Dalam perjalanan sejarah masyarakat Muslim Nusantara, kita dapat menemukan banyak jejak penyebaran Islam yang ditinggalkan para pendahulu, baik itu berupa naskah kuno, bangunan bersejarah, adat istiadat, kesenian, dan berbagai produk kebudayaan lainnya. Islam masuk ke Indonesia dalam beberapa versi dan teori yang dikemukakan oleh berbagai ilmuan nusantara maupun luar negeri yang lama menetap di Indonesia.
Christian Snouck Hurgronje misalnya, seorang orientalis terkemuka bangsa Belanda yang pernah menjabat Penasehat Tentang Urusan-urusan Arab dan Bumi Putra Indonesia. Hurgronje pada perinsipnya menyatakan bahwa proses Islamisasi Indonesia mulai berlangsung kira-kira setengah abad sebelum kota Bagdad ditaklukkan oleh raja Mongol Hulagu pada tahun 1258 M. teori ini selanjutnya menegaskan bahwa tidak ada kekuasaan Negara yang campur tangan dalam proses tersebut.
Pengislaman atas masyarakat pantai di pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau kecil lainnya, semata- mata adalah usaha saudagar-saudagar muslim dan para penetap dari negara-negara di India Muka. Mereka ini merupakan pedagang- pedagang tradisional yang sejak sebelum kedatangan agama Islam telah menjalin hubungan perdagangan dari India ke pulau-pulau Nusantara (S. Gumawan, 1973).
Secara garis besar, teori tentang proses masuknya Islam ke Indonesia (Farid 2013) dapat kita temukan dalam beberapa literature misalnya, Teori Gujarat (India). Teori ini menyatakan bahwa masuknya Islam ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Gujarat. Yang kedua Teori Benggali (Bangladesh). Teori ini dikemukakan oleh S.Q. Fatimi.
Teori ini mengatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari Benggali. Teori ini didasarkan tokoh-tokoh terkemuka di Pasai adalah orang-orang keturunan dari Benggali. Keberikutnya Teori Persia. Pendukung teori Persia ini adalah P.A. Husein Jayadiningrat dan M. Dahlan Mansur. Menurut teori Persia, Islam masuk ke Indonesia dibawa oleh orang-orang Persia. Dasar dari teori Persia ini adanya perkumpulan orang-orang Persia di Aceh sejak abad ke-15.
Teori lainnya yaitu teori Pantai Coromandel (India). Teori ini dikemukakan oleh Thomas W. Arnold dan Morrison. Menurut teori ini, Islam datang ke Indonesia melalui Coromandel dan Malabar (India). Dan terakhir teori Arab. Teori ini menyatakan bahwa Islam di Indonesia, datang dari sumbernya langsung, yaitu bangsa Arab. Teori ini didukung Rosita Baiti, Buya Hamka, Keyzer, M.Yunus Jamil, dan Crawfurd. Dasar teori ini adalah keterangan yang menyatakan bahwa pada abad ke-7, orang-orang Islam Arab telah ada di pantai Barat Sumatera. Selain itu, ada persamaan Mazhab yang dianut bangsa Arab dengan Indonesia. Juga digunakannya gelar al-Malik pada raja-raja Samudra Pasai, sesuai dengan nama-nama Sultan di Mesir.
Ada kesamaan yang dapat kita temukan dalam berbagai catatan penyebaran Islam Nusantara, yaitu tentang persentuhan antara tradisi leluhur dengan Islam. Sebelum Islam masuk dan menancapkan akarnya di hampir sebagian besar belahan bumi Nusantara, penduduk asli yang berada di daerah-daerah sangat kuat dengan faham animisme dan dinamisme. Kepercayaan terhadap roh dan hal-hal ghaib lainnya telah menyatu dalam setiap ruang gerak masyarakat pendukungnya.
Islam masuk, datang menawarkan pandangan hidup, tata krama, prilaku, harapan, cita-cita, cara mengatur negara dan solusi terhadap permasalahan kehidupan lainnya. Masuknya pun tidak serta merta memberangus ajaran yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang tertuang di dalam Al-Quran. Para syech dari timur tengah datang ke Indonesia bukan hanya mermaksud menyiarkan Islam itu sendiri tetapi kemudian mereka melebur menjadi satu dengan masyarakat, memberikan pengajaran, membantu segala urusan yang berkaitan dengan perdagangan, pertanian, pengobatan, sehingga kehadiran mereka tidak dianggap sesuatu yang janggal dalam dinamika kehidupan masyarakat.
Kita mengenal tasawuf sebagai sebuah ajaran yang mampu beradaptasi dengan adat-istiadat nusantara waktu itu. Tasawuf merupakan ajaran untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan Allah SWT. dan memperoleh ridha-Nya. Saluran tasawuf termasuk yang berperan membentuk kehidupan sosial bangsa Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena sifat tasawuf yang memberikan kemudahan dalam pengkajian ajarannya karena disesuaikan dengan alam pikiran masyarakatnya. Bukti-bukti mengenai hal ini dapat kita ketahui dari Sejarah Banten, Babad, Tanah Jawi, dan Hikayat Raja-raja Pasai.
Catatan sejarah
Dalam beberapa catatan, penulis temukan beberapa daerah menggunakan falsafah yang struktur kalimatnya sama dengan falsafah Adat Barenti Ko Syara, Syara Barenti ko Kirabullah. Dalam masyarakat Gorontalo misalnya kita dapat menemukan falsafah yang sama yaitu adat barsandi syara, syara barsandi kitabullah. Hal tersebut sebagai bagian dari bentuk pengaruh dari proses penyebaran Islam oleh suku bugis dan ternate berbaur dalam suku bangsa gorontalo.
Catatan yang lebih lengkap terkait hal tersebut yaitu tentang sejarah istana Pagaruyung Minangkabau dimana di dalamnya terdapat sejarah tentang Perjanjian Bukit Marapalam. Disitu dijelaskan bahwa perjanjian ini merupakan kesepakatan kalangan ulama dengan pemuka adat dalam menentukan kedudukan agama dan adat bagi masyarakat. Materi kesepakatan ini hampir semua penulis sejarah Minangkabau menyebut berkaitan dengan hubungan adat dan agama dalam kehidupan masyarakat.
Pada bulan Syafar tahun 1650M Syekh Burhanuddin bersama temannya yang berempat (Tuangku Bayang dari Bayang,Tuangku Kubung Tigo Baleh Solok,Tuangku Buyung Mudo dari Bayang Pasisir dan Tuangku Padang Ganting Batu Sangkar) yang disebut juga dengan Lima Serangkai, dengan di dampingi oleh Rajo Rantau nan sebelas. Dalam Perjanjian Bukit Marapalam tersebut kemudian melahirkan Piagam Bukit Marapalam.
Wujud nyata dari perjanjian itu dituangkan dalam filosofi adat yang lebih populer dengan sebutan pepatah adat :Adat Basandi Syarak,Syarak Basandi Kitabullah, (adat mesti didasarkan pada agama, agama (Islam) berdasarkan Kitabullah(Al-Qur,an). Syarak mengato adaik mamakai, (Agama Islam memberikan fatwa adat yang melaksanakannya)
Catatan yang dihadirkan oleh para sejarahwan para akademisi di kampus-kampus saat ini tentang falsafah adat bersendi syara, syara bersendi kitabullah, baik yang berlaku di kalangan masyarakat bugis makasar, Gorontalo, Minangkabau, maupun Sumbawa tentunya membutuhkan riset tersendiri untuk menemukan data yang valid tentang proses penyebaran dan penggunaan falsafah tersebut ditengah-tengah masyarakat, siapa mempengaruhi siapa, dan siapa yang menyebarkan falsafah adat basandi syara, syara basandi kitabullah hingga keberadaannya diakui oleh umat Islam di Indonesia.
Khusus di Sumbawa, Jika dikaitkan dengan awal masuknya Islam ke Sumbawa dan menjadi agama resmi kerajaan, berarti proses pengilhamannya tidak terpaut jauh dengan peristiwa bukit marapalam. Peristiwa bukit marapalam dengan tahun resminya Sumbawa menjadi sistem kesultanan berada pada abad yang sama, yaitu pada abad ke-17.
Islam masuk ke Sumbawa melalui Sulawesi. Dari pesanteren Giri disebarkan Islam lebih dulu ke Maluku baru ke Sulawesi. Penyebaran ini berlaku antara tahun 1604 – 1610. Dalam keterangan H. Zollinger bahwa Gowa menaklukkan Sumbawa pada dalam tahun 1623. Termaktub perjanjian damai antara kerajaan Gowa dengan kerajaan Sumbawa, disebutkan bahwa adat dan rapang tidak akan di rusak, dan neneguhkan agar jangan lupa mengucap dua kalimat syahadat serta berpegang teguh terhadap agama Islam (manca 1984).
Jika agama Islam resmi menjadi agama kerajaan pada tahun 1963, itu berarti tidak serta merta pihak kerajaan pada saat itu juga menyatakan sebuah keputusan fundamental tersebut. Islam tentu telah berproses sebelumnya, hidup dan tumbuh di dalam kelompok masyarakat tertentu, menyebar di masing-masing wilayah di Sumbawa. kelompok-kelompok kecil ini pun menjadi kekuatan kemantapan hati para pemimpin saat itu menegaskan Islam sebagai agama kerajaan.
Peniggalan yang cukup monumental bagi masyarakat Sumbawa terhadap komitmen peneguhan falsafah adat barenti ko syara, syara barenti ko kitabullah adalah bangunan Istana Tua Dalam Loka. Semangat nilai-nilai Islam yang menyatu di dalam adat istiadat masyarakat Sumbawa tertuang dalam ide arsitektur Rumah Panggung terbesar tersebut yang salah satunya dapat kita lihat jumlah tiang rumah sebanyak 99 buah yang menggambarkan Asma ul Husna.
Demikian pula praktek adat-istiadat yang masih berlaku baik yang berasal dari kalangan kerajaan maupun dari kalangan masyarakat biasa, terdapat nilai-nilai Islam didalamnya, sepertti contohnya tradisi lisan masyarakat Sumbawa yang di kenal lawas pamuji. Di dalamnya memuat syair tradisional tentang puji-pujian terhadap Allah SWT dan semua ciptaannya.
Makna dan telaah kata penghubung barenti
Adat barenti ko syara syara barenti ko kitabullah adalah serangkaian kata yang membentuk kalimat dan memiliki satu kesatuan makna. Dalam kalimat tersebut terdapat empat kata inti yaitu Adat, Syara, Kitabullah yang dihubungkan oleh kata barenti. Masing-masing kata memiliki makna: Adat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki beberapa arti yaitu 1) Aturan (perbuatan dan sebagainya) yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, 2) Cara (kelakuan dan sebagainya) yang sudah menjadi kebiasaan, dan 3) wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.
Kata kunci dalam makna adat yaitu aturan, kebiasaan, dan gagasan kebudayaan. Sementara pengertian dari kata syara di dalam Islam sendiri sering dikaitkan dengan kata hukum, dan hal tersebut akan sering kita jumpai ketika mempelajari Ushul Fiqh. Secara etimology kata syara memiliki arti jalan-jalan yang biasa dilalui air, maksudnya adalah jalan yang di lalui manusia untuk menuju kepada Allah SWT. Syara’ dapat kita artikan sebagai seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku, serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Kata kitab secara bahasa artinya segala sesuatu yang ditulis atau sesuatu yang dikumpulkan yang berisikan kumpulan data dan informasi yang disatukan. Sedangkan secara istilah kata kitabullah memiliki arti adalah catatan-catatan yang difirmankan oleh Allah kepada para nabi dan rasul. Di dalam rukun Iman ke tiga, umat Islam diwajibkan percaya kepada kitab Allah. Kitab-kitab yang diturunkan oleh Allah kepada nabi dan Rasul seperti yang kita ketahui bersama:
Kitab taurat di turunkan kepada nabi Musa alaihis salam, kitab zabur diturunkan kepada nabi Daud alaihis salam, kitab Injil diturunkan kepada Nabi Isa Alahis salam, dan terakhir kitab penutup sebagai penyempurna dari kitab-kitab sebelumnyayaitu Al-Quran yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Dalam kamus bahasa sumbawa kata Barenti yang memiliki kata dasar enti memiliki arti pegang, dan mendapat awalan bar menjadi barenti selanjutnya memiliki arti berpegang
Penggunaan kata barenti pada falsafah Adat Barenti ko Syara, Syara Barenti ko Kitabullah tentu memiliki alasan. Mengapa kata penghubung yang menghubungkan komponen vital tersebut harus menggunakan kata barenti. Kenapa misalnya tidak menggunakan kata barema (bersama), santurit (mengikuti), atau ketong (menempel,hinggap). Sejauh ini ulasan tentang hal tersebut penulis belum menemukan catatan resmi.
Oleh karenanya, menurut pandangan penulis, jika kita mencoba memaknainya dalam sudut pandang semiotik, maka kata barenti merupakan sebuah tanda. Charles Sander Piece dan Ferdinand De Saussure menekankan bahwa perlunya rekonstruksi dan dekonstruksi tanda. Hidup manusia penuh dengan tanda termasuk hidup manusia yang ada dalam komunitas tradisi lisannya. Dalam semiotik komunikasi disitu ditekankan aspek produksi tanda (sign production), bukan system tanda (sign system), yang memilih tanda dari bahan baku tanda yang ada dan mengkombinasikannya dalam rangka memproduksi sebuah ekspresi bahasa bermakna (Sibarani 2012).
Kata enti merupakan produksi tanda yang merupakan sebuah ekspresi bahasa bermakna. Kata enti yang menjadi kata dasar dari kata barenti, adalah sebuah tanda dimana tangan seseorang berada posisinya melekat/menempel pada suatu obyek tertentu. Memegang sesuatu tentu diawali dengan niat terlebih dahulu baru setelahnya melakukan aktifitas memegang. Aktifitas memegang, sebuah symbol yang diantaranya memiliki makna menginginkan sesuatu, menjaga sesuatu agar tidak terlepas, menyatukan sesuatu yang sebelumnya terpisah.
Dalam aktifitas memegang tentu selanjutnya ada juga aktifitas melepas pegangan. Ketika posisi tangan tidak lagi melekat pada suatu obyek tertentu maka posisinya terlepas dan dapat dikatakan lepas dari pegangan. Barenti atau berpegang adalah posisi tangan sedang memegang sesuatu. Jika kata barenti berada sebagai penghubung antara adat, syara dan kitabullah, maka pada kata barenti memiliki tanggung jawab besar dalam penginpelementasian nilai-nilai Kitabullah dalam kehidupan sehari-hari. Menurut hemat penulis, kata penghubung barenti memiliki beberapa makna yaitu:
- Sifat dari kata kerja enti atau pegang bisa saja suatu saat pegangan akan terlepas dan jika dilepas maka akan mendatangkan konsekswensi. Adat yang terlepas dari syara, kemudian syara terlepas dari kitabullah maka akibatnya hakikat dari tujuan hidup manusia akan kehilangan arah.
- Menunjukkan penghargaaan terhadap sebuah proses. Adat yang berlaku di dalam masyarakat baik itu yang sudah lama maupun yang baru, ketika dihadapkan dengan kondisi boleh atau tidak boleh, pantas atau tidak pantas, dan baik atau tidak baik, maka sepatutnyalah berpegang terhadap hukum yang berlaku, dan hukum yang berlaku tersebut haruslah bersumber dari Al-Quran.
- Kata penghubung barenti sebagai wujud pelaksanaan perintah Allah SWT yang tertuang dalam surat Ali Imran 103 “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”
Fenomena kekinian
Dinamika kehidupan adat masyarakat Sumbawa saat ini adalah bentuk aktualisasi dari nilai-nilai falzafah adat barenti ko syara syara barenti ko kitabulllah. Cuma di tengah masyarakat, masih ada beberapa praktek yang masih dipertentangkan tentang hukum penyelenggaraan adat yang masih berlaku ditengah masyarakat hari ini. Katakan saja seperti kegiatan ritual daur hidup seperti yang berkembang ditengah masyarakat (sykuran kelahiran, prosesi adat perkawinan, maulidan, tahlilan, taziah, selamatan, dll).
Berbagai ritual tersebut merupakan warisan leluhur yang didalamnya tersimpan semangat, harapan, dan tentunya nilai-nilai kearifan sebagai pengikat kebersamaan nenek moyang kita pada masa itu. Pembauran antara adat istiadat dengan ajaran agama Islam oleh para pendahulu kita pada prinsipnya memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai bentuk penghambaan kepada sang khalik dan kecintaan terhadap Rasulullah.
Hari ini kita dihadapkan dengan misi untuk menyelematkan nilai-nilai tradisi masyarakat sumbawa yang hampir punah. Penyelematan nilai-nilai tradisi yang hampir punah tersebut sebagai bagian upaya meneguhkan jati diri masyarakat Sumbawa. Sejarah tentang peradaban masyarakat Sumbawa tempo dulu dapat menjadi cerminan, pijakan generasi hari ini untuk melangkah lebih pasti hari ini untuk masa yang akan datang.
Di samping itu juga yang tak kalah pentingnya kita diwajibkan untuk menjaga nilai-nilai agama Islam ini dari kemurniannya sesuai dengan Al-Quran dan Hadist, agar terselamatkan dari hal-hal yang berbau khurafat, bid’ah, takhyul, dan syirik. Praktek -praktek pra Islam yang tercampur kedalamnya, dan prilaku sosial yang menyimpang dari ajaran Islam, masih ada kita saksikan hari ini. Allah SWT berfirman: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali-Imran: 104)
Dalam beberapa hal sebagai wujud dari perkembangan pemikiran masyarakat modern, praktek-praktek adat yang dianggap syirik sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat suku Sumbawa. Ritual selamatan dengan membawa sesembahan/sesajen di tempat-tempat keramat misalnya sudah jarang kita temukan. Meskipun masih ada yang melakukan selamatan dan syukuran yang berbau magis, itu dilakukan hanya sekedar ritual biasa dan tidak disertai dengan kepercayaan adanya perantara jin, arwah, ruh/makhluk ghaib dan sejenisnya dalam menentukan nasib seseorang dalam kehidupan.
Dalam misi penyelamatan budaya Nusantara, pertemuan antara adat dengan Islam diharapkan dapat berjalan dinamis tanpa mempertentangkan hal-hal prinsip yang ada didalamnya. Maka dari itu perlu ada semacam bahasan secara lengkap tentang adat istiadat Sumbawa beserta kandungan nilai-nilai yang ada di dalamnya, untuk selanjutnya dapat di ulas dalam perspektif agama Islam. Hal tersebut tidak mutlak menjadi alat untuk menghapus tradisi masyarakat Sumbawa tempo dulu dalam memory masyarakat Sumbawa. Tetapi dapat menjadi instrument penting dalam menentukan sikap dan kebijakan tentang sejatinya falsafah Adat Barenti Ko Syara, Syara Barenti Ko Kitabullah. []