Kali ini suamiku melakukannya dan aku membantunya. Kami benar-benar puas. Membunuh. Awalnya kami hanya mengajak Borneo sedikit bermain memanfaatkan waktu lockdown karena wabah Covid-19. Tapi entah kenapa keisengan kami berlanjut menjadi sebuah ambisi ketika Borneo lolos terus dari jebakan kami.
Oh ya, aku akan menyinggung sedikit alasan kami berdiam diri di rumah terus. Saat ini di luar sana sudah seperti ada teror. Teror kedua setelah gempa bumi melanda Pulau Lombok. Kali ini jaringan bencana mendunia. Seakan kami sedang bermain film horor. Berhadapan dengan hantu yang tidak kami ketahui keberadaannya. Jadi, malah ini lebih menyeramkan dari film horor.
Jika kalian pernah menonton film horor, hantu seakan hanya jadi tokoh figuran dengan sosok seramnya, tapi ini berbeda. Dunia sedang disentak dengan keberadaan makhluk Tuhan bernama Covid-19 atau virus Corona. Virus mematikan yang memaksa orang mengambil kebijakan lockdown atau isolasi diri dengan berdiam di rumah. Takut ketularan.
Toh, pemerintah belum berani mengeluarkan kebijakan lockdown penuh, mungkin alasan ekonomi atau entahlah. Atau mungkin pemerintah juga sedang bingung saat ini. Bingung jangan-jangan sang virus saat ini ingin menguasai dunia. Menjadi raja di bumi persada. Lalu presiden tumbang dan menjadi pengganti barangkali.
Ataukah virus ini semacam “kiriman” karena saat ini dunia juga sedang marak dengan sesuatu serba online. Jangan-jangan virus ini juga bisa menyebar secara online? Ahh! Fobia membuatku berpikir ngawur. Lupakan saja. Kali ini aku akan kembali berkisah mengenai si Borneo.
Suamiku menjadi naik pitam dan aku pun terbawa suasana. Terjadilah insiden itu. Tragedi pembunuhan yang tidak pernah kami rencanakan sebelumnya. Pembunuhan paling keji yang pernah kami lakukan, dan kali ini kami benar-benar bekerja sama. Membunuh Borneo.
Kejadian ini bermula ketika tanpa sengaja suamiku memergoki Borneo sedang mengintip dari balik loster rumah. Ia benar-benar menguping pembicaraan kami. Pembicaraan yang tidak penting sebenarnya, tapi aku tak suka. Borneo terlalu ikut campur urusan kami. Dengan satu kedipan, aku pun paham maksud suamiku. Menjebak Borneo, lalu membuatnya meronta dan akhirnya … Titik rencana itu.
Rupanya Borneo pun paham rencana kami. Mungkin itu maksudnya menguping tadi. Mendengarkan setiap rencana kami, lalu bergegas melarikan diri. Memberi tahu keluarga, sahabat, dan tetangganya. Benar-benar tidak sopan. Borneo tidak sedungu yang kupikirkan. Dia bahkan nyaris sangat cerdas. Seharusnya, kami bisa memanfaatkannya dulu menjadi detektif.
Bukankah saat ini negara sedang dihebohkan dengan langkanya alat-alat antiseptik secara tiba-tiba? Sebut saja masker, salah satunya. Barangkali Borneo bisa dimanfaatkan untuk menyelidiki apakah telah terjadi penimbunan oleh oknum yang memanfaatkan situasi, lalu menjualnya dengan harga melambung dengan maksud untuk kepentingan ekonomi semata? Ini sebenarnya masuk akal.
Para elite politik pun tak ada gaung sama sekali sekadar hanya berbagi masker, tapi menjelang pesta demokrasi semua warga tanpa meminta pun kebagian baju partai. Jika dihitung-hitung, satu baju partai bisa disulap menjadi sekian masker, asal mau kreatif. Tapi, begitulah, tak ada yang mau berbuat tanpa kepentingan, karena hidup ini adalah tentang apa yang saya lakukan haruslah saya petik hasilnya.
Semacam hitungan untung rugi dan tak ada yang mau rugi. Nyaris tak ada. Tapi, rasanya tidak bijak meminta bantuan pada musuh bebuyutan. Jadi kuurungkan saja niat itu. Untuk kali kedua pikiranku melanglang buana. Dan kali ini kembali ke urusan Borneo. Tapi, tenanglah Borneo sayang, menyingkirkanmu adalah cara teraman kami. Jadi bersiaplah.
Suamiku mulai mengambil aba-aba. Pelan dan pasti ia melangkah mendekati persembunyian Borneo. Parang yang dibawanya berkarat, tapi karatnya cukup beracun dan bahkan sama mengerikannya dengan virus corona. Dengan sekali hempas, ia berhasil menebas kaki kiri borneo. Aku menjaga jarak dua meter sambil membawa kayu. Khawatir kalau-kalau Borneo menyerangku dan mencoba kabur.
Aku banyangkan wajahnya yang mengiba dan memelas saat tertangkap. Tapi, aku salah besar. Wajahnya justru menantang penuh amarah. Ia mencoba berontak mengerahkan semua kekuatannya. Dengan kaki kanannya ia berontak hendak melepaskan diri. Darah yang merembes dari kaki kirinya tak ia hiraukan. Ia bahkan sempat-sempatnya buang kotoran dan kencing mengenai tangan suamiku. Dasar jorok, pikirku.
Ia menggigit suamiku. Suamiku berteriak kaget. Hampir saja terlepas jepitannya pada kaki Borneo, tapi rupanya berhasil juga ia kuatkan cengkramannya agar si jorok ini tak melarikan diri. Melihat ekspresinya yang menantang, rasa empatiku seketika sirna. Bahkan kini wajahku pias dan aku mulai mendengus kesal. Borneo ternyata sangat kuat dan pemberani. Ia terlihat seperti kesatria di film-film laga.
Aku mulai berpikir, kami atau Borneo yang jadi tokoh utama. Di tengah lamunanku, tiba-tiba suamiku berteriak, “Jangan biarkan si dungu itu lolos”. Aku kaget. Suamiku terluka dan Borneo berhasil kabur. Kini ia bersembunyi di kamar bayiku yang tengah tertidur pulas. Dug! Hatiku tiba-tiba waswas. Aku takut Borneo menjadikan Rafa, bayiku yang baru berumur sebelas bulan, sebagai sandera.
Bukankah Borneo itu licik? Dia bisa melakukan bermacam cara agar bisa menguasai rumah kami. Buktinya, setiap ruang dan sudut rumah ini hampir dihafalnya sehingga ia tak kesulitan saat meloloskan diri dan kali ini, naaah! Akhirnya kau tertangkap lagi, Darling. Sudahlah menyerah saja, pergilah selagi aku mengizinkan.
Tetap saja sifat melawanmu kau tunjukkan. Bahkan dengan bangga kau memandang kami satu persatu sambil tersenyum sinis penuh kemenangan. Rasanya meski di ujung kuku nyawamu akan melayang, tetap saja kau merasa menjadi seorang kesatria. Kesatria penjilat. Pecundang. Mengambil keuntungan dari kami.
“Bagaimana kalau kita ikat saja dia dan kita seret keluar?” Sebuah pertanyaan yang sekaligus menjadi keputusan sepihak suamiku. Tapi, rasanya itu jalan terbaik saat ini.
“Baik,” jawabku spontan. Wajah suamiku nampak pias. Kesal dengan Borneo dan denganku barangkali. Aku terlalu banyak melamun. Aku mulai mencari tali. Di dapur, di ruang tengah, di gudang, bahkan di kamar, tapi tetap tak ada. Mendadak tali menjadi langka. Selangka alat-alat antiseptik lainnya. Barangkali tali pun juga ditimbun oleh oknum tak bertanggung jawab.
Aku meminta Halwa, anak sulungku mengungsi ke rumah tetangga. Dari tadi ia hanya menjadi saksi perseteruan kami dengan Borneo. Sepertinya ia takut. Ia hanya mengangguk, lalu pergi. Aku masih mencari tali. Akhirnya, kuputuskan meminta pada tetangga. Tanpa rasa curiga, tatangga pun memberi. Halwa tak bicara apa-apa. Rupanya ia benar-benar tahu maksud kami. Mengungsi dan cukup diam. Hanya kita saja yang tahu.
Aku datang membawa tali. Suamiku mendengus kesal karena aku terlalu lama. Waktu mencari tali memberi peluang untuk Borneo kabur lagi, bahkan melawan suamiku. Ia sangat durhaka. Tak tahu diuntung. Suamiku mulai mengikatnya, tapi terlepas terus. Si jorok itu melawan tatkala akan diikat. Dipikirnya kami juga sudi bersentuhan dengan tubuh joroknya?
Tapi, dengan begini kami tidak kewalahan untuk menyeretnya. Dan apa yang terjadi? Aku melongo. Suamiku pun tak bisa berkata apa-apa. Seakan memiliki hipnotis, si jorok itu kembali berhasil kabur. Sebelum berlalu ia sempat tersenyum padaku penuh kemenangan. Senyum yang sangat mengerikan. Senyum yang tidak akan pernah bisa kulupakan.
Ia kembali bersembunyi. Kali ini di balik etalase. Ia sebenarnya bisa saja lari lewat pintu depan dan berhasil jadi pemenang. Bukankah setiap jengkal rumah ini dihafalnya betul? Tapi kali ini, rupanya dia menikmati permainan kami dan bahkan kini ia yang pegang kendali. Senyum tadi menyiratkan pesan, “Jangan coba-coba bermain denganku jika kamu benar-benar tak punya nyali.”
Permainan petak umpet terjadi. Kami masih di posisi yang kalah, Borneo yang bersembunyi dan kali ini permainan yang sebenarnya baru dimulai di mana masing-masing dari kami ikut terlibat dan benar-benar menikmati permainannya. Aku bergidik ngeri dengan permainan ini. Seakan jika kalah, kami harus meregang nyawa.
Suamiku tak menyadari akal bulus Borneo. Dipikirnya, si jorok itu masih takut pada kami. Tidak. Bahkan ia berlari dengan penuh antusias sambil berseru, “Kejarlah jika kau benar-benar kuat.” Aku muak. Ingin kuakhiri permainan ini. Tapi, mengakhiri berarti menyerah kalah dan membiarkan Borneo, si penjilat itu, menguasai harta benda kami, bahkan menguasai kami. Aku tak akan membiarkan semua itu terjadi. Aku harus berjuang bertarung membantu suamiku menaklukannya.
Bukankah suamiku sedari tadi berjuang melawan si licik itu? Kami terus mengejarnya. Ia lari semakin lincah. Tertawa menampakkan deretan gigi adalah ciri khasnya. Napasnya begitu busuk, sebusuk hatinya. Setiap melewatiku ia selalu tertawa. Tiupan kipas angin membuat aroma napasnya terbang ke arah mukaku. Nyaris membuatku muntah. Ia sengaja melakukan itu. Bukankah perempuan lebih bisa ditaklukkan dengan perasaan? Itu strategi yang dia lakukan padaku. Tapi kamu salah. Kamu belum mengenalku.
Saat ia tertawa mengejekku, suamiku buru-buru menghantamnya dengan kayu yang tadi kubawa. Kayu itu mengenai kepalanya. Darah mulai keluar. Ia kini benar-benar tertangkap. Segera saja suamiku mengikat kaki dan tangannya dengan tali. Kau lupa, Borneo, kalau aku tidak sendiri. Jadi telan saja ejekanmu yang tadi.
Wajah puas sengaja kutunjukkan padanya untuk mengganti kekesalanku. Wajahnya tetap tak berubah. Penuh tantangan dan kali ini seolah ia berpesan, “Jangan senang dulu, karena masih ada Borneo-Borneo lain yang akan datang membelaku. Kau lupa bahwa aku punya keluarga sepertimu yang akan siap datang kapan pun aku membutuhkannya. Jadi, siap-siaplah.”
Ia masih tertawa ke arahku. Nafasnya semakin busuk bercampur aroma darah kekalahan. Sangat amis. “Sebentar lagi kau akan menemui ajalmu, jadi tertawalah sepuasmu,” kata-kata itu terlontar spontan dari bibirku. Suamiku sampai kaget mendengarnya. Ia tak mengira aku sedendam itu. Tapi wajahnya senang. Tadinya ia sempat khawatir kalau-kalau aku akan berempati dan memintanya membebaskan si jorok itu. Tapi kali ini, rasa marahnya terbayarkan.
Borneo telah tiada. Tak ada yang tahu kuburnya di mana. Suamiku membuangnya begitu saja ke sungai. Tepat pukul sebelas menjelang tengah malam. Tak ada yang melihat. Jam segitu perkampungan sudah sepi. Mungkin orang-orang juga sedang malas ikut campur. Virus corona membuat masyarakat jadi malas bergibah. Ada untungnya juga, pikirku.
Dua malam tidur kami terasa nyenyak, tanpa ada gangguan lagi. Lega rasanya. Sampai suatu ketika, pukul satu dini hari, Rafa batuk-batuk dan terbangun. Ia merengek. Mungkin ia haus. Sambil menahan kantuk aku mengambilkan air di dapur. Saat berjalan sambil terkulai, tiba-tiba sepasang mata mengamatiku. Sorot mata tajam, penuh amarah, penuh dendam. Aku bergidik ngeri sambil mencengkeram selimut yang masih menempel di badan.
Wajahnya sangat kukenal. Wajah yang sangat tidak asing. Mirip Borneo. Srrr! Darahku berdesir hebat, jantungku berdegup kencang, kakiku gemetaran. Aku semakin sempoyongan. Inikah saatnya balas dendam seperti yang dikatakan Borneo sebelum ajal menjemputnya? Terlalu cepat. Hanya dua malam kami merasakan ketenangan, dan kini dendam itu benar-benar akan terbalaskan.
Suara batuk Rafa masih terdengar. Aku urung mengambil air. Kuputuskan lari ke kamar mendekap Rafa. Takut kalau-kalau ia jadi sasaran balas dendam. Suamiku masih mendengkur. Mungkin dikiranya ia akan tidur nyenyak setiap malam, tapi ia salah besar. Dendam itu datang begitu cepat, bahkan kemenangan belum sempat kami rayakan.
Aku membangunkan suamiku, tapi justru ia semakin asyik terlena dengan mimpi indah barangkali. Kutarik selimutnya membuatnya kaget dan terbangun. Matanya masih merah karena mengantuk. Aku langsung memberitahunya. Ia langsung melonjak. Aku menggendong Rafa mengikuti suamiku. Suamiku bergegas menuju dapur. Laki-laki yang sangat pemberani, pikirku. Ia melihat siapa yang datang. Dan benar saja, itu saudara Borneo, si Pardielo.
Rupanya ia tahu kisah kami dengan adiknya. Ia kini datang untuk membalas dendam. Sorot matanya tajam. Aku memeriksa isi rumah. Ternyata sudah diacak-acaknya. Mulai dari makanan, pakaian anak-anak, barang-barang kesayanganku tak luput dari incarannya. Ia sengaja membuat kami marah. Begitulah caranya membalas dendam.
Suamiku langsung mengambil tongkat penyangga jemuran di samping mesin cuci. Melihat suamiku membawa tongkat dan membalas tajam pandangannya, seketika nyali si Pardielo menciut. Rupanya ia tidak seberani Borneo. Ia langsung bergegas hendak pergi. Suamiku semakin menyondolkan tongkat hampir mengenai perut Pardielo. Ia lari terbirit-birit. Begitulah cara tikus membela saudaranya. Mengacak-acak barang kami adalah hobinya. Tapi tidak apa-apa, karena aku yakin setelah itu, baik kakaknya atau bangsa tikus lainnya tak akan berani lagi. Aku lega.