Aku tiba di Desa Rarak persis saat azan magrib berkumandang. Saat itu, aku disambut kabut tebal dan suasana dingin khas daerah pegunungan, tapi gak bikin masuk angin karena sejuk.

Aku menginap di rumah warga, tepatnya rumah muridku dulu yang kebetulan punya rumah produksi kopi. Malamnya, kami banyak mengobrol tentang kopi sambil menikmati beberapa gelas kopi racikan tuan rumah.

Lalu pagi esoknya, aku berangkat ke dusun sebelah, Ronges. Jalanan terjal dengan bebatuan yang menantang mendampingiku. Sepanjang perjalanan, di bagian kiri dipenuhi kebun kopi dan bagian kanan adalah daerah persawahan. Inilah jalan menuju desa paling ujung Kecamatan Brang Rea, Sumbawa Barat: Ronges.

Jumat pagi itu, di pengujung Januari, menjadi hari yang berbeda bagi para siswa-siswi di Ronges. Hari itu merupakan jadwal mereka untuk belajar di Dusun Rarak, Sekolah Satap Rarak Ronges. Mereka menempuh perjalan cukup jauh, kulihat jam di tangan sudah menunjukkan pukul 7 lebih. Artinya, mereka akan terlambat tiba di sekolah.

Mungkin memang sudah ada permakluman dari pihak sekolah. Oh iya, kegiatan sekolah digabung tiap Jumat ini bukan tanpa alasan. Biasanya, pada hari-hari lain, guru yang ada di Sekolah Satap Rarak Ronges itu yang datang ke Ronges untuk mengajar.

Menuju Air Terjun

Ada satu air terjun yang menjadi daya tarik di desa ini. Dengan latar belakang cerita rakyat Petung Mampes. Cerita itu pernah kami ikutkan dalam lomba menulis kembali cerita rakyat, dapat penghargaan terbaik ketiga kalau tidak salah. Untuk tiba di sana, aku harus berjalan kaki melewati persawahan. Berjalan di atas pematang yang sangat sempit, aku wajib ekstra hati-hati, sesekali terpeleset bisa jatuh.

Lalu, aku menyebrangi sungai dan jembatan bambu, keluar-masuk kebun, hingga bertemu kerumunan sapi dan kuda. Berjalan hampir 2 kilometer untuk menuju air terjun Petung Mampes cukup efektif mengganti olahraga pagi, badanku lumayan berkeringat dan kacamata selalu berembun.

Sekembali dari air terjun, aku mampir di rumah sawah bapak Sukiman. Sebelumnya kami sudah janji untuk bertemu, persis setelah bapak ini mengambil air nira. Kami menyebutnya ai belo’. Dengan menggunakan toro’, bapak ini sudah menunggu kami kembali dari air terjun. Ia menuang ai belo’ ke dalam wajan, yang selanjutnya dimasak sampe kental dan menjadi gula merah.

Menikmati Secangkir Kopi

Bukan ke Rarak kalau pulangnya tidak bawa kopi. Mau yang bubuk atau masih jadi biji kopi, boleh. Tinggal pilih sesuai selera. Kita juga bisa ikut menumbuk kopi (memisahkan kopi dengan kulitnya) menggunakan nisung yang terbuat dari kulit kerbau.

Oh iya, di sini juga ada kopi luwak yang dipungut di kebun, hasil dari luwak liar.

Untuk menghasilkan biji kopi yang benar-benar bersih dari kulitnya, butuh beberapa kali proses menumbuk dan membuang kulit dengan menggunakan tepi. Hasil menumbuk lumayan banyak, bisa hampir sebaskom penuh. Para perempuan di desa ini biasa menumbuk biji kopi di waktu pagi buta dan pasti di bawah tangga rumah.

Hmm, nanti pas datang lagi kita tanya ya kenapa harus pagi-pagi dan di bawah tangga rumah, he. Buat yang ke Rarak, tidak usah khawatir. Jalan menuju Rarak sudah bagus, aspal semua. Hanya dari Rarak ke Ronges yang masih bebatuan. Dan, yang paling penting, sekarang sudah ada sinyal ponsel di sana, 4G pula. Makin seruuu, deh. []

Yayaq Arifah
Author: Yayaq Arifah

Pegiat literasi dari Nusa Tenggara Barat.

By Yayaq Arifah

Pegiat literasi dari Nusa Tenggara Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *