Setiap orang adalah manusia pembelajar, bahkan tak berbatas usia. Kira-kira itulah yang membuat saya tertarik untuk menonton film “I Can Speak”. Diceritakan dalam film itu, seorang nenek masih punya hasrat kuat untuk belajar bahasa Inggris. 

Namun, ternyata ada hal menarik lainnya. Selain menduduki puncak box office Korea Selatan hanya dalam dua hari setelah penayangannya September 2017 lalu, terdapat realitas sejarah yang mengejutkan dari seorang Nenek Na Ok Boon (Na Moon Hee).

Di awal, film ini menceritakan bagaimana Nenek Na Ok Boon selalu mendatangi kantor yang menangani kantor pelayanan publik untuk melaporkan pengaduan. Saking seringnya dia membuat laporan, pegawai di kantor tersebutkan tak menghiraukannya.

Karenanya, saat ada mutasi ke kantor tersebut, pegawai baru, Park Min Jae (Lee Je Hoon), langsung ditempatkan di bagian pelayanan.

Seperti biasa, Nenek Ok Boon melaporkan aduan masyarakat, terutama pedagang, di daerah tersebut. Park Min Jae melayaninya dengan cukup sabar. Belakangan, si nenek akhirnya mengetahui bahwa Park Min Jae mahir berbahasa Inggris.

Hal ini membuat Nenek Ok Boon meminta Min Jae mengajarinya bahasa Inggris. Nenek Ok Boon selalu menyimpan hasrat untuk bisa berbahasa Inggris. Alasannya, agar bisa berkomunikasi dengan adiknya yang telah lama tinggal di Amerika dan notabene tak bisa berbahasa Korea.

Bukan Sekadar Bersuara

Ternyata ada hal lain yang mendorongnya untuk bisa berbahasa Inggris. Nenek Na Ok Boon ternyata pernah dijadikan budak seks atau jugun ianfu saat berusia 13 tahun. Nenek Na Ok Boon dan ribuan gadis lainnya dipaksa dan diancam di seluruh wilayah jajahan Jepang, saat Perang Dunia ke-II.

Perihal masa lalu inilah yang selalu tersimpan di relung hatinya, dan ingin disampaikannya agar pemerintah Jepang secara formal mengakui kesalahan tersebut.

Apabila merunut pada sejarah tersebut, maka film yang disutradarai Kim Hyun Seok bukan sekedar tentang “Saya bisa bicara bahasa Inggris” tetapi “saya ingin menyampaikan sesuatu”. Nenek Ok Bon ingin berbicara tentang kebenaran, tentang apa yang terjadi di masa lalu, tentang perjuangan, dan kekuatan untuk bangkit kembali.

Saya jadi teringat dengan tulisan Gayatri Spivak, seorang kritikus sastra yang banyak menulis tentang poskolonial. Dalam karyanya, “Can Subaltern Speak?”, dipertanyakan apakah seseorang atau kelompok “subaltern” tidak bisa bicara atau tidak ada yang mendengarkan?

Baginya, tidak dapat berbicara adalah metafor karena sejatinya mereka mencoba berbicara tentang ketidakadilan tapi orang-orang tidak menaruh perhatian pada “cerita” subaltern tersebut. Subaltern, istilah yang digunakan oleh Antonio Gramsci, yaitu kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses dengan kekuasaan yang “hegemonik”.

Baca Juga: Mengecek Lagi Toko Sebelah

Dengan keinginannya yang kuat untuk belajar bahasa Inggris dan berbicara di Kongres Amerika, Nenek Ok Bon membuktikan dirinya mampu untuk berbicara tentang ketidakadilan yang dialami.

Ternyata, di balik film yang bergenre komedi, ada isu sejarah yang ingin diangkat dan dipecahkan. Bahwa adagium tentang memaafkan bukan berarti melupakan masih berlaku dan selalu menarik untuk disajikan dalam karya-karya termasuk film. []

Nurhikmah
Author: Nurhikmah

Widyaiswara Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi NTB.

By Nurhikmah

Widyaiswara Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi NTB.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *