Buku Sajak Merah Putih karya Yin Ude adalah zaman dan keindahan yang membaca dirinya dalam tulisan yang apik, disusun dengan manis oleh tangan terampil yang jujur pada intuisi dan imajinasinya. Bahwa rangkai katanya adalah persepsi, interpretasi, preferensi, dan imajinasi yang dideskripsikan dalam bentuk puisi-puisi yang asyik dan menarik untuk terus dibaca.

Sebagai penulis sastra, saya merasa sebagian dari dahaga saya cukup tersirami oleh puisi-puisi yang ditulis Yin Ude. Salah satu puisi yang berjudul “Sajak Merah Putih” pernah saya bacakan dalam sebuah pagelaran bersama seniman musik lainnya dan cukup memberikan energi tidak saja kepada saya sebagai pembaca, tapi juga kepada penonton yang saat itu ikut larut dalam kritik sosial tentang reformasi yang mencemaskan tapi memberi mimpi perubahan dibalik niat baik penguasa.

Itu artinya, betapa seorang Yin Ude mampu merekam dinamika perubahan zaman dari era kekuasaan dengan segala implikasinya meskipun “tak cukup doa selamat terlipat dalam niat dan tak cukup ketinggian akal kemanusiaan dalam cengkeraman gulita yang tak tahu apa itu manusia”. Reformasi bagi Yin Ude adalah cita-cita memindahkan cahaya matahari bagi yang menunggu perubahan di kolong langit. Pada puisi yang lain saya mengenal kepekaan spiritual Yin Ude, semisal dalam puisi “Sahur”, di mana dia terbangkan kesalehannya berbagi permen untuk anak-anak di sorga.

Tapi pada suatu kesempatan dia juga menyimpan semacam kepanikan pada pergeseran nilai dan evolusi peradaban yang mengaburkan bentuk orisinalitas desa yang bermetamorfosis menjadi seolah-olah kota, sehingga tak lagi menemukan kesyahduan bersenandung di malam purnama sembil menyeruput kopi perawan sambil menghisap candu dari daun lontar dan tembakau. Desa yang sunyi dari suara anak-anak mengaji, tergantikan siaran televisi yang miskin edukasi. Kecemasan ini kita temukan dalam puisi “Aku Rindu Malam di Desa”.

Orisinalitas karya puisi Yin Ude dipengaruhi oleh kuatnya penghayatan pada dinamika kehidupan di desa atau kampung yang kaya dengan sistem nilai dan kearifan serta dari situlah kesejatian cinta dia temukan. Pilihan kata dan simbol-simbol yang dimainkan cukup jelas sebagai perpaduan Timur Kemelayuan dengan khas kekinian yang suka dengan perubahan dan kebaruan. Karena itu, nuansa puisi yang ditulis meski berisikan kritik sosial tapi tetap tidak melupakan alam, cinta, dan ketuhanan. Namun lebih dari itu, kita berharap buku puisi ini bisa memperkaya khazanah kesusasteraan Indonesia sekaligus sebagai tambahan referensi dalam menikmati sastra puisi yang bening, jujur, dan penuh hikmah sahaja.

Terakhir saya ingin mengutip bait-bait puisi Yin Ude sebagai akhir pengantar:

“Hinggaplah engkau burung-burung kecil di dahan yang kau pilih, merangkai sarang masa depan dari potongan ranting belukar dan helai rumputan kering padang masa lalu. Jadilah engkau penghuni setia rerimbunan hijau dan musim ranum buah serta mekar bunga dilekati aroma harum kebahagiaan.”

Selamat membaca bukunya, insyaallah Anda akan tercerahkan. []

  • Untuk membeli buku Sajak Merah Putih versi cetak, klik: s.id/rehal.
  • Sedangkan untuk versi elektronik di Google Play Books, klik: s.id/sajak.


Agus Irawan Syahmi
Author: Agus Irawan Syahmi

Sastrawan Sumbawa.

By Agus Irawan Syahmi

Sastrawan Sumbawa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *