Di beberapa media lokal Nusa Tenggara Barat (NTB), kita dapat membaca bahwa Gubernur NTB H Zulkieflimansyah mencanangkan program beasiswa 1.000 pelajar ke luar negeri. Langkah konkret yang pastinya didukung semua pihak.
Kita patut berdoa agar masyarakat tercerahkan, mau belajar, terbuka terhadap berbagai macam persoalan dan perubahan. Teori sederhananya, jika kita ingin membangun sebuah negara atau daerah, maka bangunlah sumber daya manusia atau SDM-nya. Membangun sumber daya manusia tentu sama dengan membangun dunia pendidikan.
Ketika Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, luluh lantah pada Perang Dunia II, langkah utama yang dilakukan Kaisar Hirohito adalah mendata guru dan menginstruksikannya untuk membenahi pendidikan.
Ketika berhasil menguasai semenanjung Arab, Palestina, Syiria, Iraq, Persia, dan Mesir, Umar Bin Khattab memerintahkan setiap panglima perang—bila berhasil menaklukkan suatu wilayah—untuk mendirikan masjid sebagai Islamic Center atau pusat ibadah dan pendidikan.
Ini menunjukkan bahwa pendidikan memiliki posisi strategis dalam membangun dan mempertahankan kewibawaan negara. Kita, sebagai masyarakat yang sudah jauh tertinggal, harus segera sadar bahwa aspek SDM harus terus ditingkatkan.
Agar Tak Menambah Jumlah Pengangguran
Peningkatan kualitas SDM dengan memberikan beasiswa untuk kuliah tentu diiringi harapan agar para mahasiswa dapat meningkatkan kapasitas secara keilmuan, meningkatkan kecakapan hidup, membangun paradigma berpikir, plus menata jaringan atau relasi.
Langkah tersebut tidak serta-merta menjadi solusi terhadap persoalan kurangnya SDM berkualitas di sebuah daerah. Sebab, kita juga perlu melihat proses yang berjalan dalam upaya peningkatan kualitas SDM.
Katakanlah, ketika pemerintah daerah memberikan beasiswa kepada masyarakat, maka harus dapat dipastikan perguruan tinggi tempat ia menuntut ilmu memiliki rekam jejak yang mumpuni.
Hal ini penting karena, jika hal tersebut tidak menjadi perhatian, selanjutnya akan muncul masalah baru. Yaitu, bertambahnya jumlah pengangguran di daerah.
Pilihan untuk menjadikan Malaysia sebagai salah satu tempat tujuan guna menuntut ilmu bagi masyarakat NTB tentu perlu menjadi bahan renungan bersama.
Seperti yang disampaikan Gubernur NTB dalam beberapa kesempatan di media, kesamaan dan kedekatan antara Malaysia dan Indonesia menjadi salah satu dasar kerja sama bidang pendidikan yang hendak dibuka antara NTB dan Malaysia.
Di samping itu, tentu ada pertimbangan fasilitas pendidikan seperti perpustakaan dan laboratorium yang lengkap di sejumlah kampus ternama di Malaysia.
Dalam kesempatan lain, Gubernur NTB pun mengutarakan makna penting yang mendasari kerja sama tersebut. Salah satunya memperkuat kesepahaman antara Indonesia dan Malaysia. Jadi, bukan semata mengejar gelar akademis, melainkan lebih dari itu: agar terjalin relasi yang lebih dalam antar-bangsa.
Merespons balik upaya tersebut, tentu semua pihak harus serius dan mempersembahkan ikhtiar terbaik. Ini penting, karena kita dapat melihat ada upaya untuk mengulang sejarah seperti apa yang dialami Malaysia pada tahun 1970 hingga 1980-an.
Membalik Sejarah
Sebagaimana yang dirillis Kompas, pada tahun 1971, Indonesia memberangkatkan sebanyak 48 guru berijazah sarjana untuk mengajar di Malaysia. Pengiriman guru sekolah menengah ini untuk meningkatkan mutu pendidikan di Malaysia yang menggunakan pengantar bahasa Melayu.
Sebelumnya, tahun 1968, sudah dikirim 44 guru dan pada 1970 sebanyak 100 guru. Setelah tiga tahun, guru-guru tersebut harus kembali ke Tanah Air karena kebutuhan guru di Indonesia sendiri belum tercukupi.
Alhasil, kini, pendidikan di Malaysia—khususnya perguruan tinggi—berkembang pesat. Salah satu buktinya dapat kita lihat dalam “QS University Rangking: Asia 2019” yang dirilis situs www.topuniversities.com. Tercantum di sana, peringkat sejumlah universitas Malaysia lebih unggul jika dibandingkan dengan perguruan tinggi Indonesia.
Dalam daftar tersebut, Universitas Indonesia (sebagai kampus di Indonesia dengan peringkat paling tinggi) berada di posisi 57 untuk regional Asia.
Peringkat tersebut berada jauh di bawah lima universitas asal Malaysia, yaitu Universiti Malaya di peringkat 19, selanjutnya Universiti Putra Malaysia, Universiti Kebangsaan Malaysia, Universisi Sains Malaysia, dan Universiti Teknologi Malaysia. Baru setelah itu ada beberapa universitas dari Indonesia.
Kita bukan sedang membanding-bandingkan, melainkan sekadar mengulas balik fakta sejarah bahwa Malaysia dulu pernah belajar kepada Indonesia. Dan sekarang, mereka telah membuktikan komitmen dan kerja kerasnya sudah membuahkan hasil yang baik.
Hal tersebut tentu kita harap dapat berlaku pula bagi Indonesia. Jadi, para penyelenggara beasiswa NTB tersebut harus serius dan memiliki target untuk periode awal tuntasnya program beasiswa kuliah di Malaysia.
Kita ingin membalik sejarah kesuksesan Malaysia dalam membangun dunia pendidikan. Dulu Malaysia mengimpor guru dari Indonesia, sekarang banyak mahasiswa Indonesia yang berbondong-bondong kuliah di Malaysia.
Maka, selanjutnya harus dibalik, yaitu warga Malaysia berbondong-bondong datang ke-NTB untuk belajar. Belajar dalam segala hal.
Sulit memang, tapi kita harus tetap optimistis. Sesuai kata Bang Zul: Jalan panjang memang harus diawali dengan langkah pertama. []