Pada akar kita tanamkan bersama, harapan
Tumbuh kembang berbagi tanah udara
(“Bunga”, Banda Neira)
Cerita rempah Nusantara adalah cerita kehidupan. Penuh sukacita, juga duka nestapa. Dua yang cukup dikenal luas, yaitu cengkih dan pala. Jika masa sekarang kerap disebut sebagai Abad Informasi, dengan revolusi digital, Internet, dan berbagai pengembangan teknologi penunjangnya, abad 14-15 diketahui pula sebagai Abad Rempah.
Saat itu, orang Eropa berlomba-lomba mencari sumber rempah di berbagai belahan dunia. Hingga akhirnya mereka bertemu gugusan kepulauan Nusantara, yang kini bersatu dalam nama Indonesia.
Mereka, orang Eropa, mengenal rempah dari para pedagang negeri Tiongkok dan Timur Tengah. Rempah-rempah, termasuk cengkih dan pala, disebut memiliki khasiat sebagai obat, pengharum, perawat kulit, serta pengawet dan penyedap makanan. Bahkan sejak 3500 sebelum Masehi, rempah kabarnya sudah digunakan di Mesir untuk mengawetkan mumi.
Bisa dibilang masa-masa itu penuh sukacita bagi dunia rempah. Namun karena panjangnya jalur distribusi, dengan medan yang berat dan penuh bahaya, bahkan ancaman maut, harga rempah melambung tak terkira begitu tiba di Eropa. Bisa sampai melebihi harga emas. Tak heran sampai muncul istilah “pohon berbuah emas”.
Inilah yang membuat orang Eropa putar otak. Berusaha mencari sumbernya langsung dari tangan pertama. Mereka butuh mengamankan bahan makanan untuk musim dingin. Alhasil, dimulailah penjelajahan itu. Yang ternyata berubah menjadi penjajahan penuh duka nestapa. Setelah menemukannya, mereka justru menjerat si tangan pertama agar bisa menguasai rempah untuk kepentingan sendiri.
Percik pencerahan yang berpijar di Benua Biru malah menghadirkan kegelapan di belahan dunia lain. Seolah seketika matahari mulai terbit “di sana”, seketika itu pula malam pekat mesti menyergap “di sini”.
Sekelumit Cerita
Tulisan ini mencoba menyimak kembali cerita tentang apa yang terjadi setelah bangsa Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda mulai menjelajah dan di antaranya berhasil menemukan pulau-pulau utama penghasil rempah: Kepulauan Maluku. Cerita yang diangkat adalah novel karya Hanna Rambe, penulis sekaligus wartawan Indonesia, berjudul Mirah dari Banda (pertama terbit 1983) serta Aimuna dan Sobori (cetakan pertama 2013).
Dua novel ini menarik sekaligus penting ditelusuri karena mengangkat tema, sudut pandang, dan latar belakang yang tak ramai disuarakan dalam karya sastra Indonesia: Masyarakat dan peradaban rempah pada situasi kolonial dan pasca-kolonial. Meskipun menyebut cerita ini seluruhnya hasil rekaan, penulis memang sempat mengunjungi kepulauan rempah itu pada kurun 1980-an.
Mirah dari Banda bercerita tentang perjalanan Wendy dan suaminya, Matthew Morgan, ke Pulau Banda. Matthew ekspatriat yang bekerja pada perusahaan minyak di Sumatera (zaman Indonesia merdeka). Rencananya, mereka hendak berlibur ke tempat keluarga Mohammad Zakaria—akrab disapa Om Jack—teman kuliah Matthew di London dulu. Om Jack tumbuh besar di Ambon, dan keluarga neneknya dari pihak ibu banyak yang tinggal di Banda. Dia sudah biasa berlibur ke sana.
Selama tinggal di Indonesia, Wendy sendiri selalu merasa resah. Sebab, dia tahu dalam dirinya mengalir darah Merah Putih. Ya, Wendy sudah mengerti orang tuanya di Australia dulu mengadopsi dia dari panti asuhan. Menurut keterangan panti, bayi Wendy dibawa oleh Palang Merah Sekutu karena ibu kandungnya meninggal setelah melahirkan dia di atas kapal.
Ibunya tersebut perempuan Indo-Eropa. Dia ditangkap pasukan sekutu yang menyerbu markas Jepang di Jayapura, Papua. Si ibu sempat bercerita bahwa di tanah itu dia menjadi tawanan Jepang, tapi dia pun mengatakan “ayah bayi ini seorang Jepang yang baik”. Sebatas itu. Titik. Tidak ada hal lain lagi yang diketahui.
Maka, dalam tiap perjalanan ke penjuru Indonesia, Wendy selalu bertanya-tanya, apakah di sini tanah kelahiran ibunya? Apakah di sini dia mungkin masih memiliki saudara sedarah?
Keindahan Tanah Rempah
Wendy dan Matthew sama-sama sudah lama mendengar tentang keindahan Banda. Di samping sebagai tempat asal pala dan fuli (kulit pembungkus biji pala), terdapat taman laut dengan koral yang masih hidup. Laut Banda memang sangat dalam, tapi laut di sekitar pulau-pulau yang mungil bak kurcaci itu sangat jernih bagai kaca. Dan orang dapat memandang ke dalamnya, menikmati keindahan sebagai di taman khayal.
Namun dari cerita Om Jack, mereka pun tahu ada sejarah kelam di sini. Pala dan fuli, karunia dari langit, ternyata membawa bencana bagi penduduk Banda di masa lalu. Menjadi medan tempur mengerikan. Berbagai bangsa memperebutkan pala, dan orang Banda punah sebagai akibatnya.
Di Banda pula kemudian Wendy bertemu Mirah, yang biasa menjadi juru masak setiap tamu Om Jack datang berkunjung. Mulanya Wendy takjub dengan keterampilan Mirah memasak.
“Sup ikan ini (yang dimasak Mirah dengan campuran rempah, pala, dan fuli) sungguh luar biasa. Lebih enak dari sup ikan dari negara mana pun yang pernah kukenal. Tidak gurih walau berlemak, dan sangat menggugah selera makan,” ucapnya.
Sedikit-banyak dia mengerti mengapa dulu rempah-rempah begitu diperebutkan, bahkan sampai bunuh-bunuhan.
Sajian lain yang memikatnya adalah sayur manta atau ulang-ulang, atau Bandanese salad menurut cara Eropa. Bumbunya istimewa, daging munggae, kenari dan pala. Wendy penasaran dan bertanya rahasia kelezatan sajian ini. Dijawab oleh Ratna, istri Om Jack, “Orang Eropa membubuhkan biji pala kering ke dalam makanan dan minuman, kami membubuhkan daging buah pala segar.”
Kemudian, sebagai sajian penutup, ada setup nangka. Penganan ini menyerbakkan aroma nangka ranum berbaur dengan harum cengkeh, fuli, kayu manis, dan vanili hasil bumi Banda.
Sang Juru Masak
Dari kejutan-kejutan yang dialami lidahnya, Wendy jadi ingin kenal lebih lanjut dengan sang juru masak—sosok tua bertubuh gempal dengan wajah bulat telur dan kulit halus walau telah dimakan umur dan diterpa angin Banda.
Setelah banyak mengobrol, Wendy pun tahu Mirah sebenarnya asli Semarang, Jawa Tengah. Saat kecil, sekitar umur lima tahun, dia ikut bibinya pergi ke pasar. Nahas, bibinya kena tipu sampai akhirnya mereka berdua diangkut ke Pulau Banda, terpaksa menjadi buruh perkebunan pala.
Begitu dewasa, Mirah yang jelita terpaksa pula menjadi nyai—perempuan piaraan Tuan Besar pemilik kebun pala. Hidupnya memang serba berkecukupan saat itu, tapi tetap tak punya kebebasan. Dia sempat melahirkan dua anak, bernama Lili dan Welli.
Ketika Jepang datang dan berhasil mengalahkan Belanda, Tuan Besar diangkut entah ke mana. Demikian pula anak-anak Mirah yang berdarah campuran. Tinggallah Mirah sebantang kara. Tak punya apa-apa atau siapa-siapa. Hal ini membuat Wendy merasa memiliki kesamaan nasib dengannya.
Lalu Indonesia merdeka. Dan seperti kata Mirah, saat itu memang kondisi lebih baik bagi kami orang kulit cokelat yang sebelumnya selalu dinista. Tak usah takut kepada orang Belanda, Cina, Arab, atau Indo-Belanda lagi, karena mereka bukan tuan kami lagi.
Para petugas yang kemudian mengurus kebun pala juga menolak dipanggil dengan sebutan tuan. Cukup bapak saja. Tapi kebun sudah porak poranda.
Setelah Penjajah Pergi
Bagaimanapun, mereka—masyarakat setempat, termasuk Mirah—masih menyimpan pengetahuan di kepala tentang serba-serbi menanam pala. Contohnya, pohon pala harus dipilihkan tanah yang berlereng dan menghadap ke laut. Kebun harus kena tiup angin laut tetapi secara tak langsung.
Pohon penadah angin di tepi pantai boleh kecil atau sedang, asal tak makan waktu lama untuk tumbuh. Hanya persoalan besarnya: meneduhkan tanah calon tempat pohon pala. Pohon kenari, yang biasa dipakai sebagai peneduh, memerlukan waktu yang sangat lama untuk dewasa. Sedikitnya sepuluh tahun baru sanggup jadi payung.
Lalu, soal pembibitan yang memakan waktu satu setengah tahun. Selama pembibitan, kebun harus dibersihkan dari rumput dan semak. Akar yang baru keluar dari bibit harus diperhatikan baik-baik, ditanam menghadap ke bawah di dalam tanah.
Mirah ingat pesan Tuan Besar, jangan sekali-kali meletakkan akar itu menghadap ke atas, karena pohon yang tumbuh kelak jadi pohon pala jantan. Jenis pala jantan tak banyak buah sekalipun penuh bunga. Jenis pala jantan tetap diperlukan, tapi cukup beberapa pohon saja di beberapa hektare kebun. Lebih disukai jika pohon tumbuh jadi pohon pala betina, karena akan banyak buahnya.
Baru sesudah umur tiga tahun pohon pala berbunga, dan bunga itu selayaknya manusia, perlu waktu sembilan bulan sebelum menjadi buah yang menghasilkan “emas”.
Untunglah semua pohon berbunga dan berbuah terus-menerus tak bermusim. Namun memetik bunganyalah yang harus berhati-hati, agar pohon tidak rusak. Di masa Tuan Besar, salah menjolok buah yang belum merekah saja dihukum bui satu hari penuh. Di masa merdeka tak ada hukuman apa-apa, tapi banyak pohon yang ditanam mati sebelum berbuah. Juru bibit dan juru tanam pun langka.
Emas yang tumbuh di pohon itu pelan-pelan kehilangan kilau indahnya. Lantas, seiring usia yang menua, tak sanggup terus mengandalkan kebun pala, Mirah bekerja jadi juru masak di keluarga kaya. Hingga akhirnya membantu keluarga Om Jack.
Hongi dan Ekstirpasi
Cerita selanjutnya, Aimuna dan Sobori. Karya ini dibubuhi sub-judul: “Sebuah Novel tentang Pemusnahan Pohon Cengkeh”. Karena memang menceritakan masa ketika Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oostindishce Compagnie/VOC) memberlakukan sistem hongi dan ekstirpasi di kawasan kepulauan rempah.
Meskipun penulis banyak menggunakan nama daerah samaran, pembaca tetap dapat menemukan konteks ceritanya. Sebab, dia pun memberikan keterangan bahwa hongi adalah program menghancurkan kebun-kebun cengkeh baik yang tumbuh alami maupun ditanam oleh penduduk di pulau-pulau asalnya di Maluku Utara, dipindahkan ke Pulau Ambon, Seram, dan sekitarnya dengan tujuan supaya persediaan di pasar dunia sedikit, hingga harganya tinggi.
Sedangkan ekstirpasi adalah pembinasaan pohon cengkeh menurut daftar yang telah dibuat lebih dulu, terutama pohon yang telah pernah berbunga sekali atau lebih; tujuan kebijakan tersebut, mengatur supaya jumlah pasokan putik cengkeh tidak terlalu banyak di pasar internasional di Eropa.
Yang menyesakkan lagi, Pani-pani—sebutan penduduk untuk VOC atau kompeni—memaksa warga setempat terlibat dalam ekspedisi hongi dan ekstirpasi. Sehingga, sering kali, sesama warga baku hantam sampai terbunuh. Jadi bukan hanya kebun cengkeh yang hancur, tapi orang-orang juga binasa. Keluarga tercerai berai.
Perjalanan Gamati
Di antara korbannya adalah Aimuna dan Sobori, saudara sepupu yang sejak kecil kehilangan orang tua akibat dibunuh pasukan hongi. Sebabnya, keluarga Aimuna dan Sobori memiliki kebun cengkih rahasia di pedalaman hutan.
Mereka menolak menjual hasil kebun kepada Pani-pani karena merasa penuh paksaan dan harga yang diberikan terlalu rendah. Mereka ingin menjadi manusia merdeka yang bebas berniaga dengan siapa saja seperti sebelumnya. Tapi Pani-pani tidak suka, dan menghendaki semua untuk sendiri. Monopoli.
Kakek Aimuna dan Sobori, bernama Gamati, turut selamat dari pembantaian hongi. Maka, ia mengajak Aimuna dan Sobori melarikan diri. Gamati, yang pelaut ulung, merawat mimpi suatu saat dapat berlayar jauh ke utara, ke kawasan yang tak terjangkau Pani-pani. Lalu ia ingin kembali bertani, memiliki kebun cengkih sendiri sebagaimana diwariskan para leluhur, dan mengelolanya secara mandiri.
Gamati merasakan betul perubahan yang terjadi akibat hongi. Terjadi pemaksaan penduduk pindah dari bukit-bukit ke pantai, agar mudah diawasi. Alhasil, kekerabatan menurut adat, menurut kelahiran, menjadi kacau-balau. Beruntung, dalam pelarian, masih ada kenalan dia di kampung lain yang mau berbaik hati menolong. Memberinya tempat bernaung sementara.
Umumnya mereka juga tak suka Pani-pani, tapi sudah tak bisa dan tak berani melawan setelah bertahun-tahun penindasan.
Namun ada satu desa yang berkesan bagi Gamati. Itulah desa di pesisir bernama Kolosia, yang artinya menunggu. Di desa itu, walau tak tepat di tepi pantai, orang biasa menunggu untuk bertemu jika membuat janji.
Mereka tak saling kenal. Tak pernah jumpa sebelumnya. Tak ada utang budi. Toh, begitu tahu Gamati korban hongi, warga dan kepala desa tak segan memberikan tumpangan tempat tinggal, serta makan dan minum. Mereka pun berjanji membantu mencarikan kapal untuk Gamati melanjutkan perjalanan, karena dia tetap bertekad terus ke utara.
Tidak Hitam Putih
Di samping itu semua, yang menarik lagi dari kedua novel ini adalah penulis tak memotret kehidupan secara hitam-putih. Selalu muncul gejolak warna lain di tiap kubu. Dalam Aimuna dan Sobori, ada residen baru bersama Lucas de Vries, yang merasa sangat muak begitu mengetahui kenyataan pahit hongi dan ekstirpasi. Belum lagi melihat para budak pekerja kebun pala diperlakukan semena-mena.
Selesai kunjungan pertama ke kebun pala, Lucas membuat kaget banyak orang karena meminta disediakan tikar sebagai alas tidur bagi para pekerja. Dalam keterbatasan wewenang, dia mencoba mempertahankan hati nurani sebelum akhirnya memutuskan mundur dari jabatan karena tak tahan harus terus mengikuti instruksi pusat yang tidak berkemanusiaan.
Sedangkan dalam Mirah dari Banda, ada Toshiro—orang Jepang tamatan sekolah dokter yang masuk tentara karena dipaksa pemerintahnya. Dia bercerita, pamannya menolak jadi tentara, lalu malah dipenjara. Abangnya sendiri, anggota angkatan laut, sudah gugur di Pasifik.
Toshiro benci perang, tapi hanya bisa berharap pertumpahan darah ini segera berakhir. Apalagi ia jatuh cinta pada Lili, anak Mirah yang diangkut tentara Jepang, dan berusaha menyelamatkannya.
Selain itu, catatan penting dalam novel Aimuna dan Sobori muncul lewat cerita tentang sasi. Tali merah yang diikat ke pohon-pohon. Jika ada tanda sasi, pohon itu tak boleh ditebang. Kalau ingin mengambil buahnya, harus atas seizin si empunya pohon. Bila dilanggar, akan tertimpa musibah.
Keberadaan sasi ini secara tidak langsung membuat masyarakat tidak asal tebang dan asal petik. Dengan demikian, menjaga kelestarian dan keseimbangan alam; menjaga hubungan manusia dengan sesama, alam semesta, dan tentu Sang Pencipta.
Kemudian, ada semangat masohi. Saling bantu, saling tolong sesama warga secara sukarela. Tanpa paksaan ataupun imbalan. Mungkin di tempat lain dikenal dengan sebutan gotong royong.
Sayang, perintah Pani-pani yang penuh kekerasan membuat orang-orang terpaksa menurut, menebang secara sembarang dan tak jarang saling curiga terhadap sesama. Demikianlah sekelumit bagian dari peradaban rempah yang turut porak-poranda gara-gara hongi dan ekstirpasi.
Kritik Ekopostkolonial
Apa yang dapat kita pahami dari cerita di atas? Terdapat kajian menarik yang ditulis Etty Umamy dan Zulmy Faqihuddin, dosen Universitas Wisnuwardhana Malang. Pada tulisan tahun 2018 berjudul “Perspektif Postkolonial dalam Prosa Terbitan 2007-2012”, keduanya mengangkat pendekatan ekokritik yang beranjak dari konsep dualisme antroposentrisme dan ekosentrisme.
Yang pertama menempatkan manusia sebagai pusat, sementara yang kedua menjadikan lingkungan ekosfer (ekosistem yang melibatkan seluruh makhluk dan komponen lingkungannya) sebagai kunci. Lebih lanjut, muncul pendekatan ekopostkolonial sebagai komponen teoretis dari ekokritik. Terutama berkaitan dengan karya-karya (sastra) yang lahir di zaman pasca-kolonial dalam hubungannya dengan alam (serta kerusakan-kerusakan yang timbul sebagai imbas masa kolonial).
Setidaknya ada lima hal yang disoroti Umamy dan Faqihuddin. Pertama, perbedaan pandangan masyarakat asli dan pendatang terhadap lingkungan. Masyarakat asli tampak lebih menghormati alam. Mereka tidak punya keinginan berlebih dalam pemanfaatan alam. Alam dipahami memiliki siklus dan keterbatasan, sehingga harus dilestarikan. Sedangkan para pendatang (penjajah) memandang manusia sebagai pemegang kendali atas alam (sebagaimana terlihat dalam program hongi dan ekstirpasi)—serta dalam praktiknya, dapat menjadi penentu nasib manusia lain (dengan perbudakan dan kerja paksa, juga penggusuran).
Kedua, biokolonisasi. Hal ini terlihat dari cara-cara penjajah memindahkan tanaman rempah dari tempat asalnya sehingga dapat dipantau dan dimanfaatkan secara maksimal. Lebih lanjut, terjadi biopiracy atau perampasan aset adat. Ketiga, rasisme lingkungan yang mencakup penindasan terhadap masyarakat setempat seraya memberikan hak istimewa kepada kelompok penguasa untuk mendayagunakan sumber daya alam sesuka hati.
Keempat, eksploitasi lingkungan lewat penguasaan tanah dan tanaman yang berujung pada praktik monopoli—termasuk dengan kekerasan brutal. Kelima, dampak eksploitasi berupa kerusakan lingkungan seperti digambarkan Mirah bahwa kebun sudah porak poranda … banyak pohon mati sebelum berbuah; dan kerusakan tatanan sosial sebagaiman dilihat Gamati ketika kekerabatan menurut adat, menurut kelahiran, menjadi kacau-balau.
Langkah Revitalisasi
Keseluruh hal ini memang tergambar jelas dalam novel Mirah dari Banda serta Aimuna dan Sobori. Namun sekaligus memberi kita petunjuk untuk memulai langkah pembenahan hari ini. Terutama dalam konteks upaya revitalitasi, ada satu warisan utama dari masyarakat tempo dulu untuk “memulihkan kejayaan Abad Rempah”.
Warisan itu adalah pemahaman untuk mengedepankan prinsip-prinsip konservasi dan nilai-nilai kelestarian dalam pendayagunaan kekayaan alam. Masyarakat setempat tak pernah berpikir untuk mengeksploitasi, apalagi memonopoli hasil bumi. Mereka merasa sudah cukup puas menerima pemberian alam, dan menunjukkan rasa syukur dengan terus melestarikannya.
Rempah, baik cengkeh, pala, maupun yang lainnya, tidak semata dipandang sebagai komoditas jual-beli. Melainkan sebagai identitas hidup yang wajib dijaga secara berkelanjutan. Diwariskan dari generasi ke generasi, seperti dari Gamati, kepada Aimuna dan Sobori, lalu anak-cucunya kelak.
Dari lima hal yang disoroti Umamy dan Faqihuddin, secara tersirat pun tergambar lima langkah yang dapat dilakukan untuk menjaga warisan peradaban rempah. Pertama, kembali pada sudut pandang ekosentrisme yang sudah sejak lama diterapkan masyarakat setempat, terutama lewat berbagai perangkat adat. Alam dan manusia ditempatkan pada posisi yang setimbang. Saling menjaga dan mengambil manfaat tidak secara berlebihan.
Kedua, mendorong perkembangan teknologi industri terkini di dalam negeri untuk mengolah “produk konsumsi” berbahan baku rempah-rempah Nusantara—dengan pengemasan modern dan pemasaran digital. Bukan sebatas menjual bahan mentah untuk kemudian membeli lagi barang jadi dengan harga lebih tinggi.
Ketiga, menempatkan masyarakat dalam posisi setara pada setiap bentuk hubungan ekonomi. Keempat, mencegah kerusakan alam dan lingkungan; tidak berbuat sesuka hati demi menuai laba. Kelima, bersikap arif dan menghargai tatanan sosial yang menjadi tumpuan masyarakat setempat.
Dengan demikian, kita dapat mewujudkan mimpi bersama tentang bumi rempah yang berdaulat. Mimpi yang juga tergambar dalam penutup novel Mirah dari Banda serta Aimuna dan Sobori.
Merawat Tunas Harapan
Alkisah, di penghujung cerita, ketika beristirahat malam hari di tepi pantai dalam perjalanan menuju utara, Gamati bermimpi didatangi Arande. Mendiang istrinya yang juga korban hongi itu berkata, “Gamati kekasihku, cucu Ranila harus diberi nama Kolosia. Artinya menunggu. Dia sangat dinantikan, bukang? Ia akan jadi nakhoda, jadi tamaela (pemimpin dari sejumlah nakhoda). Sobori dan Aimuna akan hidup sampai bungkuk. Salamateee Gamati … beta sayang ale.”
Gamati baru tertidur lelap setelah yakin Aimuna dan Sobori bakal selamat, keturunannya lahir dengan sehat, dan nilai-nilai kehidupannya dapat terus dirawat.
Adapun Mirah, ketika akan dibantu Majid—cicit seorang bekas kuli kontrak—berjalan menuruni tanah berlereng usai mengantar Wendy pulang, dengan teguh hati berkata: “Terima kasih, Majid. Engkau baik sekali kepadaku. Aku ingin berjalan seorang diri, seperti selama ini aku lakukan. Biar aku menikmati kesendirianku ini sekarang.”
Ya, Gamati ingin mempertahankan warisan leluhurnya. Dan Mirah ingin berpijak di atas kaki sendiri. Keduanya, sebagaimana lirik lagu Bunga gubahan Banda Neira di awal tulisan, tumbuh menjadi tunas harapan yang berakar pada tanah udara peradaban rempah: Kelestarian dan kemandirian secara ekologi maupun ekonomi. []