Nama Munir barangkali kini telah menjadi mitos di tengah pasang-surut perjuangan hak asasi manusia Indonesia. Apalagi ketika semangat perjuangan itu mulai menjalar ranah budaya populer. Dan, mitos selalu perlu disertai pemahaman jernih ihwal apa yang dimitoskan.

Tujuannya, agar tidak terjadi “kekosongan bentuk” sehingga penganut mitos gagap memahami mengapa dia memitoskan sesuatu. Melainkan juga pada “kekosongan isi” di mana penganut mitos bingung cara “melanjutkan” mitos tersebut dan pada akhirnya hanya bisa mengelap-ngelap dan merawat mitos itu agar tidak lecet.

Mengerjakan Mitos

Mircea Eliade, sejarawan asal Rumania, dalam Myth and Reality (1998) menekankan dua poin penting ihwal mitos. Pertama, mitos senantiasa berkaitan dengan “penciptaan”. Kedua, dengan memahami mitos, kita dapat mengetahui “asal usul” sesuatu dan kemudian mengendalikannya.

Dengan demikian, mitos hadir dari pemitosan dan niscaya memiliki acuan nilai di baliknya. Entah nilai itu baik ataupun buruk. Jika nilainya buruk, proses yang berlangsung bisa disebut manipulasi. Sebaliknya, bila nilai itu baik, prosesnya dikenal sebagai penumbuhan kesadaran.

Sejak tragedi pembunuhannya pada September 2004, Munir segera menjelma “cerita tragis” tentang pejuang HAM. Hanya, perlu diingat, cerita itu bakal hampa, kehilangan bentuk dan isinya, bila kita tak benar-benar paham dengan apa yang dia perjuangkan.

Lalu, akankah Munir semata menjadi cerita yang beredar dari mulut ke mulut; wajah yang menyapa dari kaus ke kaus, tembok ke tembok; nama yang berziarah dari ingatan ke ingatan?

Sulaiman Said, lewat bukunya, novel grafis berjudul Munir, mencoba menihilkan pertanyaan tersebut. Ia tak menolak Munir sebagai mitos. Hanya saja, mitos itu perlu dikerjakan, perlu menjadi model perilaku nyata.

Dan Munir, sebagai karya novel grafis, bisa dibilang ikhtiar cemerlang untuk menghidupkan cita-cita Munir serta menyebarkannya kepada khalayak yang lebih luas. Ya, novel grafis bisa menjangkau pembaca yang lebih muda, dan “gaul”. Ini sangat penting untuk melakukan regenerasi atau pewarisan semangat perjuangan HAM.

Di tengah hujan deras informasi dan pengetahuan, dari mana generasi yang lebih muda bisa memahami sisi kelam sejarah perjuangan HAM bangsa ini kalau bukan lewat media populer—termasuk film, musik, dan novel grafis?

Seperti disinggung Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dalam acara “Ramadhan & Human Rights”, di Jakarta, ketika novel grafis berwarna ini secara sederhana ikut diluncurkan. Menurut Menteri Lukman, kurang-lebih, tantangan utama kampanye penegakan HAM adalah menyebarluaskan semangat ke kelompok yang belum memahami arti penting menghormati dan menjaga hak tersebut.

Melanjutkan Perjuangan

Kematian Munir bagaimanapun juga, layaknya kasus-kasus yang ditanganinya, dari Marsinah, Tanjung Priok, hingga Penculikan Aktivis 1997/1998, merupakan sisi kelam sejarah bangsa yang harus tetap diingat. Bukan untuk merawat dendam, melainkan demi mengungkapnya seterang mungkin dan kemudian menghindari keterulangan.

Munir semakin menarik karena mengedepankan sudut pandang anak sekolah menengah pertama bernama Soultan Alif Allende. Alif kepikiran tentang Munir setelah dalam pelajaran bahasa Indonesia mendapat tugas untuk bercerita tentang tokoh idola.

Dari mata Alif, kita diajak melakukan napak tilas atas kisah kehidupan Munir—yang dia sebut orang biasa dengan keberanian luar biasa. Dari mata Alif, kita dapat merasakan getirnya kehilangan sahabat, saudara, dan ayah tercinta. Ya, Alif tak lain anaknya Munir.

Selain itu, di dalamnya digambarkan bagaimana Munir tetaplah sosok yang bersahaja. Ia dengan suka hati menjadi tempat curhat para buruh dalam artian sebenarnya.

Tak hanya curhat urusan upah dan persoalan ketidakadilan lainnya, tapi juga buat masalah asmara. Jelas ini nilai yang sangat langka, apalagi di masa sekarang ketika buruh semata jadi “alat” kampanye politik.

Sejarah, dalam novel grafis Munir, dihadirkan berkelindan dan tumpang tindih satu sama lain. Ada Alif yang bercerita tentang abahnya, Munir; dan ada Munir yang bercerita tentang arti penting pengusutan kasus-kasus yang ditanganinya.

Dan, yang jauh lebih krusial, ini bukan tentang sejarah dari abad lampau, melainkan sejarah hari ini. Sejarah yang masih kita hirup sehari-hari.

Pada akhirnya, sulit untuk melihat kematian Munir terpisah dari pelbagai kasus yang ditanganinya. Juga, sulit untuk mengharapkan perhatian lebih mendalam terhadap persoalan HAM jika yang peduli hanyalah orang yang itu-itu saja.

Pun, pada akhirnya, novel grafis ini bisa menjadi langkah sederhana dalam menghadirkan narasi lain dan merangkul generasi lain untuk mempelajari sejarah perjuangan Munir, yang sekaligus bisa disebut sejarah perjuangan hak asasi manusia di Indonesia. []

Judul: Munir
Pengarang: Sulaiman Said
Penerbit: KPG, Juli 2014 
Halaman: x + 108 

Satya Wibisana
Author: Satya Wibisana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *