Diskusi tentang catatan sejarah Sumbawa Barat tempo Dulu yang digelar oleh Rehal.id di Kantor Dinas Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disparpora) Kabupaten Sumbawa Barat berlangsung dinamis. Peserta diskusi yang rata-rata dari kalangan pemerhati sejarah tersebut berangkat dari persepsi yang sama, bahwa catatan sejarah tentang Sumbawa Barat tempo dulu harus digali dan dihadirkan dalam bentuk dokumen yang bisa dilihat dan dipelajari generasi hari ini.
Kegiatan yang dilaksanakan pada hari Jumat, 12/02, ini dipandu Roy Marhandra dan dihadiri para pemerhati dari kalangan akademisi, seniman, budayawan, pelajar, dan pejabat dinas terkait. Hadir sebagai pembahas pada kesempatan tersebut Fathi Yusuf, selaku pemerhati sejarah Sumbawa yang sudah banyak mengeluarkan tulisan tentang sejarah Sumbawa; Dr. Zainuddin, SH, MM, Sekretaris Dinas Pariwisata Pemuda dan Olahraga; dan Ajad Sajadah S. Sos, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa Barat.
Dalam sambutan pembuka sekaligus penyampaian materi tentang catatan sejarah Sumbawa Barat tempo dulu, Sekretaris Dinas Disparpora mengajak seluruh pemerhati sejarah Sumbawa Barat agar saling menghargai perbedaan persepsi tentang sejarah. Setiap orang punya persepsi berbeda tentang sejarah yang mereka ketahui. Itu harus kita hargai selama pendekatan atau metodologi yang dipergunakan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Zainuddin juga membuka ruang untuk mengupas bagaimana sejarah Taliwang tempo dulu. Menurutnya, dari beberapa referensi yang dibaca bahwa, Banjar merupakan desa bersejarah yang dahulunya menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Taliwang. Desa Banjar, yang memiliki posisi geografis berdampingan dengan sungai dan dikelilingi gunung, sangat strategis menjadi daerah pertahanan saat itu karena dikelilingi oleh benteng alam berupa pegunungan. Demikian pula proses masuknya Islam yang dibawa Sunan Prapen, yang merupakan keturunan Sunan Gresik, memiliki rentetan sejarah yang sangat erat dengan Taliwang.
Banyaknya catatan tentang sejarah Sumbawa Barat yang harus dikuak. Dr. Zainuddin menyarankan agar secara proaktif data-data dan informasi yang tersimpan tersebut harus digali keberadaannya. Sejarah dan budaya ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan, karenanya kita harus saling menyemangati satu sama lain dengan tidak boleh menganggap diri paling benar, apalagi mengkultuskan nenek moyang.
Sementara itu, Fathi Yusuf selaku pemerhati sejarah Sumbawa menyampaikan kita masyarakat Sumbawa sangat kekurangan literatur karena kesadaran literasi masyarakat sangat kurang. Menurutnya, orang Sumbawa itu tidak begitu mencintai leluhurnya. Banyak di antara masyarakat Sumbawa tidak mencintai sejarahnya. Kalau kita tanya tentang sisilah saja, mereka tidak tahu, apalagi mau mempelajari silsilah orang-orang terdahulu.
Keberadaan Masjid Jami Nurul Falah misalnya, yang menyimpan nilai sejarah tinggi, dirombak total; rumah datu Taliwang dijual, data dan informasi tentang makam datu pangeran di Masjid Jami Nurul Falah masih belum kuat, buktinya sekarang masih diklaim oleh berbagai pihak. Keberadaan senggerhan yang kita lihat sekarang tidak tersentuh juga oleh misi pelestarian sejarah.
Kita juga senang merombak karya-karya sejarah tempo dulu sehingga kita kehilangan identitas. Kalau orang bertanya mana tarian khas Sumbawa Barat, kita tidak tahu; mana nyanyian khas Sumbawa Barat, kita tidak tahu. Kita sering mengatakan bahwa Taliwang sudah ada sejak abad ke-14, yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Majapahit. Ketika kita ditanya mana buktinya, kita hanya bisa menyuguhkan data Negara Kertagama; selain itu, tidak ada.
Membaca buku Lalu Manca misalnya, kita akan dapat menemukan catatan yang dapat membuka ruang buat kita untuk berpikir dan dapat juga mengkritik data-data yang ada. Setiap daerah punya sejarah, dan bahkan nama-nama sebuah daerah sangat lekat dengan proses terbentuknya sebuah kesatuan wilayah, misalnya apa itu Sampir, Kertasari, Buin Banyu, dan lain-lain. Jadi, kita tidak akan pernah bisa mewariskan sejarah ke generasi selanjutnya jika kesadaran literasi kita tidak kita tingkatkan, terang Fathi.
Kepala Bidang Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Sumbawa Barat, Ajad Sajadah, memberi apresiasi yang baik atas inisiasi diskusi tersebut. Ia menyebutkan bahwa sejarah tidak tidak statis, tetapi dinamis. Kadang juga berlaku persepsi bahwa sejarah itu tergantung kekuasaan.
Ajad sajadah menyampaikan bahwa saat ini Bidang Kebudayaan sedang melakukan identifikasi sejarah. Banyak di antara kita kalau berbicara tentang sejarah hanya berbicara tentang manusia, tetapi kita lupa banyak sekali pernak-pernik sejarah yang bisa kita telusuri. Misalnya berkaitan dengan sejarah tentang pertukangan, pertanian, dan lain-lain. Jika mendatangi rumah-rumah, kita biasanya akan menemukan catatan sejarah berupa teks naskah kuno berupa lawas, petunjuk menjalankan ibadah dalam bentuk sastra Arab-Melayu. Itu artinya, masyarakat kita tempo dulu sadar akan lierasi.
Kita harus patahkan stigma bahwa masyarakat Sumbawa itu tidak diajari menulis, tetapi hanya diwariskan budaya melihat dan mendengar. Kita juga tidak sadar bahwa bahasa Taliwang, yang merupakan salah satu media utama dalam mewariskan sejarah Sumbawa Barat, saat ini terancam punah. Saat ini jarang sekali kita temukan orang tua berkomunikasi dengan anaknya di dalam rumah menggunakan bahasa daerah. Dan jika suatu saat hanya 15 persen saja bahasa Taliwang digunakan oleh penduduknya, maka dapat dipastikan akan punah. Terkait dengan pelestarian sejarah, Bidang Kebudayaan akan selalu siap untuk membuka ruang diskusi dengan siapa saja untuk mempelajari kembali sejarah Sumbawa Barat tempo dulu.
Andi Irma, selaku tokoh perempuan yang berasal dari Desa Kertasari, mencoba berbagi pikiran tentang asal mula Desa Kertasari. Dahulu Kertasari bernama Kalaktasari. Entah karena proses apa sehingga namanya berubah menjadi Kertasari. Ia merasa heran kenapa nama Kertasari, ketika dibuka di pencaharian Google, maka yang muncul kebanyakan Desa Kertasari yang ada di Pulau Jawa, sementara penduduk Desa Kertasari sekarang didiami oleh masyarakat suku Selayar, Bira, Bulu Kumba, dan bahasa sehari-harinya mengunakan bahasa Selayar, Bira, dan Tanah Beru. Tetapi kalau kita mencari nama Kertasari di daerah tersebut, tidak kita temukan, ungkap Andi Irma. Inilah yang patut kita telusuri, bagaimana latar belakang hadirnya Desa Kertasari.
Beberapa catatan yang ditemukan Andi Irma menguraikan tentang cerita turun temurun dari orang tua bahwa dahulu masyarakat Sumbawa, khususnya yang ada di Kertasari, erat sekali hubungan dagangnya dengan Gresik, dan ini tentu ada hubungannya kedatangan Islam di tanah Sumbawa. Salah satu nama yang menjadi catatan sejarah Kertasari tempo dulu yaitu Daeng Magribi. Dalam film Unru, di situ ada adegan yang menggambarkan tentang bagaimana pasukan Belanda dimata-matai. Dan Daeng Mabribi adalah salah satu tokoh yang erat kaitannya dengan sejarah perjuangan Belanda waktu itu.
Sementara itu, Dr Zainuddin mencoba menjelaskan bahwa Kertasari terdiri dari dua suku kata, yaitu “kerta” yang berarti cenderung, dan “sari” yang berarti damai. Dapat kita temukan nama Desa Kertasari seperti Desa Kertasari, Kecamatan Kertasari, Rengas Dengklok, Tegal, Brebes. Kita juga bisa menemukan nama restoran Kertasari, dan perusahan yang diberi nama Kertasari
Salah satu garis keturunan dari pahlawan Unru, Yuyun Febrianti, turut menyampaikan pemikirannya tentang sejarah Sumbawa Barat. Disampaikannya bahwa berdasarkan catatan yang pernah dibaca, Labuhan Balad dabulunya pernah menjadi sandaran internasional. Itu artinya, Taliwang sudah menjadi tempat yang strategis di Pulau Sumbawa. Jika dikaitkan dengan sejarah Kertasari, daerah Kertasari hingga Tuananga memiliki hubungan erat dengan keluarga Desa Mas Unru, melalui Daeng Magribi. Dahulu jika sudah masa panen tiba, hasil perkebunan selalu diantar ke Kampung Motong sebagai pusat pemerintahan Taliwang waktu itu.
Sedangkan Hendri Kusnadi, selaku akademisi dan sekaligus pegiat literasi, menerangkan bahwa sejarah itu adalah momentum. Jadi di mana-mana jika kita bicara tentang sejarah selalu berkenaan dengan momentum, setelah itu jadilah monumen. Oleh karenanya, kita harus memperjelas referensi yang kita dapat untuk menguak sejarah itu asalnya dari mana. Kita harus mampu membuka ruang dialog yang seluas-luasnya untuk mencatat segala kejadian agar momentum tidak hilang ditelan waktu.
Katakan saja misalnya momen gempa, harus kita rekam dalam catatan sejarah. Kalau kita tidak catat secara seksama, maka momentum tersebut akan hilang begitu saja. Demikian halnya yang dikatakan oleh Yowri selaku penduduk Asli Desa Banjar, bahwa Banjar ada sejak zaman dahulu. Banjar Loka (tua) terletak di Dusun Plam Lagi. Salah satu bukti peninggakan sejarah, di tempat tersebut ada kuburan tua yang luas; ketika digali kuburan baru, di situ ditemukan kuburan lama. Itu merupakan bukti bahwa tempat tersebut pernah menjadi pusat pemakaman orang-orang terdahulu.
Syamsuryadi Jibes, selaku pemerhati sejarah, juga mengemukakan tentang banyaknya cerita yang disampaikan orang tua pada zaman dahulu yang perlu ditelusuri keberadaannya. Misalnya, sejarah kubur tua yang ada di Dusun Lamunga, desa hilang di Talonang, kuburan sakral yang ada di Dusun Jorok Tiram. Cerita-cerita tersebut menurutnya tidak boleh kita sepelekan, dan harus kita telusuri agar tidak hilang ditelan waktu.
H. Indra Jaya, selaku seniman, mencoba berbagi tentang sejarah Sumer Bater yang ada di Kecamatran Brang Rea. Dahulunya sumur tersebut dibuat oleh buyutnya yang datang dari Makassar. Sementara itu, Lukman Hakim, pegiat fotografi yang sudah berkeliling Nusantara, mencoba menyampaikan pengalaman tentang keingintahuannya yang mendalam tentang sejarah Taliwang. Ia kadang menemukan kondisi di mana ikon Taiwang selalu dipertanyakan oleh orang-orang yang mengenal Taliwang, misalnya makanan khas ayam bakar Taliwang. Hal tersebut miris ketika ternyata ayam bakar Taliwang tidak ditemukan di Taliwang. Hal lainnya juga, menurut dia, bahwa kita harus menelusuri jejak peninggalan sejarah yang terpendalam sejak lama, contohnya informasi tentang bangunan megalitikum yang ada di Desa Rarak Ronges yang perlu ditelusuri keberadaanya.
Rangkaian perjalanan diskusi yang alot meninggalkan catatan-catatan penting untuk ditelusuri. Roy Marhandra selaku pemandu diskusi menyampaikan bahwa catatan dan informasi yang didapatkan tersebut sebagai infromasi pembuka untuk melakukan penelusuran sejarah secara lebih mendalam. Tim Rehal ke depannya akan mencoba menggarap itu, tentunya dengan selalu membuka ruang diskusi dengan berbagai pihak. Sudah banyak poin penting yang selanjutnya akan terus ditelusuri. Ke depannya, penelusuran sejarah ini tidak boleh berhenti pada satu generasi saja. Yang terpenting adalah bagaimana membangun kesadaran untuk menjadikan informasi dan data-data tempo dulu dapat dihadirkan kembali ke hadapan generasi mendatang.