Perempuan itu menyendiri sembari menatap malam yang membungkus langit di atas permukiman Kurralta Park. Gelap dan sunyi. Lampu teras hanya akan menyala seketika jika mendeteksi ada gerak langkah orang di depannya, lalu redup lagi beberapa detik kemudian. Jam sebelas malam, ia belum juga beranjak dari balkon.

“Sungguh anak tak tahu diri. Durhaka.” Kata-kata sang Ayah masih terbenam dalam pikirannya. 

“Tuti, kau harus belajar dari pengalamannya Murni, lakinya pergi karena tak punya kepercayaan diri. Dan aku tak mau kau bernasib sama dengannya,” kejar Ibunya dulu. 

Sialnya tetangga juga ikut-ikutan bikin ramai. Pak RT, Pak Lurah, hingga Pak Camat kompak bersuara. Mereka tak peduli meski sudah dilarang oleh istrinya masing-masing. Namun apa lacur, hal itu tak berlangsung lama setelah Tuti mengirimi mereka beberapa potong pakaian berkualitas luar negeri.  

Sejurus kemudian Tuti melangkah masuk ke kamar dengan berbagai masalah yang kian berkecamuk dalam pikirannya. Sejenak ia memarkirkan tubuhnya di depan sebuah laptop. Setelah mencoba damai dengan diri sendiri, ia pun tenggelam dalam jurnal-jurnal ilmiah. Boa sengaja mengarahkan kipas angin ke tempat duduk istrinya agar bisa bekerja dengan nyaman. Selain sibuk meneliti, ibu dari satu anak itu juga tekun menulis artikel ilmiah popular seputar kesusastraan realis hingga surealis.  

Di musim panas kali ini, keluarga ini lebih senang mengunci diri di rumah. Demikian pula dengan orang-orang kebanyakan. Mengunci diri dalam rumah sambil menghidupkan pendingin ruangan ketimbang bepergian ke luar. Menghabiskan hari-hari untuk bersantai dengan keluarga merupakan pilihan yang tepat saat suhu mencapai 42 derajat Celsius.

Apartemen yang mereka tempati lokasinya tak jauh dari kampus. Hanya lima belas menit jika menggunakan angkutan umum seperti bus. Bangunan bertingkat itu penghuninya rata-rata keluarga mahasiswa dari Asia. Ada Indonesia, China, India, hingga para urban berkulit hitam. Cukup padat sehingga sepanjang hari dan sepanjang malam suasana sangat meriah. Jika sedang ingin fokus pada urusan penelitian, tak jarang Tuti memutuskan untuk bermalam di kampus. Satu hal yang lazim bagi pelajar-pelajar di sini.

Tuti melongok jam dinding di dekat pintu kamar, hampir pukul satu pagi. Ia menghentikan aktivitasnya lalu menyusul anaknya yang sudah tidur dari tadi. Sementara Boa sudah berangkat kerja sejam yang lalu. Lelaki itu adalah seorang cleaning service di beberapa kantor swasta. Biasanya pulang menjelang subuh. Saat Boa tak ada di rumah, buah cinta mereka ada dalam pengawasan Tuti dan demikian pula sebaliknya.

Berawal dari jatuh cinta, menikah, menikmati indahnya hubungan, hampir tak ada yang mereka reka-reka.

Aku tak peduli apa julukan mereka padaku, yang paling penting punya hidup dan kehidupan yang tidak melanggar norma,” batin Tuti.   

Di mata sebagian orang, bahkan orang tua sendiri, hidup mereka terkesan membingungkan, berkelok-kelok, dan tak sepadan. Namun, kesan itu ditebas oleh kenyataan yang keduanya jalani sehari-hari. Kesediaan untuk menerima dan mengenakan selimut kebahagiaan yang bisa dipersembahkan oleh Boa telah mengukuhkan Tuti sebagai individu yang berpendidikan.  

Pada sebuah siang, Tuti mengajak Boa ke kampus sebab ada farewell party seorang dosen senior yang merupakan kolega promotornya. Walau kini berstatus mahasiswi S3, Tuti tak pernah ingin terlihat menonjol dari sang suami. Meskipun peluang untuk itu terbuka lebar. Ia mengerti betul bagaimana seharusnya menempatkan diri. Kesederhanaan Boa justru membuat Tuti jadi lebih sederhana lagi.

Di kampus yang terletak di North Terrace itu, Boa membangun interaksi dengan kolega-kolega istrinya. Tak ada rasa minder yang mengganggu urat-uratnya saat bertemu dengan mereka yang berbadan kurus dan berkaca mata tebal meskipun dengan kemampuan bahasa Inggris yang terbata-bata. Seperti biasa semua dilakukan Boa dengan kepercayaan diri yang tinggi. Kemudian mereka yang ritme hidupnya banyak disibukkan dengan jurnal, buku-buku, dan penelitian itu menjawab Boa dalam nuansa kekeluargaan yang kental. Mengalir dengan tenang. Bahkan Boa sering mengambil inisiatif membuka obrolan.

“Nice to meet you again,” ucap Boa tanpa ragu sambil menyalami orang satu per satu.

Oh yeah, thank you. Nice to meet you too,” balas mereka dengan dialek masing-masing. 

Tiba-tiba Tuti mendekati seorang mahasiswi asal Russia sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. 

“Ini tulisanku bersama suami,” ucapnya.

Dari sorot matanya terpancar semangat yang berapi-api. Kata-katanya sempat menarik perhatian beberapa temannya yang lain.

“Wah, sebuah kolaborasi hebat,” sambut mahasiswi yang matanya melirik cover paper di tangan Tuti. Ia kagum rupanya.

“Suamiku banyak membantu selama proses penulisan ini dan aku sangat berterima kasih padanya,” Tuti menunjuk Boa yang saat itu sedang asyik bercakap-cakap.

Mahasiswa asal Rusia itu tertawa dan berkata bahwa kalian benar-benar pasangan yang saling melengkapi. 

Wajah kurus Tuti berubah ceria menyambut ucapan itu. Segaris senyum melintas di pipinya. Masih di lokasi yang sama, Ia menarik tangan suaminya. Rupanya ingin dikenalkan kepada Professor Miller. Di tengah kerumunan orang, mereka melewati sebuah koridor yang menghubungkan hall tempat acara berlangsungdengan satu ruangan di mana Professor Miller dan para petinggi kampus berkumpul.

Pada dinding bangunan tua itu dipajang foto-foto guru besar atau mungkin para pendiri kampus nomor tiga tertua di benua ini. Kualitas gambarnya maksimal dan semua dalam kondisi terawat dengan baik. Begitu pun dengan meja-meja panjang yang berjejer di kiri dan kanan mereka, di atasnya berserakan buku-buku, koran, jurnal hingga kertas-kertas putih yang berisi catatan-catatan penting.  

Boa mengikuti langkah kaki istrinya sambil menggendong anaknya dengan sabar. Kebahagiaan menguasai diri Tuti saat akan mengenalkan keluarganya kepada Professor Miller.

“Selamat, Professor. Acaranya sukses. Selamat bertugas di tempat yang baru,” ucap Tuti menggunakan bahasa Inggris. Keduanya berjabat akrab.   “Yeah, thank you very much, Tuti.” balas Professor Miller.

Aura tawadhu dalam ilmu pengetahuan tampak dengan jelas di mukanya.  Sama seperti Tuti, tubuhnya kurus, rambut putih, dengan kacamata moscot yang tebal. Setelah memperkenalkan suami dan anaknya kepada Professor Miller, mereka pun larut dalam tanya jawab soal lokasi dan tugas-tugas baru Professor Miller. Sesekali Boa ikut mengeluarkan kata-kata namun cukup untuk hal-hal yang dirinya kuasai. Jika mengalami kerumitan maka ia tak segan mengakui ketidakpahamannya. Dan memulai lagi dengan satu topik baru.

***

Keesokan harinya, bulan bersinar terang dan dipagari bintang-bintang. Dari tempat kerja Boa mengayuh sepeda menuju rumah. Semilir udara sepanjang jalan lumayan sejuk, membuat perasaannya nyaman. Biasanya pukul empat pagi ia baru kelar dari pekerjaannya. Lelah, iya. Mengingat tanggung jawab, ia kembali kuat. Sebagai kepala keluarga ia tahu persis apa yang mesti dilakukan. Hal-hal demikianlah yang membuat hidupnya bersama Tuti ditaburi kasih sayang yang berlimpah. Untuk urusan-urusan kecil semisal cuci piring, sapu, dan jemur pakaian, semua pasti beres olehnya. Bahkan tak mengizinkan Tuti untuk ikut turun tangan. Makna pernikahan yang salah satunya ialah saling bantu membantu dan saling melengkapi telah jadi semacam pedoman hidupnya.  

Rembulan makin bersinar terang saat Boa memasuki komplek perumahan. Begitu turun dari sepeda terdengar suara kerikil yang bergeser karena diinjaknya. Diam-diam ia membuka pintu sebab tak ingin anaknya terbangun. Sementara sang istri baru saja kembali beraktifitas sambil menunggu waktu ibadah subuh. Boa menutup pintu dari dalam tanpa suara lalu melangkah ringan ke arah kamar. Dari balik pintu ia mengintip istrinya yang sedang membaca buku.

Tak lama berselang, Tuti terkejut saat kedua tangan Boa mendarat dengan sempurna di atas pundaknya. Lelaki itu memijatnya dengan tekanan yang sedang dan panjang. Sedikit membuatnya santai. Boa paham istrinya pasti pegal-pegal lantaran kelamaan duduk. Dilayani sang suami membuat Tuti senang bukan buatan. Saat menulis misalnya, keberadaan Boa di sampingnya begitu membuatnya bahagia. Hal itu yang kemudian mengilhami Tuti saat bercerita ke orang-orang bahwa Boa juga terlibat dalam tugas-tugas akademiknya.

“Tunggu sebentar, Sayang, Aku mau ambil sesuatu.”

Boa meninggalkan istrinya.

“Baiklah, jangan lama-lama, Mas. Aku masih ingin bersamamu,” bantah Tuti manja sambil mengantar suaminya keluar kamar. Boa dibiarkan tetap merangkul dirinya hingga ke depan pintu.  

Sepuluh menit berlalu Boa belum juga kembali. Tuti penasaran apa gerangan yang dijanjikan suaminya. Nah, jika ia berpikir serius untuk mengetahui sesuatu yang baru, gairahnya menyala-nyala. Energinya membesar. Naluri seorang peneliti melejit tak terkendali. Berapi-api. Ia terbangun dan menjauh dari laptop serta buku-buku di atas meja. Lalu di depan pintu kamar ia menyaksikan Boa hadir dengan secangkir susu.

“Maaf, Sayang, kelamaan. Kubuatkan minuman untukmu,” kata-kata keluar dari mulut Boa dengan penuh hormat. “Agar kamu kuat belajar,” tambahnya.

Tuti kehabisan kata-kata. Ia mengangguk dengan wajah yang sumringah. Membaca isyarat dari sang Istri, tanpa buang tempo Boa langsung meletakkan wajahnya di kening Tuti. Benar lelaki yang cuma jebolan sekolah menengah atas itu tak pernah kehabisan energi untuk membahagiakan istrinya.

***

Tiga bulan kemudian, Boa harus kerja di rumah. Dalam sebuah kecelakaan di King William street, ia harus ikhlas kedua kakinya dipotong. Sementara Karina, putri semata wayang mereka, meninggal seminggu yang lalu karena infeksi paru-paru akut. [Adelaide, 2018]

Muhammad Hidayat Chaidir
Author: Muhammad Hidayat Chaidir

Muhammad Hidayat Chaidir, lahir di Dompu (NTB), 12 November 1986. Belajar menulis di Rumah Dunia sejak tahun 2015. Pengagum Nelson Mandela ini pernah bermukim di Australia Selatan. Kini, sembari terus mengasah keterampilan menulisnya, Muhammad Hidayat Chaidir menjadi staf pendidik di English First (EF) Cilegon dan UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten.

By Muhammad Hidayat Chaidir

Muhammad Hidayat Chaidir, lahir di Dompu (NTB), 12 November 1986. Belajar menulis di Rumah Dunia sejak tahun 2015. Pengagum Nelson Mandela ini pernah bermukim di Australia Selatan. Kini, sembari terus mengasah keterampilan menulisnya, Muhammad Hidayat Chaidir menjadi staf pendidik di English First (EF) Cilegon dan UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *