Tepat berada di depan rumah di seberang jalan, berdiri kokoh sebuah rumah panggung dengan arsitektur bangunan tradisonal rumah orang-orang Sumbawa. Bertiang kayu, berdinding bambu, dan beratap genting bambu.

Suasananya terbangun dalam kesederhanaan rumah perkampungan yang berjajar di depan jalan utama. Gambaran posisi strategis sebuah bangunan yang diangap penting oleh masyarakat pedalaman, berada di depan jalan umum sehingga mudah dijangkau dan diketahui keberadaannya. Bale Ngaji sebagai sebuah bangunan peradaban ilmu yang memiliki peran penting dalam menciptakan kader umat yang siap menegakkan ajaran Rasulullah di muka bumi.

Ditemani temaran lampu dila menggantung di setiap sudut ruangan, riuh suara anak-anak melantunkan Al-Quran bak gayung bersambut meramaikan suasana magrib hingga isya. Sejanak Ne Guru mengentakkan pukulan sebilah kayu (uwe belati) sebanyak tiga kali ke atas meja, menandakan waktu ngaji sudah selesai dan harus siap-siap melaksanakan shalat Isya.

Setelah semuanya tuntas, para murid beriringan balik ke rumah masing-masing. Ada yang menyusuri jalan gelap sambil membawa obor hingga sampai ke rumah. Demikian hal itu berlangsung sebagai sebuah penggambaran salah satu aktivitas religius dalam keseharian masyarakat Sumbawa.

Penanaman kecintaan anak-anak sejak awal mengenal setera Arab menjadi tanggung jawab penuh orang tua. Toh tanggung jawab tersebut tidak hanya melekat pada orang tua semata, tetapi kemudian bertumpu kepada suatu sistem nilai yang sudah terbangun dalam catatan masyarakat tradisional Sumbawa. Diwariskan secara turun-temurun ditengah masyarakat dari generasi ke generasi.

Dalam terminologi masyarakat Suku Sumbawa, Bale Ngaji adalah sebuah tempat, lokasi, bangunan di mana berlangsung proses pengajaran Al-Quran yang dipimpin oleh guru yang disebut Ne Guru. Bale ngaji dapat berupa bangunan tersendiri atau ruangan yang berukuran besar dalam sebuah rumah, dan ada pula yang menggunakan ruang keluarga disambung dengan ruang tamu sebagai tempat belajar Al-Quran.

Seiring dengan perjalanan, keberadaan bale ngaji yang menjalankan fungsinya sebagai tempat belajar Al-Quran ternyata telah membentuk sebuah sistem. Sistem yang terbangun karena adanya interaksi di dalam proses pengajaran, di mana Ne Guru berperan sebagai arsitek dalam pembangunan nilai tersebut. Dan beliau mampu mewujudkan sebuah bangunan sistem yang terus menerus diwariskan kepada generasi selanjutnya. Beberapa nilai terbangun dapat kita lihat di antaranya:

Nilai Religius

Nilai religius sebagai inti pokok dari berlangsungnya pengajaran di bale ngaji. Instrumen utama dalam pembelajaran di bale ngaji adalah Al-Quran. Al-Quran diperkenalkan sebagai pedoman hidup, sumber dari segala sumber hukum, tuntunan, sumber ilmu, produk sastra yang memiliki milai tinggi, dan lain-lain. Mempelajari Al-Quran berarti mempelajari bumi dan seisinya dan kehidupan setelah kehidupan di dunia ini.

Pengajaran Al-Quran kepada murid ngaji dari sejak awal memegang kitab berupa keroan ode (Al-Quran Kecil) atau sekarang lebih akrab dengan nama iqra, berlangsung tiga kali dalam sehari. Dengan berlangsungnya pengajaran dalam waktu tiga kali dalam sehari, memberikan ruang kepada anak-anak untuk bisa lebih cepat dapat mengaji dan khatam Al-Quran. Suasana yang terbangun adalah suasana religius yang penuh dengan kekeluargaan.

Di samping itu, anak-anak diajarkan untuk dapat mengenal abjad dalam Al-Quran; juga harus fasih dalam pelafalan sesuai dengan tajwid, makhraj yang telah menjadi ketentuan. Para murid pun diwajibkan untuk belajar shalat lima waktu, belajar berwudhu, belajar menjadi imam shalat, mengenal sifat-sifat wajib bagi Allah, dan berbagai ilmu agama Islam lainnya.

Mempelajari Al-Quran dan mempelajari Islam secara keseluruhan sebagai sebuah tugas manusia sepanjang hayat, agar selamat dalam menjalani kehidupan. Aktivitas membaca Al-Quran menghadirkan majelis ilmu yang membicarakan misi dakwah Islamiyah, senatiasa akan dinaungi oleh rahmat dan dilingkupi para malaikat.

“Barangsiapa menempuh jalan menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya untuk menuju surga.” (HR. At Tirmidzi no. 2682, Abu Daud no. 3641, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abu Daud).

Demikian dalam aktivitas di bale ngaji selalu terbangun suasana religius, termasuk di lingkungan sekitar tempat keberadaan bale ngaji. Anak-anak pergi dan berdatangan dengan menggunakan kain sarung dan peci bagi murid laki-laki dan mukena bagi murid perempuan.

Nilai Disiplin

Penerapan disiplin berlaku pada metode pengajaran yang diterapkan guru ngaji. Ne guru menugaskan beberapa orang murid senior yang disebut guru muda untuk membantunya dalam memberikan pengajaran Al-Quran. Masing-masing guru muda biasanya memegang beberapa murid yang masih junior. Kepada guru muda ditugaskan untuk mengajari muridnya tersebut dari keroan ode (Quran kecil) sebagai tahapan awal mengenal huruf-huruf dalam Al-Quran beserta tanda bacanya, hingga memasuki keroan rango (Quran besar) jika sudah mulai fasih dalam membaca Al-Quran.

Pada gilirannya ketika sang murid diuji langsung oleh Ne Guru, maka perasaan gelisah dan khawatir sang guru muda berkecamuk. Jika ternyata sang murid didikannya tidak dapat membaca dengan benar ayat-ayat Al-Quran, maka murid beserta guru muda harus rela menerima uwe belati bersarang di punggung mereka dengan meninggalkan bekas berupa garis merah. Tetapi jika sang murid lancar dalam membaca, maka murid berserta guru muda lolos dari ancaman serangan menyakitkan, dan Ne Guru langsung menyalin sebagai tanda sang murid dapat melanjutkan ke lembar berikutnya. Dengan diperketatnya metode pengajaran, sang murid beserta guru muda berlomba-lomba untuk melakukan yang terbaik.

Murid tidak boleh bolos. Jika sang murid tidak hadir tanpa keterangan, maka utusan akan berangkat menuju rumahnya, mempertanyakan sebab ketidakhadirannya. Dan jika tidak ada alasan yang bisa memperkuat, sang murid harus datang dan siap-siap menerima hadiah yang sama, yaitu pukulan uwe belati yang bersarang di betis dan punggung. Jika sang murid tidak bisa hadir pada hari itu, hukuman tetap berlaku pada hari berikutnya. Karena ketatnya kontrol kehadiran, jarang murid yang berani untuk bolos.

Jam mengaji berlaku dari sejak persiapan sebelum masuknya waktu inti, yaitu shalat berjamaah dan pembelajaran Al-Quran. Waktu mengaji berlaku tiga kali dalam sehari: Subuh, Zuhur, dan Magrib. Untuk mengaji, waktu Subuh dikhususkan bagi murid-murid yang masih dalam tahap awal atau baru belajar mengaji. Sang murid akan datang ke rumah guru ngaji beberapa saat setelah shalat Subuh dan pulang beberapa menit menjelang persiapan berangkat ke sekolah.

Ada tugas tambahan yang diberikan dan harus dilakukan, yaitu mengisi air ke dalam bong (wadah air) yang terletak di tangga bale ngaji sebagai tempat mencuci kaki dan mengambil wudhu, mengisi bak di rumah Ne Guru, menyapu halaman, dan aktivitas bersih-bersih lainnya. Pekerjaan tersebut telah ditentukan jadwalnya, dibagi-bagi kepada seluruh murid sehingga tidak boleh ada yang lepas tanggung jawab. Jika ada yang tidak melaksanakan tugas, maka bersiap-siap menerima hukuman.

Hukuman fisik terhadap ketidakdisiplinan oleh guru ngaji terhadap sang murid tidak membuat orang tua murid keberatan, apalagi menuntut sang guru ngaji. Sebab, pola pengajaran seperti itu pernah juga dirasakan orang tua dan hasilnya sudah terlihat, bahwa saat ini mereka dapat mengaji berkat didikan yang diterapkan Ne Guru.

Kekeluargaan

Hubungan yang terbangun antara Ne Guru dengan murid adalah hubungan kekeluargaan. Hubungan paternalistik begitu kental dan menempatkan Ne Guru sebagai orang tua bagi murid-muridnya. Ia sangat bertanggung jawab dan merasa bersalah jika sang anak pada waktunya belum juga bisa mengaji, sehingga diberikanlah waktu-waktu tertentu kepada anak yang belum bisa mengaji tersebut untuk mendapatkan pengajaran ekstra.

Suasana kekeluargaan juga dapat kita lihat ketika Ne Guru, yang biasanya berprofesi sebagai petani, memasuki musim panen. Semua murid secara sukarela datang ke sawah yang dimiliki Ne Guru, turut membantu memudahkan pekerjaannya. Ne Guru hanya menyiapkan makanan ala kadarnya, dan sang murid mengambil peran masing-masing.

Kepemimpinan

Ne Guru dalam proses pembelajaran mempersiapkan kader-kadernya yang kelak dapat mengambil peran sama di dalam masyarakat, yaitu mengajar membaca Al-Quran. Guru muda adalah mereka-mereka yang dianggap sudah fasih dalam mengjarkan Al-Quran kepada para junior, dan diberikan tanggung jawab penuh hingga sang murid pandai membaca Al-Quran.

Ketulusan

Ne Guru memiliki tanggung jawab besar mencerdaskan muridnya dalam membaca Al-Quran. Di samping bisa membaca Al-Quran, pelajaran tambahan yang diterima oleh sang murid adalah kedisiplinan, tata krama, adab, dan sopan santun. Semua itu dilakukan dengan tulus. Ne Guru hanya mendapatkan sedikit uang bulanan dari murid, dan itu pun diperuntukkan untuk biaya listrik dan air PDAM yang sehari-hari juga dipergunakan para murid. Pada setiap menjelang hari raya Idul Fitri biasanya para murid menghantarkan zakat fitrahnya untuk Ne Guru.

Ne Guru sebagai Sosok Pengajar dengan Karakter yang Kuat

Ne Guru adalah sosok sentral yang menjadi panutan, dengan wibawa penuh kharisma dan ketegasan memimpin sebuah madrasah ilmu yang disebut bale ngaji. Kepadanya, dititip amanah agar Al-Quran menjadi inspirasi dalam setiap ruang pikir umat. Simbol ketegasan terdapat pada sebilah tongkat komando yang selalu berada di tangannya yang biasanya disebut uwe belati atau elong pari (ekor ikan pari).

Uwe belati berfungsi sebagai pengingat bagi setiap murid ngaji jika situasi sudah mulai gaduh. Dua kali hentakan pukulan di atas meja membuat kita terkejut. Artinya menyuruh kita diam, dan segera ngaji dengan benar. Hentakan pukulan kedua menjadi peringatan berikutnya agar jangan gaduh, dan mengajilah dengan benar.

Teguran ketiga uwe belati menjalankan fungsinya yang kedua, yaitu semacam gerak refleks terdorong oleh situasi yang tidak terkendali. Uwe belati bersarang di punggung semua murid ngaji, rata tidak ada terkecuali baik yang ribut maupun yang tertib mengaji. Beliau memberi pesan agar yang tertib mengaji jangan diam melihat temannya yang ribut.

Jika kita melihat bale ngaji sebagai sebuah bangunan yang memiliki fungsi sebagai tempat belajar Al-Quran, maka tidak ada bedanya bale ngaji dengan bangunan-bangunan lain yang juga dipergunakan oleh umat sebagai tempat tinggal dan sekaligus tempat sekedar membaca Al-Quran jika ada kesempatan. Tetapi jika kita lihat bale ngaji sebagai investasi akhirat, maka ada banyak hal yang harus kita selamatkan dari bangunan bale ngaji untuk dapat mempertahankan keberlangsungannya dalam membangun peradaban Al-Quran.

Ada ruh yang diturunkan berupa nilai-nilai tauhid yang menjelma ke dalam setiap celah-celah dinding, atap, tiang-tiang, dan lantai yang menyelimuti setiap mereka yang ada didalamnya yang secara konsisten mempelajari ayat-ayat Allah.

Sejenak jika kita renungi, bangunan bale ngaji yang dulu kokoh berdiri tegak menaungi generasi umat yang di pundaknya berada tanggung jawab mewujudkan masyarakat baldatun thayyibatun warabbun ghafur, kini mulai goyah di goyang zaman dengan segala tipu daya dunia. Tiang-tiangnya mulai rapuh digerogoti rayap kapitalis-hedonis yang semakin hari bertambah. Dinding-dindingnya mulai usang dimakan waktu yang berjalan penuh dengan kecongkakan manusia yang berpikir pragmatis. Atap-atapnya mulai bocor karena tidak terurus.

Umat manusia merasa nyaman berada di bawah naungan atap kepalsuan. Memberikan keteduhan sesaat tetapi selanjutnya menciptakan kegersangan seumur hidup.

Kini banyak orang yang berilmu tinggi tetapi tidak memiliki adab. Allah telah menyindir keras para ahli ilmu (Rabi), Bani Israil yang tiada adab dalam dirinya dengan perumpamaan seekor keledai yang memikul kitab-kitab di punggungnya (QS. 62: 5). Keledai tentulah tiada paham untuk apa kitab-kitab yang dipikulnya itu.

Demikianlah, Allah menyindir keras para ahli ilmu yang berjilid-jilid kitab dalam kepalanya, namun tiada adab tertanam dalam diri dan lisannya. Sia-sia ilmunya. Bahkan, malah menyeretnya pada kehinaan. Pantas jika para ulama sepakat, “Kada al-adab qabla al-‘ilm.” (Posisi adab itu sebelum ilmu).

Bale ngaji telah meninggalkan catatan penting kepada kita tentang pentingnya adab sebelum ilmu. Negeri ini menjadi tidak menentu arahnya, karena banyak sekali orang berilmu tetapi tidak beradab. Mari kita mendoakan para pemimpin kita agar tetap kuat dalam menjalankan amanahnya, serta selalu istiqamah di jalan yang benar. []

Miliki buku Tradisi Lisan Sumbawa karya Roy Marhandra, klik: s.id/tradisi.
Roy Marhandra
Author: Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

By Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *