Sebutan “kampung santri” dalam tulisan ini saya sematkan kepada kampung-kampung atau desa atau daerah di Nusa Tenggara Barat (NTB) yang aktivitas kesehariannya diwarnai dengan kegiatan islami, baik oleh masyarakat secara umum maupun santri di pesantren.

Saya menyebut NTB sebagai kampung santri karena semangat religiositas yang terbentuk di dalam kehidupan masyarakatnya sangat dinamis dan diwarnai keberadaan pondok pesantren di tiap kabupaten/kota.

Dalam diskusi singkat bersama teman-teman mahasiswa asal Sumbawa Barat yang saat ini berkuliah di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), kami menemukan catatan penting bahwa NTB kelak bisa menjadi pusat peradaban Islam Nusantara.

Hal ini cukup beralasan, karena salah satunya dapat kami lihat dengan pengamatan di lapangan. Jadi, ketika anak-anak tamat SD dan SMP, para orang tua berbondong-bondong mendaftarkan mereka di pondok pesantren. Sebab, orang tua ingin anaknya mandiri dan mendapatkan pengetahuan agama yang layak.

Jumlah pesantren yang tersebar di Pulau Lombok dan Sumbawa tercatat sebanyak 22 untuk jenjang Ula (setingkat madrasah ibtidaiyah/sekolah dasar), 527 Wustho (madrasah tsanawiyah/sekolah menengah pertama), dan 549 Ulya (madrasah aliyah/sekolah menengah atas/kejuruan), sesuai dengan rilis Badan Pusat Statistik Provinsi NTB tahun 2014. Tentu saat ini angka tersebut sudah semakin bertambah.

Nah, data ini menunjukkan bahwa dukungan masyarakat terhadap keberadaan pondok pesantren cukup tinggi. Alhasil, patut dipikirkan bagaimana ke depannya lembaga benteng utama ketahanan Islam NTB ini dapat bertahan dari gempuran teknologi media yang sudah masuk ke seluruh sendi kehidupan masyarakat.

Peradaban Informasi

Pengaruh masif jejaring media sosial—bukan hanya sebagai perangkat hiburan dengan gadget yang selalu menemani setiap saat—sudah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat. Di sana kita belajar dan mendapatkan informasi tentang berbagai hal, mulai dari pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga agama.

Lantas, muncul pertanyaan, bagaimana kesiapan pondok pesantren dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi yang tumbuh semakin pesat dan merajalela dalam setiap ruang gerak kehidupan manusia?

Kita dapat menyaksikan, dalam berbagai aktivitas, betapa peradaban manusia hari ini dipimpin oleh negara-negara yang menguasai informasi. Setiap ruang gerak manusia dapat diketahui dengan berselancar di media sosial. Kita akan mengetahui seluruh isi dunia dan berbagai aktifitas di dalamnya lewat Internet.

Adapun Indonesia hari ini sudah dikelompokkan dalam jutaan angka dan data yang dikelola tujuh perusahaan Internet raksasa dunia. Perusahaan-perusahaan tersebut telah mengambil peran untuk memudahkan dan memberi kenyamanan masyarakat dalam bersosialisasi dan bertransaksi demi memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Google sebagai mesin pencarian terbesar saat ini merupakan pemimpin dunia dalam pencarian, iklan kontekstual, dan penawaran online. Kemudian, ada Expedia Inc sebagai perusahaan AS yang memiliki dan mengoperasikan beberapa merek perjalanan internasional secara online memudahkan masyarakat dunia untuk bepergian.

Juga, Alibaba sebagai e-commerce terbesar yang berpusat di Hangzhou, Tiongkok, dan tersebar di beberapa negara seperti Swiss dan Amerika Serikat. Sedangkan EBay menawarkan pasar online global bagi individu dan usaha kecil untuk menjual langsung kepada konsumen melalui daftar set-harga atau lelang.

Linked In mencoba menghubungkan orang sesuai dengan latar belakang profesinya, dan akhirnya menjelma jadi salah satu perusahaan berbasis Internet dengan valuasi yang bahkan hampir menyaingi Google.

Jangan lupa Facebook sebagai situs jejaring sosial paling populer di dunia.  Amazon sebagai penjual buku secara online dan lalu mengalami diversifikasi menjadi pengecer terbesar di AS berbasis Internet. Terakhir, Yahoo masih menawarkan konten digital dan berbagai layanan melalui portal online. [baca selanjutnya: Subjek atau Objek Internet?]

Roy Marhandra
Author: Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

By Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

3 thoughts on “Tantangan Internet di Kampung Santri”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *