Dalam Mahabarata, seperti banyak orang tahu, diceritakan kisah antara Kurawa dan Pandawa. Mereka yang sebenarnya bersaudara, sama-sama darah keturunan Barata, tetapi tidak pernah akur dan selalu bermusuhan, saling berusaha meniadakan dan menghilangkan. Satu sama lain.

Pandawa seolah menjadi simbol kebenaran dan kejujuran, sedangkan Kurawa simbol kejahatan dan kelicikan. Sebenarnya yang diperebutkan adalah takhta singgasana Kerajaan Astina Pura. Pandawa dan Kurawa semasa kecilnya hidup bersama. Pandawa adalah anak Pandu ya Raja Pandu Dewanata, sedangkan Kurawa anak Adipati Destarastra.

Destarastra adalah kakak dari Pandu Dewanata. Namun demikian, Raja Pandu Dewanata tidak berumur lama. Meninggal dunia dalam usia muda, ketika anak-anaknya, yang disebut Pandawa Lima, masih kecil-kecil. Nah di sinilah cerita dimulai, Kerajaan Astina Pura dititipkan kepada kakaknya, yakni Destarastra sebagai Raja Astina Pura, dengan perjanjian: Kalau Pandawa sudah dewasa, kerajaan dikembalikan kepada anak Pandu, yaitu Pandawa.

Di sinilah letak permasalahannya, Destarastra ingkar janji. Kerajaan tidak dikembalikan kepada Pandawa, namun diberikan kepada anak-anaknya sendiri, yaitu Kurawa. Pada kesempatan ini, diceritakan kisah menjelang Pandawa dan Kurawa dewasa, Kurawa selalu berusaha membunuh Pandawa, agar takhta Kerajaan Astina Pura tetap dalam genggaman Kurawa.

Ada kisah Bale Sigala-gala di mana Pandawa dibakar, ada pula kisah Sumur Upas yang penuh ular sebagai perangkap untuk Bima ya Panenggak Pandawa Haryo Werkudara ya Bima Sena. Sebenarnya Pandawa dan Kurawa dibimbing dan dibina oleh satu Mahaguru yang sama, yakni Resi Begawan Durna ya Resi Danyang Kumboyono.

Pada suatu ketika, salah satu dari Pandawa yakni Bima, meminta kepada Sang Guru untuk mempelajari ilmu “Sangkan Paraning Dumadi”. Ya, Ilmu manunggaling kawula-Gusti, Gusti lan kawula. Sang Mahaguru Resi Begawan Durna pun bersabda, “Untuk menemukan ilmu itu, carilah Air Suci Perwitasari”, yang berada di dalam samudera atau lautan.

Bima Sena adalah satria perkasa yang taat dan patuh kepada Guru Nadi, maka ia berniat mencari Air Suci Perwitasari. Segera ia menghadap sang ibu, kakak, dan adik-adiknya untuk berpamitan. Pada waktu itu ayahnya, Pandu Dewanata, sudah meninggal. Jadi Bima yatim, tidak punya bapak lagi. Hujan tangis pun terjadi. Ibunya, Dewi Kunthi Talibrata, tak kuasa menghadapi peristiwa ini. Ia pun berkata, “Bima, masuk ke tengah samudera berarti kamu bunuh diri. Jangan ya, Nak.”

Kemudian Dewi Kunthi pingsan tak sadarkan diri. Kakak Bima, Yudistira, sama saja. Sambil menangis, ia berkata, “Ya, Adikku, jangan kau lakukan hal yang tak masuk akal. Masuk ke lautan sama saja berarti bunuh diri.” Yudistira lalu pingsan, karena beban dan perasaan hatinya mendapat suatu tekanan yang sangat berat. Adiknya, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, juga tidak setuju. Mereka bertiga serentak memegangi kedua kaki Bima. Namun bagi Bima, Satria dengan karakter seperti baja, rasa khawatir, cemas, dan rasa iba, sama sekali tidak dipedulikannya.

Bima percaya tidak ada guru yang ingin menjerumuskan muridnya. Bima akan tetap taat dan patuh pada guru. Seandainya harus mati pun Bima ikhlas, rela, dan telah siap untuk menghadapi risiko apa pun, termasuk untuk menghadapi sebuah “kematian”. Perlahan-lahan dilepaskannya tangan tangan Arjuna, Nakula, dan Sadewa, yang memeluk, merangkul, dan memegangi kakinya. Setelah yakin tangan-tangan itu terlepas, maka dengan tekad bulat Bima segera berlari dengan tujuan yang Pasti: samudera.

Di tepi pantai, Bima tertegun melihat ombak bergulung-gulung setinggi tiga sampai lima meter, berdeburan seolah ingin menggulung siapa pun. Sebagai manusia, Bima juga punya rasa takut, namun Bima termasuk jiwa-jiwa “Kadang Bayu”, yakni ada suksma Dewa Bayu di dalamnya. Perlahan-lahan dia berjalan dari bibir pantai dengan langkah pasti, masuk ke lautan.

Dalam keadaan Bima setengah pingsan, tenggelam dalam lautan, antara sadar dan tidak, tiba tiba muncullah Tatsaka atau seekor naga sebesar pohon kelapa menggigit betis Bima. Itulah Naga Burnowo. Merasa sakit dan berdarah, Bima berniat memindahkan gigitan Naga itu dari betis ke leher, biar dirinya bisa mati sekaligus. Maka secara refleks, kedua tangan Bima memegang kepala naga itu dan menariknya dengan kekuatan yang masih tersisa.

Tak disangka, justru mulut Naga Burnowo sobek dan naga itu pun mati. Lautan pun jadi berwarna merah, dan Bima habis kekuatannya. Lantas, antara sadar dan tidak, seperti pingsan, Bima merasa tersangkut di sebuah pulau kecil. Dan di situ Bima bertemu sosok seperti dirinya, “Bocah bajang” yang ukuran besarnya hanya sebesar genggaman tangan. Tetapi anehnya, sosok itu mengetahui semua riwayat Bima, dari lahir sampai saat ini. Dan sosok itu mengaku sebagai “Dewaruci”, yakni Dewanya Bima sendiri, Ya Tuhannya Bima sendiri.

Sorot aura Dewaruci, yang penuh perbawa, membuat Bima segera berjongkok dan menyembah, sesuatu hal yang selama ini belum pernah dilakukannya. Maka Bima pun bertanya tentang ilmu “Sangkan Paraning Dumadi”, manunggaling kawula kalian Gusti, manunggaling Gusti lan kawula, serta Bima bertanya makna dari “Air Suci Perwitasari”.

Segera Dewaruci bersabda: Ketahuilah Bima, Bima bisa bertemu Dewaruci, harus berwujud Suksma Suci. Bima bisa bertemu dengan Dewaruci, harus bisa mengalahkan atau membunuh Naga Burnowo. Sejatinya Naga Burnowo adalah manifestasi dari nafsu Bima sendiri. Nafsu empat perkara, Merah, Hitam, Kuning, dan Putih, biasa disebut Amarah, Aluamah, Supiah, dan Muthmainah.

Setelah nafsu bisa dikuasai atau dikalahkan, maka Suksma Suci Bima bisa menghadap Sang Dewaruci. Sedangkan manunggaling kawula lan Gusti, yakni bersatunya jagad gedhe lan jagad cilik, jagad besar dan jagad kecil, mikrokosmos dan makrokosmos. Maka, segera Bima masuk ke “Guwo Garbo” atau perut Dewaruci, masuk melalui daun telinga.

Syahdan, Bima merasa Damai dan tenang. Kemudian Sang Dewaruci bersabda: Wahai Bima, itulah Surgamu, karena Engkau telah menemukan Tuhanmu sendiri. Bima pun diam. Ia telah melihat, mengerti, dan mengalaminya sendiri. Bima telah menjadi saksi atas hidupnya sendiri, Bima telah merasakan Surga sendiri.

Sang Dewaruci lanjut bersabda: Bima, Surga itu damai dan tenang. Tidak ingin makan tetapi tidak merasa lapar. Tidak ingin minum tetapi tidak merasa haus. Tidak pakai payung tetapi tidak kehujanan. Tidak pakai topi tapi tidak kepanasan. Ketahuilah wahai Bima, Ada itu Tiada. Tiada itu Ada. Kosong itu Isi. Isi itu Kosong. Surga itu Nang, Ning, Nong, Gung. Alam Suwung. Hanya cahaya Tuhan Yang Berdiri Sendiri.

Selanjutnya, Bima bertanya: Apa makna dari Air Suci Perwitasari?

Dewaruci pun bersabda: Air Suci Perwitasari adalah “Air Kehidupan”, yakni hidup itu sendiri hendaknya mengalir seperti sifat dan watak air. Bila Bima mencari Surga, Suksma Suci harus menghadap Tuhan, sedangkan Raga yang terdiri atas anasir empat perkara, Bumi, Geni, Banyu, Angin, atau Tanah, Api, Air, dan Angin, haruslah kembali lebih dahulu kepada asal muasal masing masing.

Maka Bima, berterima kasih, dan ingin tetap tinggal di perut “Sang Dewaruci” karena telah merasa tenteram, damai, dan tenang, layaknya di Surga. Tak lama berselang, Sang Dewaruci bersabda: Bima tidak boleh begitu, belum waktunya. Sebagai seorang kesatria, banyak tugas telah menanti.

Segera Dewaruci mengeluarkan Bima dari perut, dan melemparkannya ke luar. Selanjutnya Bima jatuh tertidur di tepi pantai. [Rabu pahing, 17 Maret 2021]

Wija Sasmaya
Author: Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

By Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *