Kemandirian pangan merupakan cita-cita agung yang harus diwujudkan semua pihak.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan bahwa negara berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional maupun lokal hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tercapainya ketahanan pangan di Indonesia berkaitan erat dengan kebijakan pemerintah, struktur politik dan ekonomi yang tepat, untuk mendukung terciptanya ketahanan pangan yang mengakar kuat, serta kondisi lingkungan, baik alam, sosial, maupun budaya, teknologi, dan sumber daya manusia.
Hal ini karena ketahanan pangan merupakan permasalahan lintas sektoral dan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya urbanisasi merupakan tantangan di masa depan. Diperkirakan pada 2025, sebanyak 65 persen penduduk dunia tinggal di kota. Peningkatan jumlah penduduk yang tinggal di perkotaan ini akan menimbulkan permasalahan-permasalahan terkait infrastruktur publik, tempat tinggal, tenaga kerja, kerawanan pangan, lingkungan, dan sanitasi.
Alih fungsi lahan pertanian menjadi lokasi pemukiman atau tempat tinggal, tempat usaha, industri, dan perkantoran berdampak pada penurunan luas lahan pertanian untuk menghasilkan komoditas pertanian atau bahan baku pangan. Alih fungsi lahan berdampak pula pada peningkatan jumlah masyarakat miskin perkotaan.
Penyebabnya, terjadi pergeseran peran dari pemilik tanah, yang mendapatkan penghasilan dari komoditas pertanian, menjadi pekerja penggarap atau bahkan pengangguran karena mereka umumnya tidak memiliki keterampilan atau keahlian selain bercocok tanam. Kondisi ini merupakan titik awal terjadinya kerawanan pangan.
Urban Farming
Maka dari itu, untuk mengantisipasi terjadinya kerawanan pangan, harus ada terobosan kebijakan dari pemangku kepentingan. Salah satunya dapat dilakukan melalui pertanian perkotaan (urban farming) yang dilakukan baik secara horizontal maupun vertikal.
Urban farming adalah konsep memindahkan pertanian konvensional ke pertanian perkotaan. Perbedaannya terletak pada pelaku dan media tanamnya. Pertanian konvensional lebih berorientasi pada hasil produksi dengan lahan pertanian yang luas, sedangkan urban farming lebih pada karakter pelakunya, yakni masyarakat kota, dengan lahan yang sempit.
Tujuan urban farming adalah bermanfaat sebagai ruang terbuka hijau, dapat memenuhi konsumsi pangan keluarga, bahkan bisa menghasilkan pendapatan yang berkali lipat. Tentunya dengan memanfaatkan teknologi pertanian yang tepat disesuaikan dengan suhu lingkungan dan komoditas yang ingin dikembangkan.
Penelitian yang dilakukan Alice dan Foeken pada 1996 di Kota Nairobi, Kenya, menunjukkan pertanian kota yang diimplementasikan di Nairobi mampu meningkatkan asupan energi petani kota (5,5 persen) dan petani kota binaan (19,23 persen) dibandingkan anggota masyarakat yang bukan pelaku pertanian kota. Demikian pula dengan asupan protein, petani kota dan petani kota binaan mengalami peningkatan asupan protein sebesar 1,64 persen dan 8,2 persen (secara berurutan).
Berkaca dari fenomena dan hasil penelitian di atas, Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (Kafegama) Nusa Tenggara Barat hadir memberikan solusi kepada masyarakat perkotaan dengan cara melatih generasi milenial perkotaan untuk menjadi petani kota.
Pelatihan sudah dilaksanakan pada November dan Desember 2019 di Pondok Pesantren Darul Qur’an, Bengkel, Lombok Barat. Para peserta diberikan pelatihan tentang budidaya hidroponik selama tiga hari. Mereka belajar tentang teori dan praktik langsung budidaya hidroponik.
Alhamdulillah, Sabtu, 8 Februari 2020, Kafegama NTB meluncurkan hidroponik percontohan di Lingkungan Dasan Cermen Barat. Lokasi Dasan Cermen dipilih karena merupakan lingkungan binaan Kafegama NTB, dan peserta pelatihan tergabung dalam Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dasan Cermen.
Penghasilan Tambahan
Harapan Kafegama NTB, kegiatan ini dapat menjadi percontohan yang bisa ditiru langsung oleh masyarakat. Selain menjadikan lingkungan asri, budidaya hidroponik juga sangat menguntungkan secara ekonomi.
Saat ini, Kafegama NTB membina beberapa petani hidroponik dan sudah memiliki pasar yang terjamin, yaitu beberapa hotel dan supermarket. Permintaan harian sayur hidroponik lewat Kafegama NTB saat ini mencapai 20 kilogram per hari, dengan harga rata-rata Rp 20 ribu per kilogram.
Untuk yang diluncurkan Sabtu kemarin ini (Dasan Cermen), ada dua instalasi dengan kurang lebih 500 lubang hidroponik. Satu kali panen akan menghasilkan 50 kilogram sayuran, artinya dalam sekali panen ada pendapatan sebesar Rp 1 juta.
Selain menjadi sumber pendapatan baru, hidroponik di Dasan Cermen ini akan menjadi tujuan wisata edukasi, menambah destinasi sebelumnya yang sudah diluncurkan, yaitu eduwisata menanam padi, kandang sapi, pembuatan pupuk kompos, kendang ayam, kendang bebek, membuat telur asin, kolam lele, dan membuat abon lele.
Sebagai informasi, tahun lalu Kelurahan Dasan Cermen menjadi Juara 1 Lomba KBA Inovasi Tingkat Nasional dan tahun 2020 ini terpilih sebagai salah satu penyelenggara Festival Kampung Berseri Astra. Kami dari Kafegama NTB selalu siap untuk mendukung kemajuan Kelurahan Dasan Cermen.
Kafegama NTB akan terus berkomitmen untuk mendampingi masyarakat agar semakin sejahtera, yang ditandai dengan bertambahnya pendapatan. Budidaya hidroponik ini tidak membutuhkan waktu yang lama, jadi bisa dikerjakan tanpa mengganggu pekerjaan utama.
Dan, akhir-akhir ini tren menjadi petani kota cukup tinggi, ditandai dengan meningkatnya permintaan pendampingan budidaya hidroponik ke Kafegama NTB. Beberapa hari ke depan, kami sudah memiliki jadwal lebih dari 10 titik pendampingan.
Jika ada Bapak-Ibu yang ingin didampingi menjadi petani kota, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi Kafegama NTB melalui nomor kontak: 081918381255. []