Atap rumah Pak Armin sekarang berubah jadi festival Taiko. Dalam hitam malam, tak bisa ditebak dari mana batu-batu itu mulai diterbangkan. Merobek kesunyian. Menciptakan kegaduhan yang bertahan setengah jam sebelum lenyap ditelan malam.
“Apa yang sesungguhnya terjadi, Pak?” tanya warga dengan gairah ingin tahu yang membesar. “Semua masih misteri,” jawab Pak Armin singkat.
Teka-teki siapa oknum di balik insiden pelemparan rumah Pak Armin memang sedang jadi isu yang hangat. Kini hampir tiap malam peristiwa itu mengusik kampung kami yang terkenal damai. Di masjid, di kedai kopi, di pangkalan ojek, orang-orang terus membicarakannya. Mereka bahkan saling berspekulasi.
“Mungkin ada yang nggak suka dengan terpilihnya Pak Armin sebagai pengurus masjid.”
“Eh, nggak boleh berprasangka buruk,” ucap seorang warga saat mereka pulang dari masjid.
“Mungkin salah sasaran. Mereka mau lempar rumah Pak Darmin,” warga lainnya menambahkan.
Pak Darmin adalah guru SMP yang dua bulan lalu ketahuan bermain serong dengan rekan kerjanya. Keluarga besar sang istri kesal berat sehingga Pak Darmin tak diizinkan bercampur dengan anak-istrinya lagi. Berbeda dengan Pak Darmin, Pak Armin justru seorang suami yang tulus. Ia setia pada keluarga dan tak segan membantu warga yang kesulitan. Hal itu yang membuat kami semakin hormat. Warga sangat menikmati interaksi dengannya.
Setelah beberapa minggu peristiwa itu menguras tenaga dan pikiran Pak Armin, pada suatu malam, ketika bulan bersinar terang, ia hampir putus asa.
“Aku bukannya tak mau kita pergi dari kampung ini. Ini rumah pemberian Ibu. Nggak mungkin kita jual,” kata Bu Maryam, istri Pak Armin yang lemah tak berdaya. Hari-harinya hanya bisa dihabiskan di atas kasur setelah stroke jahat merenggut kesehatannya dua tahun silam.
Murni terkejut atas apa yang baru saja didengarnya. Gadis elok rupawan itu akhirnya berkata, “Bapak coba minta bantuan orang agar tahu akar masalahnya.”
Minggu demi minggu berganti. Sampai akhirnya mekarlah isu bahwa batu-batu itu berasal dari kampung sebelah. Kabar itu pun bagai udara, beredar dengan cepat ke seluruh penjuru kampung. Dalam sekejap sebuah suara membawanya ke hadapan Pak Armin. Katanya, di sana sedang ada ritual lempar batu tengah malam sebagai usaha tolak bala. Sebuah kepercayaan lama di kampung kami.
“Besok malam, aku mau kalian ke kampung itu,” pinta Pak Armin sambil membakar sebatang rokok. “Bila perlu, kalian pura-pura jadi warga di sana dan ikut dalam ritual itu,” kejarnya.
“Siap, Pak,” sambut seorang warga yang baru saja diberi kepercayaan. Ia lalu mengedipkan mata sambil meletakkan bungkus rokok yang tak berpenghuni.
“Ini buat kalian jaga-jaga,” semacam penegasan terakhir dari Pak Armin sembari menyerahkan amplop berisi uang.
Dengan sebuah anggukan tanpa suara, keduanya siap membantu.
Pak Armin kembali ke kamar lalu memarkirkan diri dekat sang istri. Dibukanya beberapa berkas dari Haji Badrun, orang yang baru saja digantikannya sebagai pengurus Dewan Kemakmuran Masjid. Dia tokoh masyarakat yang sudah lama jadi imam di masjid kami. Seorang guru terbaik yang kerap naik mimbar untuk ceramah agama. Tak bisa dipungkiri, kami menaruh kagum sekaligus meneladani pribadinya.
Hanya saja, orang-orang di kampung kami mulai gelisah dengan tindak-tanduk Haji Badrun belakangan ini. Beberapa bahkan ada yang mulai geram mendapati sikapnya yang mewajibkan uang terima kasih bagi yang mau mengundangnya ceramah. Padahal semua sudah jadi tanggungan pemerintah kampung.
“Kiai sudah berubah,” bunyi warga yang mulai kehilangan respek.
Puncak dari omongan warga yang terus memberondong pribadi imam masjid itu yakni dilayangkannya surat pemberhentian oleh perangkat kampung. Persisnya satu minggu sebelum kesialan menimpa Pak Armin.
Malam pun menyapa keesokan harinya. Berangkatlah dua orang yang diutus Pak Armin ke kampung sebelah. Tiba di sana mereka langsung disambut mati lampu. Di dalam kegelapan yang senyap, dua warga itu merapat ke kedai kopi Bu Zubaidar. Demi membunuh waktu, mereka memutuskan untuk nongkrong di situ.
“Siapa yang ribut semalam, Bu?” nyeletuk seorang pengunjung.
“Itu loh, si Amrin yang bertengkar sama bapaknya!”jawab pemilik kedai kopi sembari menaikkan sumbu lampu minyak yang nyalanya mulai redup.
“Masalahnya apa?” timpa yang lain.
“Dengar-dengar sih, si Amrin rebutan anak gadis orang sama temannya sendiri. Pakai main dukun segala, padahal gadis itu ada di kampung sebelah. Hmm, bapaknya marah besar. Takut malah celakain diri sendiri,” terang Bu Zubaidar.
“Barangkali ada benarnya tuh si bapak.” tutupseorangwarga.
Menjelang pukul dua pagi, obrolan di situ hanya soal kisruh si Amrin. Keanehan mulai dirasakan dua utusan Pak Armin.
“Hmm, jika ritual itu penting dan terjadi setiap malam, kok nggak ada seorang pun yang membicarakannya di kedai kopi malam ini ya?”
Sejak peristiwa itu meletus, beban warga kami bertambah. Dentuman demi dentuman yang menghujam atap rumah Pak Armin semakin mengganggu kenyamanan tetangga.
“Aku duluan ya Bu, mau siap-siap nih, sudah hampir pukul dua,’’ kata seorang lelaki tua yang baru saja ikut berkomentar.
Tak lama berselang, satu persatu pengunjung kedai kopi undur diri. “Hmm, apa ini pertanda bahwa ritual itu akan segera dimulai?” batinseorangutusan.
“Maaf, Bapak-Bapak, kedainya sudah mau tutup,” ucap Bu Zubaidar.
Dua orang yang dikirim Pak Armin pun menyerah. Meski mereka menatap Bu Zubaidar penuh curiga, ada juga rasa kasihan lantaran mata pemilik kedai kopi itu sudah merah akibat lama menahan kantuk. Keduanya menahan diri untuk tak bertanya apa-apa. Mereka pamit dengan rasa ingin tahu yang meruang dalam kepala.
Lolongan anjing kampung mengantar mereka yang menjauh dari kedai kopi itu. Di tengah malam gelap yang dingin, seketika mereka dikejutkan dengan kesepian yang mengisi ruang-ruang di kampung itu. Tak ada sedikit pun tanda yang mencuri perhatian mereka. Keduanya berkeliling dari ujung ke ujung hingga pukul empat pagi. Lelah di wajah tak mampu disembunyikan. Malam-malam berikutnya pun mereka selalu bernasib sama.
Waktu pun berganti. Suasana di kampung kami masih dimeriahi oleh suara batu-batu yang terbang entah dari mana. Hujan benda keras itu masih ada, bahkan makin parah. Beberapa bagian dari atap rumah Pak Armin jebol. Batu-batu sebesar kepalan tangan orang dewasa kini bisa ditemukan di kamar tidur Bu Maryam. Sungguh mengancam keselamatannya.
Lama-kelamaan, Bu Maryam pun mengalah dan bersedia angkat kaki dari kampung kami. Sekalipun merasa bersalah terhadap almarhumah ibu tercinta, itulah pilihan wajar yang kiranya bisa meredam kecemasan yang makin meluas. Keluarga itu pun pindah ke kampung sebelah.
Akan tetapi, alih-alih kehidupan keluarga Pak Armin normal seperti sedia kala, kekacauan justru merambat ke mana-mana. Di tempatnya yang baru, peristiwa yang sama terulang dengan sendirinya.
Pada suatu malam, ia membakar rokok di ruang tamu sambil menikmati dentuman demi dentuman di atap rumah barunya dengan perasaan yang getir. Dirinya tak mampu memikirkan apa yang harus dikatakan tiap kali warga menghajarnya dengan pertanyaan-pertanyaan. Sepanjang perannya sebagai anggota masyarakat, rasanya tak pernah ia berbuat di luar batas.
Pak Armin duduk membisu. Malam semakin tua dan suara-suara itu mulai melemah.
“Ya Tuhan, cobaan apa yang sedang menimpa keluarga kami,”
Sesekali ia mendengar kata-kata sang istri dengan suara gemetar.
Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, ia menebas dinginnya malam. Menyusuri jalan setapak dengan kebingungan yang berkecamuk. Sesekali ia berhenti lalu memperhatikan keadaan sekitar sembari memastikan kalau semuanya aman. Ia terus melangkah dengan tetap melemparkan pandangan ke segala penjuru. Tiba-tiba muncul sesuatu yang aneh. Bulu kuduknya berdiri dibarengi suara lolongan anjing kampung yang kian menjadi-jadi.
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Pak Armin mempercepat langkahnya. Ia memompa keberaniannya sehingga ketakutan akan suasana malam itu segera hilang dari pikirannya. Seketika di dekat lubang telinganya ada bisikan yang seakan berkata, Kembalilah-kembalilah. Tetaplah berbuat baik karena semua orang ingin pulang dengan mendekap semua kebaikan yang pernah ada!
Dengan jantung yang berpacu dan pikiran yang melayang ke mana-mana, ia berbalik badan. Dalam perjalanan pulang, terbayang wajah istri dan anak gadisnya.
Keesokan harinya.
“Haji Badrun, Haji Badrun,”
“Mati mendadak!” teriak orang-orang yang lewat di depan rumah Pak Armin.
Berita meninggalnya bekas imam di masjid kami sudah sampai di kampung sebelah.
“Jenazahnya tak bisa bersedekap. Mulutnya tetap terbuka!” kabar dari seorang warga yang sampai ke telinga Pak Armin sekeluarga.
Meninggalnya Haji Badrun sempat mengusir keresahan Pak Armin untuk sementara waktu. Tapi sebulan kemudian, sial itu muncul lagi. Batu-batu yang diterbangkan entah dari mana bak malapetaka yang kejam. Tega meninggalkan tanya yang panjang.