Sebagian besar dari kita, entah sebagai pegawai di kantor pemerintahan, guru, karyawan swasta, mahasiswa, ataupun profesi lainnya, pasti pernah tergopoh-gopoh saat harus menuju kantor di pagi hari. Hal itu kita lakukan untuk memenuhi kewajiban dan tanggung jawab.
Nah, dalam ketergesa-gesaan selama perjalanan, tak jarang kita gagal menjaga diri untuk bisa mengontrol emosi, bertoleransi, serta berbagi sopan santun.
Jika kebiasaan itu sering terjadi, bisa dipastikan kita sesungguhnya sedang membiarkan diri tumbuh dalam kebiasaan yang menghasilkan perilaku buruk atau habituasi negatif.
Habituasi bisa diartikan sebagai proses pembiasaan terhadap “sesuatu” untuk kemudian bisa melakukan “sesuatu” yang benar-benar tumbuh secara intrinsik pada diri seseorang atau kelompok.
Menurut Samani dan Haryanto, habituasi yang difasilitasi akan menghasilkan situasi dan kondisi tertentu (persistence life situation) yang membuat seseorang bisa memenuhi kriteria yang diinginkan.
Lewat perubahan yang dihasilkan oleh habituasi, kita dapat menyimpulkan bahwa perubahan itu salah satunya memang harus dipaksakan. Namun begitu, hingga bisa menikmati perubahan tersebut, masih ada tahapan berikutnya yang lebih penting untuk dipahami. Yaitu, tahap di mana kita harus membiasakan diri pada perubahan itu sendiri.
Membiasakan Perubahan
Mengapa hal ini dirasa penting? Tentu karena mengubah kebiasaan bukanlah hal yang mudah. Berbagai godaan terkadang datang silih berganti dan bisa menggoyahkan niat untuk mengurungkan diri agar tidak terjadi perubahan yang lebih baik.
Kebiasaan buruk tidak selalu tentang perkara besar, namun juga perkara kecil. Misalnya, untuk rutin bangun pagi. Anda yang terbiasa bangun siang hari perlu membiasakan diri untuk bangun lebih pagi guna meningkatkan produktivitas, sehingga lebih banyak pekerjaan yang dapat diselesaikan. Atau, misalnya, “Saya butuh bangun pagi agar tidak terlambat masuk kerja.”
Membiasakan diri untuk dapat menyelesaikan pekerjaan yang dimaksud di sini adalah pekerjaan yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Manusia produktif tentu identik dengan orang-orang yang terus menghasilkan karya dan menebar manfaat. Waktunya dihabiskan dengan sesuatu yang bernilai, aktif bekerja, dan menghindar dari sesuatu yang sia-sia.
Merujuk hadis yang memotivasi kita untuk terus memberikan manfaat dan berkontribusi kepada sesama, yang disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah As-Shahihah: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain (HR. Ahmad, Thabrani, Daruqutni).
Jadi, eksistensi diri sebenarnya ditentukan oleh kemanfaatan bagi yang lain. Apakah diri kita berguna bagi orang lain atau malah sebaliknya, menjadi parasit? Lalu, setelah proses perubahan menjadi lebih baik dapat dinikmati, pantaskanlah diri kita dengan membiasakan perubahan tersebut di kehidupan sehari-hari.
Karena sejatinya seseorang yang bermanfaat akan menunjukkan value dirinya. [Cilinaya Indah, 25 Juli 2019]
Subhanallah, Maha suci Allah yang telah menciptakan akal dan pikiran yang sempurna kepada manusia sehingga sehingga ia mampu memberi manfaat kepada sesama dengan saling mengingatkan melalui tulisan. Tulisannya sangat menginspirasi sekali.