Hal terberat dari sebuah pendakian bukanlah perjuangan mencapai puncaknya, tetapi merelakan kegagalan mencapai puncak itu sendiri. Pendakian kali ini begitu memorable bagiku. Pengalaman pertama bagiku naik gunung dan gagal menuju puncaknya, bukan karena badai, cuaca buruk, atau masalah teknis lainnya. Kali ini kami merelakan puncak dan lebih memilih keselamatan rekan kami.

Singkat cerita kami berangkat menuju top summit sekitar pukul 02.30 dini hari agar bisa Ā sampai di sana sesuai rencana: pukul 06.00 pagi. Tim pendakian kali ini berjumlah 13 orang. Ada aku, suami, anak, keponakan yang baru berumur 12 tahun, Rafli, Angga, Aan, Bidin, Parma, Ayis, Rizki, Ilham, dan mamiq-nya. Bagiku dan beberapa tim lain, seperti anakku, Fawwaz, Rozak; keponakanku, Rizki, Rafli, Parma, Ayis, Ilham, adalah pengalaman pertama naik gunung, walaupun sudah berkali-kali mendaki bukit.

Perencanaan dan persiapan pendakian kali ini termasuk singkat. Dua minggu sebelum berangkat, kami memesan tiket masuk dengan mendaftar melalui aplikasi E-Rinjani. Dan, kami memenuhi syarat pendakian dengan membuat surat keterangan sehat dari dokter setempat untuk dibawa dan diserahkan kepada petugas agar mendapatkan izin pendakian. Akhirnya, tim kami mendapatkan tiket untuk tanggal 8-10 Oktober. Kami check-in tanggal 8 dan check-out tanggal 10 sore harinya.

Setelah check-in, sekitar pukul 17.30, kami bergegas mencari penginapan untuk bermalam. Malam itu juga kami mencari kendaraan sambil membicarakan biaya pengangkutan, akhirnya disepakati biaya dan kami diantar sampai Bawak Nao dengan biaya kendaraan sebesar Rp. 150 ribu.

Perjalanan pendakian kami mulai pukul 06.20 keesokan paginya, dan kami tiba di Pelawangan sekitar pukul 14.00. Sesampai di sana kami mengabadikan momen itu terlebih dahulu. Kami melanjutkan dengan membuat tenda untuk beristirahat dan karena rintik hujan mulai jatuh.

Kami langsung menyiapkan peralatan memasak karena perut sudah lapar pada saat itu. Cuaca di luar pun mulai diselimuti kabut yang tebal hingga menghalangi pandangan untuk menyaksikan keindahan gagahnya gunung dan danau Rinjani. Kami memasak pelecing terong karena bahannya yang sederhana, isinya cuma terong panjang dibakar di atas teflon yang dibumbui dengan cabe, tomat, garam dan terasi. Resep sederhana namun rasanya nikmat luar biasa.

Karena di gunung cuacanya dingin, memang paling pas makan yang pedas begini. Suasana yang sangat menyenangkan bagiku. Suasana seperti inilah yang kucari di atas gunung, sesuatu yang mungkin sulit kudapatkan di tempat lainnya. Kedamaian dan keelokan panorama alam yang berpadu dengan dinginnya udara gunung selalu membuat aku rindu dengan puncak gunung Rinjani.

Api unggun kecil pun kami buat untuk menghangatkan badan. Kayu yang dibakar hanya seadanya. Sebentar menghangatkan badan, kami segera salat Isya dengan cara tayamum dan kemudian masuk sleeping bag masing-masing untuk tidur, padahal waktu belum menunjukkan pukul 08.00 malam, lho, hehe.

Tentu ada alasannya kenapa kami tidur cepat. Yup, kami serempak bangun pukul 02.00 tengah malam untuk persiapan menuju top summit Rinjani. Suasana masih hening dari basecamp, cuaca terlihat bersahabat dari bawah dengan semburat pesona Rinjani sangat gagah disertai pemandangan yang menggoda di depan mata dan mengundang kami untuk mendakinya.

Sebelum berjalan menuju puncak, kami berdoa terlebih dahulu memohon kelancaran dan keselamatan. Ritme awal pendakian masih lancar, napas masih normal, namun karena tanjakan yang semakin curam akhirnya salah satu anggota tim kami drop, hingga kesulitan melanjutkan pendakian. Aku mulai waswas membaca kondisi ini, apalagi melihat kondisi trek yang terus menanjak tanpa bonus trek landai, sangat sulit bagi salah satu anggota tim kami tersebut.

Tak lama setelah kami mencapai punggung tanjakan, dia benar-benar kesulitan untuk berjalan. Kami berhenti cukup lama, di tengah keheningan hutan saat itu. Akhirnya, aku dan suami memutuskan untuk menyudahi perjalanan, sementara sembilan anggota tim lainnya melanjutkan pendakian.

Awalnya aku kaget, keputusan yang sulit memang bagi kami semua. Walaupun anggota tim yang drop tidak meminta pengertian, kemudian aku berpikir bahwa memang tak mungkin pendakian kali ini dilanjutkan mengingat kondisi rekan kami yang sudah cukup parah. Dia tampaknya mengalami mountain sickness. Akhirnya, keputusan untuk balik dibuat.

Bagaimanapun, hatiku legowo menerima kegagalan mencapai puncak. Kondisi temanlah yang menjadi prioritas terpenting. Seandainya pun pendakian dilanjutkan, kami yakin rekan kami tidak akan bisa mencapai puncak dengan kondisi seperti itu. Berkali-kali aku menenangkan hati merelakan puncak. Pasalnya perjalanan menuju ke sini tidak mudah, 7 jam perjalanan dari Bawak Nao ditambah 4-5 jam menuju top summit.

Kami berjalan turun perlahan. Rekan kami sudah kesulitan bergerak, bahkan ketika turun katanya terasa lebih sakit lagi hingga muntah dua kali. Dan aku coba memberikan pertolongan pertama penghangat badan dengan minyak kayu putih.

Singkat cerita, kami akhirnya tiba di tenda, tak begitu jauh dari basecamp. Sekali lagi aku melihat ke belakang. Berharap mampu melihat puncak Rinjani yang tertutup kabut saat itu. Sekali lagi aku harus rela dan ikhlas perjuangan kami sampai punggungan, dan tim kami yang sembilan orang tadi sampai di Letter Eā€”tempat puncak gunung Rinjani yang berada di dekat Top Summit, namun mereka terhalang badai dan hujan, dan lebih penting lagi belum ada izin Allah Swt.

Alhasil, masih kugantungkan mimpi menuju puncaknya. Semoga suatu hari nanti bisa kembali.

Pendakian kali ini mengajariku banyak hal. Bagaimana caranya meredam ego pribadi, belajar ikhlas, dan yang paling utama adalah mempertahankan kebersamaan. Jika kita mendaki bersama, maka kita pun harus turun bersama-sama pula. Susah-senang bersama-sama. Bukankah tujuan kita naik gunung adalah untuk memupuk rasa kebersamaan agar lebih erat?

Susah, senang, bahagia, dan sedih yang dirasakan teman harus menjadi rasa kita bersama juga. Jika satu teman berada dalam kondisi drop, kitalah yang harus merangkulnya, menguatkannya kembali. Karena di gunung, teman jauh lebih berharga dari apa pun. Bahkan puncak gunung pun tak sebanding harganya dengan secuil kuku temanmu yang kau tinggalkan.

Terima kasih Gunung Rinjani. Terima kasih teman. Terima kasih petualangan dan pelajaran berharganya.

Kispul Haeroni
Author: Kispul Haeroni

Ibu rumah tangga. Ketua PAC Muslimat NU Kecamatan Masbagik, Lombok Timur.

By Kispul Haeroni

Ibu rumah tangga. Ketua PAC Muslimat NU Kecamatan Masbagik, Lombok Timur.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *