Sekarang kita berada di bulan Sya’ban dan tidak lama lagi kita akan bertemu dengan bulan Ramadhan. Nisfu Sya’ban adalah sebuah peringatan yang dilakukan di pertengahan bulan Sya’ban, yakni tanggal 15 Sya’ban—bulan ke delapan dalam kalender Hijriyah—yang secara umum berarti Pertengahan Bulan Sya’ban. Dalam dinamika kehidupan masyarakat, keberadaan malam nisfu Sya’ban menjadi fenomena umat muslim yang perlu menjadi renungan bersama, baik untuk menambah kadar keimanan maupun dalam rangka mewujudkan kehidupan yang harmonis. Pola peribadatan yang terbangun menjadi sebuah tradisi yang berlaku secara turun-temurun hingga setiap tahunnya malam nisfu Sya’ban menjadi momen yang ditunggu-tunggu masyarakat muslim Nusantara.

Perlu menjadi pamahan dan renungan kita bersama bahwasanya Islam tidak anti-budaya dan tidak anti-tradisi. Dalam menyikapi budaya dan tradisi yang berkembang di luar Islam, Islam akan menyikapinya dengan bijaksana. Ketika sebuah tradisi dan budaya tidak bertentangan dengan agama, maka Islam akan mengakui dan melestarikannya. Dalam masyarakat adat Nusantara kita mengenal falsafah “adat bersendikan syara, syara bersendikan kitabuillah”. Tradisi atau adat yang berlaku di dalam masyarakat haruslah berlandaskan Al-Quran. Ketika suatu tradisi dan budaya bertentangan dengan nilai-nilai agama, maka Islam tetap memberikan solusi melalui kajian dan pertimbangan yang matang untuk memutuskan apakah budaya tersebut akan dihapus, atau melakukan islamisasi dan atau meminimalkan kadar mafsadah dan madharat budaya tersebut.

Allah subhanahu wata’ala berfirman:

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf (tradisi yang baik), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf : 199)

Malam Nisfu Sya’ban sebagai Tradisi

Perayaan malam nisfu Sya’ban adalah sebuah tradisi yang diselenggarakan masyarakat muslim dunia. Di Turki misalnya, nisfu Sya’ban lebih dikenal sebagai Berat Kandili. Berat kandili diperingati setiap tanggal 15 bulan Sya’ban. Masyarakat Turki biasanya melewati malam tersebut dengan memperbanyak membaca Al-Qur’an, mendirikan shalat sunnah, dan berdoa. Karena masyarakat Turki yakin salah satu malam yang ketika kita berdoa tak akan ditolak adalah malam Berat Kandili. Masyarakat di seluruh kota memperingati malam ini dengan meriah. Di kota Şanliurfa, masyarakat ramai-ramai pergi ke Masjid di kompleks Balikligol. Balikligol merupakan kawasan yang dipercaya menjadi tempat Nabi Ibrahim dilemparkan ke api.  Banyak masyarakat yang tinggal di sekitar Şanliurfa berbondong-bondong menziarahi makam Nabi Ibrahim. Makam itu terletak di sebuah gua tak jauh dari Balikligol.           

Tradisi malam nisfu Sya’ban juga berlaku di kalangan muslim Nusantara. Seperti dijelaskan Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre, Ustaz Rakhmad Zailani Kiki, masyarakat Islam Betawi sudah terbiasa mengisi malam nisfu Sya’ban dengan berbagai syiar. Menurutnya, masyarakat muslim di Mesir dan Yaman pun telah melaksanakan hal tersebut dan menjadi tradisi. Ritual peribadatan nisfu Sya`ban kemudian masuk ke Indonesia, khususnya ke Betawi, yang menurut perkiraan dibawa para ulama atau habaib dari Yaman. Sehingga wajar jika ritual peribadatan nishfu Sya`ban di Betawi khususnya tidak jauh berbeda dengan yang ada di Yaman (Republika 20/05/2016).

Pada masyarakat Kediri, Lombok Barat, warga setempat menghadiri malam nisfu Sya’ban dengan  masing-masing warga  membawa botol maupun kocor yang diisi air sumur. Menurut keyakinan mereka, setiap pelaksanaan nisfu Sya’ban, agar mereka mendapatkan pencerahan dari salah satu Tuan Guru setempat. Warga biasanya mengambil air tersebut  pada saat adzan Magrib. Kepercayaan warga waktu itulah air Zam-Zam mengalir ke permukaan mata air seperti air sumur. Proses selanjutnya warga akan menjalankan shalat Magrib berjamaah dan setelahnya membaca Surat Yasin sebanyak  tiga kali.

Pada bacaan pertama diniatkan dengan datangnya bulan Sya’ban agar dapat bertemu bulan Suci Ramadhan, dan diniatkan agar panjang umur. Pada pembacaan surat yasin ke dua berniat untuk meminta ampun atas semua dosa sehingga menghadapi bulan suci Ramadhan agar dalam keadaan suci untuk menjalankan ibadah puasa. Selain itu, dihajatkan agar pada malam Nisfu Sya’ban diberikan rahmat dan hidayah untuk selalu berada dalam ridhonya, dimurahkan rizki untuk bisa berbuka puasa dalam keadaan tenang dan ikhlas. Hal tersebut dilakukan juga oleh warga Desa Rensing Bat, Kecamatan Sakra Barat, Kabupaten Lombok Timur.

Berbeda lagi di Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan. Mereka memiliki tradisi sendiri dalam menyambut datangnya malam nisfu Sya’ban. Masyarakat di sana memiliki tradisi turun-temurun untuk merayakan malam nisfu Sya’ban, yaitu membawa nasi bungkus atau kue dan makan-makanan lain untuk disantap bersama-sama di mushala, langgar, ataupun masjid. Sebelum acara makan-makan, diawali terlebih dahulu dengan shalat Maghrib berjemaah, dilanjutkan dengan salat Hajat dua rakaat dan pembacaan Surat Yasin sebanyak tiga kali. Setelah shalat Isya dilanjutkan dengan shalat Tashbib empat rakaat dan berdoa bersama serta saling bermaaf-maafan. Setelah semuanya selesai baru dilanjutkan dengan acara makan.

Bagi masyarakat Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat, jika akan memasuki malam nisfu Sya’ban, maka masyarakat akan datang mandi ke sungai pada sore hari menjelang magrib. Kegiatan tersebut dikenal dengan istilah mani nisfu Sya’ban (mandi nisfu Sya’ban). Menurut kepercayaan masyarakat, hal tersebut dilakukan untuk mempersiapkan diri memasuki malam nisfu Sya’ban dalam kondisi badan yang bersih, dan agar dosa kita diringankan Allah Swt.

Dalil tentang Nisfu Sya’ban

Tradisi semacam ini memang sedari dulu hingga sekarang sudah mengakar kuat di masyarakat, walaupun masih ada sebagian kalangan yang tidak menyepakatinya, dengan dalih Nabi Saw dan para sahabat tidak pernah melakukan hal demikian. Atas dalih beberapa kalangan yang tidak sepakat dengan tradisi malam nisfu Sya’ban, menyebabkan timbulnya pemahaman berbeda pula di kalangan masyarakat dan tidak sedikit yang memicu perpecahan.

Kajian hadis tentang  malam nisfu sya’ban dalam tinjauan agama dan tradisi (Majalahnabawi.com/30/04/2018) di situ menyebutkan hadis yang menjadi sandaran tentang perayaan malam nisfu Sya’ban, yaitu:

Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) meriwayatkan sebuah hadis yang terdapat dalam kitabnya al-Musnad, dari Abdillah ibn ‘Amru bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Allah Swt akan memantau makhluk-Nya pada malam nisfu Syaban kemudian mengampuni dosa-dosa hamba-Nya kecuali bagi pendengki dan yang membunuh jiwa manusia.”

Hadis dari Mu’adz ibnu Jabal yang diriwayatkan Imam Thabrani dalam al-Aushat, Imam Ibnu Hiban dalam shahihnya, Imam al-Baihaqi dalam syu’ab al-Iman. Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan dengan redaksi dan jalur lain:

Dari Aisyah ra berkata: pada suatu malam aku kehilangan Rasulullah Saw; kemudian aku keluar dan ternyata beliau sedang berada di Baqi’, beliau bersabda: “Apakah kamu takut akan dizalimi Allah dan Rasul-Nya?” Saya berkata, wahai Rasulullah aku kira engkau sedang mendatangi istri-istrimu. Beliau bersabda,Sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia pada malam pertengahan bulan Sya’ban, lalu mengampuni manusia sejumlah bulu kambing.”

Selanjutnya apakah hadis yang disebutkan dapat menjadi dalil tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban?

Almubarakfuri dalam kitabnya Tuhfah Alahwadzi secara terus terang mengatakan:

Ketauhilah sesungguh hadis-hadis yang berkaitan dengan keutamaan malam nisfu Sya’ban itu memang benar-benar ada, yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa fadhilah malam nisfu Sya’ban ada pijakan dalilnya.”

Salah satunya hadis yang terdapat dalam Shahih Ibnu Hibban disebutkan berikut ini:

 “Allah SWT memperhatikan makhluk-Nya pada malam nisfu Sya’ban dan mengampuni seluruh makhluk-Nya kecuali orang kafir dan orang yang bermusuhan.” Hadits riwayat Ibnu Hibban ini juga banyak disampaikan perawi hadis lainnya meskipun dengan redaksi dan silsilah sanad yang berbeda. Menurut penelitian sebagian ulama, sebagian hadis tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban dhaif. Kedhaifan hadits itu tidak berati berujung pada larangan untuk merayakan malam nisfu Sya’ban dengan beribadah, karena mayoritas ulama membolehkan pengamalan hadis dhaif untuk fadhail a’mal.

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Iqtidha’ al-Shirath al-Mustaqim juga mengatakan banyak sekali diriwayatkan tentang keutamaan malam nisfu Sya’ban ini hadis-hadis Nabi SAW dan atsar-atsar (perkataan sahabat) yang menunjukkan bahwa malam ini memang ada keutamaannya. Sedangkan, mengenai amalan khusus atau shalat khusus yang dilakukan pada malam ini, maka para ulama mengatakan tidak ada dasar dan dalilnya dalam syara’.

Pesan Sya’ban di Tengah Wabah

Pesan penting yang harus kita renungi bersama bahwa saat ini kita berada pada fase menjelang masuknya bulan Ramadhan. Setelah setahun menunggu datangnya bulan Ramadhan, kita akan melepas kerinduan untuk beribadah, bersilaturahmi, dan menjalin ukhuwah Islamiah dalam simpul tarawih, tadarus Al-Quran, itiqaf dan berbagai amalan lainnya selama bulan Ramadhan. Setelah setahun menunggu, ternyata kita kini dirundung kecemasan. Kecemasan ini mendunia, bukan hanya dirasakan umat muslim Indonesia. Kecamasan akan nilai kerinduan shalat berjamaah, kekhusyukan dalam menjalankan puasa dan berbagai kecemasan lainnya. Hal ini tergambarkan oleh ekspresi masyarakat hari ini bahwa hawa Ramadhan sudah menyelinap ke dalam relung hati mayarakat muslim. Ada doa yang terpatri dalam hati dan pikiran, agar wabah Covid 19 dapat segera berakhir sebelum masuknya bulan suci Ramadhan.

Kecemasan lainnya yang mulai muncul dalam pikiran masyarakat yaitu tradisi mudik Lebaran menjadi teror yang menakutkan ketika ada gambaran kerumunan masyarakat di antrean bandara, desakan penumpang di dalam bus dan kereta api, interaksi para pemudik di sepanjang pelayaran, itu semua tidak menjamin akan terbebas dari wabah Covid 19. Terhadap hal tersebut, tidak salahnya kita berintrospeksi diri dalam heningnya sepertiga malam, merenungi dan berusaha menemukan hikmah bahwa sesungguhnya Ramadhan di tahun ini adalah Ramadhan yang istimewa, karena olehnya kita diuji sampai sejauh mana kerinduan kita yang sesungguhnya  terhadap datangnya bulan mulia ini.

Bulan Sya’ban kali ini pun merupakan Sya’ban yang istimewa, karena kita dituntut untuk membaca diri kita, membaca makna alam, melihat ke seluruh permukaan bumi ini bahwa ada satu ciptaan Allah SWT dalam ukuran sangat kecil, mampu menumbangkan kesombongan dunia. Maka inilah saatnya memantapkan hati kita mengamalkan pesan-pesan Sya’ban yang turun-temurun diwariskan kepada umat muslim dunia. Mari menghidupkan malam Sya’ban dengan berzikir, bertafakur, berserah diri, memperbanyak membaca Al-Quran, melaksanakan shalat-shalat sunnah, bersedekah, saling tolong-menolong,

Sebagai makhluk Allah yang penuh kelemahan, hendaknya kita harus secara terus-menerus merenungi makna hakiki dari kehidupan, menjadikan setiap ujian sebagai media mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Pada satu titik kita kadang merasa ada kekosongan dalam hati dan pikiran sehingga terketuk hati kita untuk segera memenuhi panggilan ilahi. Renungan atas ujian yang diberikan oleh Allah berupa wabah covid 19 yang setiap detik membuat kita harus waspada, menghindari segala kemungkinan-kemungkinan yang bisa menyebabkan terjadinya penularan. Itu sebagai sebuah pesan bahwa sesungguhnya banyak cara Allah SWT memberikan kita ujian hidup, agar kita selalu mendekatkan diri kepada-Nya.[]

Roy Marhandra
Author: Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

By Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *