Seperti yang kita ketahui, Indonesia mengalami pandemi Covid-19. Hal ini telah mempengaruhi sistem pendidikan, yang mengarah ke penutupan sekolah dan perguruan tinggi. Sejak April 2020, sekitar 1,7 miliar siswa terkena dampak sebagai respons terhadap pandemi. Namun, dampak dari penutupan sekolah mencakup berbagai aspek. Salah satunya dalam bidang wirausaha: para pedagang kaki lima baik di jalan maupun yang berada di sekolah.
Mereka otomatis tidak bisa berjualan karena anjuran dari pemerintah untuk pembatasan kegiatan selama beberapa bulan pada tahun 2020. Pemasukan atau pendapatan para pedagang praktis tidak ada. Mereka harus berpikir ulang bagaimana caranya berdagang sesuai dengan protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah.
Saya mencoba melakukan penelitian sederhana dengan mewawancara sejumlah pedagang di sejumlah sekolah yang ada di Kecamatan Suralaga, Lombok Timur. Umumnya mereka mengatakan kehilangan pemasukan sehari-hari. Padahal pedagang kaki lima ini menjadi salah satu tumpuan ekonomi keluarga masing-masing.
Mendukung Protokol Kesehatan
Seperti yang kita ketahui, pedagang kaki lima cenderung memiliki kemampuan modal yang relatif kecil. Sesuai dengan observasi saya, 75 persen pedagang kaki lima yang berjualan di Kecamatan Suralaga membuka usaha di depan sekolah dasar menggunakan gerobak atau sepeda motor. Mereka berpindah-pindah tempat dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Selain itu, pedagang kaki lima juga biasa berjualan di depan masjid, kantor desa, dan sejenisnya. Ada yang menjual bakso, risoles, telur gulung, tempe goreng, dan sebagainya.
Usia para pedagang yang saya temu rata-rata 35-50 tahun, dan tidak memiliki sumber penghasilan tetap lain selain berdagang. Sembilan puluh persen lebih responden yang saya temui menyatakan penghasilannya berkurang selama pandemi. Selebihnya menjawab netral (4,5 persen) dan tidak (4,5 persen).
Bagaimanapun juga, para pedagang menyatakan dukungannya untuk tetap menerapkan protokol kesehatan di tengah pandemi. Termasuk mencuci tangan dan memakai masker ketika keluar dari rumah. Sebanyak 77,3 persen menyatakan sangat setuju untuk mematuhi protokol kesehatan, sisanya (22,7 persen) mengatakan setuju.
Namun mereka pun berharap mendapatkan bantuan dan dukungan sarana dan pra-sarana untuk berjualan di sekolah, agar dapat lebih mudah menerapkan protokol kesehatan. Salah satunya, sebagai contoh, dengan penyediaan lapak kantin khusus untuk parak pedagang berjualan di sekolah-sekolah. Terutama seiring dengan pelonggaran kegiatan, termasuk kegiatan belajar tatap muka, sekarang ini.
Tentu hal ini penting untuk menjadi pertimbangan kita bersama, agar protokol kesehatan bisa tetap dijalankan tanpa menghentikan kegiatan ekonomi masyarakat. []