Abad dua puluh satu dimulai dengan adanya virus corona, dari Kota Wuhan, Tiongkok, yang langsung go international. Wabah virus corona menyebar ke seluruh penjuru dunia. Setelah pusat asal virus, yakni Tiongkok, korban berjatuhan terbanyak ada di Korea Selatan, Italia, Iran dan Jepang.

Tak bisa disangkal lagi seluruh negara di dunia siaga corona. Sehebat apa pun Amerika Serikat, seampuh apa pun Inggris, sejago apa pun Perancis, toh tak berdaya menangkal Covid -19. Bagaimana dengan Indonesia? Daerah khatulistiwa, di mana setiap hari matahari bersinar, diharapkan dapat bebas dari penyakit corona. Karena virus itu tidak tahan panas. Kabarnya, virus akan mati pada suhu 27 derajat Celsius.

Namun Indonesia, surga kecil yang Tuhan berikan untuk dunia, walau termasuk yang paling akhir, bobol juga. Virus corona masuk ke Indonesia. Tidaklah mudah bila saya membandingkan Indonesia dengan seluruh negara di dunia. Tulisan ini hanya akan mencoba membandingkan Korea Selatan dengan Indonesia. Reaksi awal dari masyarakat Indonesia, khususnya di Jakarta, adalah memborong. Mulai dari sembako, masker, disinfektan, jahe merah, kunyit, temu lawak, temu ireng, merica, sampai pala.

Menurut informasi, semua itu dapat menolak dan mencegah virus corona. Satu-dua minggu kemudian, masyarakat seluruh provinsi di Indonesia melakukan hal yang sama. Tentu tidak semua jenis barang bisa saya bandingkan. Pada kesempatan ini, satu barang yang saya bandingkan adalah “masker”.

Di Korea Selatan, menurut berita, masker tetap ada. Tidak langka, tidak mahal, dan pemerintah membatasi: setiap satu minggu, setiap warga hanya boleh membeli masker dua kali, dan secukupnya untuk kebutuhan pribadi masing-masing. Dan masyarakat taat, patuh, dan ternyata masker tidak menjadi masalah bagi Korea Selatan. Oh, indahnya Korea.

Sedangkan di Indonesia, muncul berita seorang apoteker di Makassar ditangkap polisi, karena menimbun masker. Juga ada mahasiswa diciduk polisi karena menimbun masker. Ada pabrik masker di Bandung digerebek polisi karena menjual masker baru dicampur masker bekas. Dan ternyata ada ratusan kasus. Polisi menangkap penimbun masker di seluruh Indonesia.

***

Di benak saya, muncul pertanyaan: Bagaimana dengan karakter masyarakat Indonesia? Terus terang, saya tidak tahu. Korea Selatan itu negara religius tidak? Saya juga tidak tahu. Ada suatu keyakinan masyarakat setempat tentang Tuhan? Terus terang, saya tidak tahu. Toh, dalam situasi darurat dan siaga, antara hidup dan mati, masyarakatnya tertib, harmonis, tidak egoistis dan terlihat rasional. Maka pantaslah bila Korea Selatan disebut negara yang beradab.

Di Indonesia, masker dijual dengan harga sepuluh kali lipat dari harga biasa. Setiap hari polisi menangkap penimbun masker. Yang lebih gila lagi, ada profesi baru, yakni “calo masker “. Sukarno dan Hatta mungkin menangis di makamnya. Beginikah karakter masyarakat Indonesia? Karakter masyarakat bisa dilihat pada masa-masa genting, berbahaya, di mana ada resiko antara hidup dan mati.

Indonesia punya Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 45, dan Indonesia Raya. Juga Indonesia punya kitab peninggalan leluhur, Negara Kertagama dan Sutasoma dari Mpu Prapanca. Dan Indonesia punya Sumpah Palapa dari Maha patih Gajah Mada. Di Indonesia ada enam agama yang diakui: Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Konghucu. Ternyata masyarakatnya kalah jauh dibanding dengan Negeri Ginseng.

Rakus, tamak, egoistis, mengambil keuntungan dalam kesempitan. Beradabkah masyarakat Indonesia? Sungguh, aku malu lahir di Indonesia. Ingin aku kembali ke rahim Ibu. Tetap tinggal di Surga, dan tidak akan pernah lahir kembali. [Gunungkidul, Sabtu Pahing, 7 Maret 2020]

Wija Sasmaya
Author: Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

By Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *