajaran muatan lokal diserahkan kepada guru yang tidak punya kompetensi tentang kebudayaan daerah. Termasuk juga pelajaran tentang edabadab yang harus dimengerti para siswa. Lawas adalah aset daerah, lama-kelamaan akan punah kalau tidak diajarkan.

H. WAHAB ZAKARIAH

Beliau yang biasa dipanggil Aji Aho ini adalah pemakai lawas yang aktif di tengah masyarakat. Aji Aho menerangkan bahwa lawas memiliki bentuk yang mirip seperti Al-Quran, yaitu setiap akhir selalu sama. Jadi kita patut bersyukur akan keindahan lawas Sumbawa. Beliau menembangkan lawas untuk para peserta diskusi dan juga diberikan khusus kepada pariwa adat.

MUJIBURRAHMAN

Salah satu pemerhati budaya, pengurus LATS Kemutar Telu, yang juga menjadi Kepala Sekolah SMPN 6 Taliwang ini menyatakan pergeseran budaya sekarang salah satunya tampak dalam hilangnya kebanggan orang Sumbawa terhadap bahasa. Kita tidak boleh memisahkan antara bahasa dan lawas, bahasa adalah bagian dari lawas dan juga sebaliknya lawas adalah bagian dari bahasa. Jadi sekarang yang harus dipikirkan adalah bagaimana kira-kira upaya kita untuk membangkitkan rasa bangga.

Benar bahwa sekarang ada silabus RPP muatan lokal. Tetapi landasan hukum untuk menerapkan ini tidak ada, misalnya berupa peraturan daerah atau peraturan bupati. Ini harus segera kita tindaklanjuti. “Saya melihat perkembangan generasi sekarang ini, sama seperti yang dirasakan oleh para pemerhati yang lainnya, bahwa sudah banyak anak-anak kita sekarang yang tidak bisa berbahasa daerah yang baik dan benar.” Terkait dengan lawas, saat ini sangat kurang orang yang khusus menekuninya. Jika kita lihat di Jawa Barat misalnya, hampir seluruh masjid mengunakan bahasa Sunda. Itu sebagai bentuk komitmen mereka untuk mempertahankan penggunaan bahasa daerah.

H. ABDULLAH

H. Abdullah yang merupakan peserta aktif dalam grup Samawa Balawas menyampaikan bahwa keberadaan lawas ini sudah kurang kita lihat penggunaannya di tengah masyarakat. Oleh karenanya, kita harus mengerti substansi dari akar permasalahan tentang lawas. Bukan hanya sejarah daerah saja, tetapi lawas juga perlu mendapat perhatian khusus.

H. SYAMSUDIIN

Beliau mengajak kepada seluruh peserta diskusi agar jangan pesimistis untuk membangkitkan kembali keberadaan lawas. Oleh karenanya, beliau mengusulkan agar dua kabupaten membuat kamus bahasa Sumbawa dan juga kamus bahasa Taliwang.

MUFTY AL-HUSNI

Salah satu budayawan muda yang aktif dalam forum-forum kebudayaan ini mengingatkan para peserta diskusi bahwa masyarakat Sumbawa memiliki budaya berkerudung. Itu artinya budaya Islam telah menancap dalam hati masyarakat Sumbawa sejak dahulu. Pengunaan lawas berkaitan dengan diksi atau pemilihan kata. Beda antara berbahasa dengan berpuisi. Itulah sebabnya pilihan kata-kata dalam lawas merupakan simbol tingginya gaya bahasa kita sebagai penggunanya.

SANAPIAH

Salah satu penggiat lawas yang masih aktif hingga sekarang, yang akrab dipanggil Pak Jando ini, menunjukkan bahwa ia telah memberikan komitmen tinggi terhadap upaya pelestarian lawas melalui buku yang dibuatnya berjudul Ku Saremin Lawas Sia. Buku tersebut berisi kumpulan lawas yang telah ada. Sekarang ini sedang diinisiasi buku kumpulan lawas bahasa Taliang. Banyak sebenarnya narasumber yang bisa dijadikan referensi untuk pembuatan buku tersebut. “Walaupun bahasa yang kita gunakan, yaitu bahasa Sumbawa dialek taliwang, tidak apa-apa dan itu harus kita biasakan, walaupun kedengarannya masih kurang halus tetapi akan kita biasakan.”

M. NASIR, S.Pd, M.Pd

Selaku Ketua LATS Kecamatan Brang Ene, M. Nasir menyampaikan bahwa sekarang sudah banyak kebudayaan daerah yang hilang, dan menyarankan agar tindak lanjut dari diskusi ini berupa pertemuan kaum muda dan kaum tua untuk membahas apa yang diharapkan dalam upaya pelestarian budaya, dan khususnya membangkitkan lawas di tengah-tengah masyarakat Sumbawa. LATS dapat menjalankan fungsinya dengan baik, dan diharapkan dari pertemuan dan diskusi ini dapat melahirkan rekomendasi yang berpihak terhadap pelestarian kebudayan Sumbawa.

ZAKARIAH SURBINI

Bang Jek, sapaan akrab Zakariah Surbini, memberikan gambaran tentang kebiasaan masyarakat Sumbawa dalam melantunkan lawas. Kita harus membedakan mana lawas mana saketir. “Sama juga seperti apa yang disampaikan oleh Dinda Mufty tadi bahwa harus kita bedakan mana berbahasa mana berpuisi.” Lawas dan saketir itu berbeda. Lawas adalah karya sastra yang memiliki makna yang mendalam dengan pilihan kata-kata dalam bentuk kias, sindiran halus. Dan memiliki makna yang mulia dan agung.

Sekarang banyak dari kita yang menganggap bahwa saketir itu lawas. Oleh karenanya, perlu para tokoh agar dapat meluruskan hal ini. Di lawas lah tempat kita bisa temukan bahasa yang asli. Menanamkan kesumbawaan kita ke anak-anak, jangan sampai kita kalah dengan budaya Tik-Tok. Perlu kiranya agar pasatotang orang tua Sumbawa dapat disampaikan lewat media elektronik dan digital.

PENUTUP PARIWA ADAT D.R. KH. L. ZULKIFLI MUHADLI, SH, MM

Buya Zul menyampaikan ucapan terima kasih yang mendalam. Pertemuan hari itu banyak ilmu yang didapat. Peno ade harus tu kokat kebali. Banyak yang harus kita benahi. Takmuru nabil maruf, kebaikan harus dimunculkan ke permukaan. Alkhairu artinya kebalong, tapi berupa konsep. Kalau sudah kelihatan, tengekela, berarti sudah maruf. Apa yang maruf di daerah kita, belum tentu maruf di daerah lain. Maruf contohnya menghormati orang tua, keterikatan antara adat dan agama. Untuk itu, bahasa Sumbawa menunjukkan identitas orang Sumbawa. Bahasa melahirkan pengertian, pengertian melahirkan konsep. Maka perlu kita munculkan ke permukaan bahwa bahasa Sumbawa itu bahasa yang halus.

Diskusi ditutup saat waktu Magrib tiba. Para peserta diskusi kemudian melaksanakan shalat Magrib berjemaah yang dipimpin KH Syamsul Ismain LC, dan dilanjutkan dengan makan malam bersama. Semoga niat baik kita bersama dapat terwujud. []

Roy Marhandra
Author: Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

By Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *