Puisi bukan hanya menenangkan, tapi juga menenangkan. Begitulah kira-kira Wija Sasmaya menggambarkan makna puisi dalam hidupnya.

Ya, penulis kelahiran Kepek, Gunungkidul, ini baru saja merilis buku berisi kumpulan puisi dan cerita wayang yang disusunnya selama kurang-lebih lima tahun terakhir. Judul bukunya, Mata dan Riwayat Semesta. Buku ini terdiri atas dwi-bahasa Indonesia dan Inggris.

Puisi-puisi Wija merekam kegelisahan dan permenungan seorang Wija tentang hidup dan sekitarnya. Ada puisi tentang ibu, juga tentang pandemi yang tiba-tiba melanda dunia. Wija mempersembahkan puisi-puisinya untuk semua orang yang cinta dan percaya bahwa hidup yang lebih baik itu mungkin.

Sedangkan cerita wayang merupakan bagian dari kenangan masa kecil yang masih terus dia nikmati hingga sekarang. “Saya sebagai wong Gunungkidul, anak desa, hanya bisa dekat dengan wayang. Saya bisa berlama-lama melihat pentas wayang, sebab itu satu-satunya hiburan,” tulisnya.

Alhasil, cerita-cerita wayang yang dituturkannya—entah adaptasi dari kisah Mahabarata ataupun Ramayana—tak jauh dari pakem pedalangan. Menurutnya, cerita-cerita itu adalah cermin yang jernih. Yang tepat digunakan untuk berkaca.

“Ya, sebenarnya saya sedang menyamakan diri sebisa mungkin dengan hal-hal baik dari setiap kebaikan sang tokoh (dalam cerita wayang),” Wija melanjutkan.

Jelas ada banyak nilai dalam setiap cerita wayang. Nilai yang pada akhirnya dapat menjadi panduan dalam menjalani hari-hari. Toh, hidup tidak sesederhana cerita. Ada kelok-kelok yang lebih tidak tertebak. Dan Wija percaya, urip kuwi mung mampir ngombe. Hidup itu ibarat Cuma mampir minum.

Dan sebaik-baiknya minum tentu minum air jernih yang menyejukkan jiwa. Semoga Mata dan Riwayat Semesta dapat menyemaikan kesejukan.

PS. Untuk pemesanan buku Mata dan Riwayat Semesta, klik: s.id/rehal.

Redaksi
Author: Redaksi

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *