Kita tak ubahnya ambivalensi yang bergerak oleh perasaan yang saling bertentangan, antara ketaatan di satu sisi dan pengingkaran di sisi lainnya.

Pikiran kita kerap berisi angan-angan kebaikan, tapi dalam realitas tindakan yang kita lakukan ternyata masih jauh dari kebaikan yang kita sendiri mengakuinya.

Dalam satu peristiwa, kita seperti dihinggapi oleh kuatnya rasa rindu untuk memperbaiki diri dari kekeliruan sebelumnya. Tapi setelah melewati waktu yang tak lama, kita kembali berkubang dengan kekeliruan yang semula ingin kita koreksi. 

Alih-alih mengoptimalkan diri, kita cenderung hanya memilih berkhayal untuk kebaikan yang kita cita-citakan tanpa melakukan sesuatu apapun. Begitulah ambivalensi bisa menyergap siapa saja, tak  terkecuali diri kita, yang membuat diri senantiasa berada dalam keseolah-olahan.

Ketakutan dan Harapan

Kesanggupan dalam pikiran dan ketidaksanggupan dalam tindakan senyatanya adalah kontradiksi yang diproduksi oleh kuatnya ambivalensi dalam diri seseorang. Akan selalu muncul pertanyaan berulang, bagaimana mungkin kita bisa menduakan maksud yang berbeda dalam satu kesanggupan hati?

Bukankah sudah jelas apa yang menjadi ketetapan-Nya, bahwa Dia tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya? (QS Al-Azhab, ayat 4)

Dalam psikologi, ambivalensi lebih memperlihatkan ciri seseorang dalam berbagai tingkatan mental. Andaikan seseorang memiliki ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu, maka akan mudah sekali baginya untuk menjadi cemas dan panik terhadap sesuatu itu. Atau, bila  seseorang memiliki harapan yang terlalu tinggi, namun tidak menyadari kenyataan hidupnya, ia bisa menjadi pengkhayal tingkat tinggi.

Di dalam ambivalensi kejiwaan manusia, terdapat rasa takut di satu sisi jiwanya dan rasa harap di sisi yang lainnya. Ketakutan dan harapan adalah dua garis jiwa yang berlawanan dan berada pada sudut yang saling berhadapan.

Di setiap ritual ibadah yang kita sertai dengan penghayatan kontemplatif seusainya, semoga kita bisa menggusur ambivalensi yang melumuri diri kita.

Kontemplasi dalam wujud doa-doa tak hanya membuat kita makin merasa dekat dengan-Nya, tapi bisa juga menjadi semacam metode Illahiah bagi penyatuan hati dan pikiran di jalan kebaikan yang telah digariskan oleh-Nya. Insya Allah. [Kopajali, Jumat, 6 September 2019]

Cukup Wibowo
Author: Cukup Wibowo

Widyaiswara BPSDM Provinsi NTB yang juga pengamat politik, sosial, dan budaya.

By Cukup Wibowo

Widyaiswara BPSDM Provinsi NTB yang juga pengamat politik, sosial, dan budaya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *