Selandia Baru terpukul saat insiden itu terjadi. Sebuah peristiwa kelam membuat dunia diselimuti duka.

Jumat, 15 Maret 2019: berawal dari langkah kaki seorang laki-laki berbadan tegap. Ia merangsek masuk ke halaman depan masjid bersama senjata kesayangan di tangannya yang kokoh. Ia kemudian terus membawa diri hingga tiba di dekat pintu masuk Masjid Al-Noor.

“Hello, Brother,” sambut seorang jamaah asal Afganistan bernama Daud Nabi. Laki-laki tua yang pertama kali menyapa itu juga yang kemudian pertama menerima peluru yang dilepas laki-laki bersenjata. Ia merupakan korban pertama pada insiden kelam itu. Tubuhnya roboh di tempat sementara darah segar bercucuran di lantai.  Tak disangka, sapaan ramah darinya berbuah tragis.

Tak berhenti di situ, Brenton Terrant, nama laki-laki bersenjata itu, langsung memberondong para jamaah lainnya tiada ampun. Mereka yang kena imbas dari nyanyian peluru itu tergeletak di sepanjang lorong yang menghubungkan pintu masuk masjid dengan ruang utama tempat jamaah melaksanakan ibadah. Semuanya bersimbah darah dan membasahi karpet suci warna hijau.

Jamaah lain yang tak tahu-menahu bahwa ada serangan bersenjata menghampiri mereka masih saja fokus pada aktivitas ibadah masing-masing. Seperti mengirim doa-doa ke langit agar tanah yang mereka diami tetap damai seperti biasanya.

Tapi, tak lama berselang melalui teriakan beberapa orang yang berusaha melarikan diri, insiden itu pun pecah tak terkendali.

Tiba di ruang utama masjid, Brenton Terrant kembali menembaki para jamaah yang tak berdaya itu satu persatu. Hampir tak ada yang selamat. Nyayian peluru kala itu sungguh tak berperikemanusiaan. Orang-orang syurga itu harus menutup kisah hidupnya di tempat yang suci.

Tuntas dengan aksi “bersih-bersihnya” di situ, laki-laki itu sempat ke mobilnya untuk mengganti senjata. Selanjutnya masuk lagi ke masjid dan mengulang kebiadabannya. Seolah ia ingin memastikan bahwa semua harus mati.

Ia berlari ke luar masjid dengan napas tersengal. Mirip orang panik dengan sinar mata ketakutan. Dari depan masjid dengan jarak kurang lebih sembilan meter, ia menembaki seorang muslimah yang tampak ingin menjauh dari tempat tersebut. Naas pun tak mampu ia hindari. Sebuah peluru bersarang di tubuhnya.

Help me, help me,” teriaknya dengan suara yang berat. Namun Brenton Terrant semakin mendekatinya. Peluru kembali bernyanyi dan perempuan itu pun selesai di situ.

Siang itu, Masjid Al-Noor menjadi saksi bagaimana sebuah kematian menjemput manusia dengan cara yang tak disangka-sangka.                  

Sederet media besar di berbagai belahan bumi langsung menyorot peristiwa itu berhari-hari. Mengulasnya pagi, siang, dan malam. Menempatkannya sebagai headline berita. Luapan ucapan belasungkawa pun datang baik dari para pemimpin dunia maupun masyarakat umum di mana pun mereka berada. Manusia-manusia terluka hati dan perasaannya.

Bahkan dalam siaran persnya, Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, mengatakan itulah hari yang paling gelap di negaranya. Tercatat sekitar lima puluh orang meninggal di dalam masjid. Bak kemarau setahun yang dihapus hujan sehari, Christchurch yang terlanjur dikenal dengan kedamaiannya berubah menjadi kota yang menyeramkan.

***

Saya dan istri berdiri di depan masjid itu enam bulan kemudian. Masih terlihat tumpukan karangan bunga yang layu dimakan musim. Namun, tak ada lagi huru-hara para jamaah yang dikejar-kejar oleh peluru. Kami hanya melihat orang-orang yang datang dan pergi untuk menyaksikan kondisi terkini masjid terbesar di kota Christchurch tersebut.

Siang itu, suara adzan Dzuhur menggema, seakan membelah langit Selandia Baru. Tiupan angin menerpa wajah kami berdua. Sejuk sekali rasanya. “Assalamu’alaikum,” ucap seorang jamaah berkulit hitam menyambut kami di pintu masuk masjid. Saya membalasnya, lalu kami berpelukan hangat. Saya dan istri lalu membuka alas kaki, kemudian masuk ke masjid.    

Sekali pun ingatan melempar saya jauh ke belakang, kami berdua bersyukur bisa ada di situ tanpa khawatir sedikit pun. Tadi sebelum kami masuk, sebuah mobil patroli milik kepolisian setempat standby di depan masjid. Rupanya keamanan sudah begitu terjamin. Kejadian itu berlalu dan orang-orang kini bisa melanjutkan hidupnya seperti sediakala. 

Saya belok kiri menuju tempat wudhu jamaah laki-laki sementara istri sudah ada di ruang salat jamaah perempuan. Sembari membasuh wajah, pikiran saya melayang ke mana-mana. Kematian memang menjadi rahasia Tuhan. Tugas manusia hanya menjadi sebaik-baiknya makhluk di muka bumi dengan satu komitmen serius untuk menebar benih-benih kebermanfaatan. Kapan, di mana, dan dengan cara apa nyawa kita ambil tak ada yang tahu.  

Kini saya berada di tengah-tengah jamaah yang tengah bersiap untuk salat qabliyah Dzuhur. Ada juga anak-anak kecil yang ikut serta orang tuanya. Suasana demikian hidup dengan suara jamaah yang membaca Al Quran. Sungguh ini ibadah yang sangat istimewa. Di bagian belakang sebelah kanan ada lagi ruangan bagi jamaah perempuan. Istri saya ada di sana. Barangkali sedang merasakan hal yang sama.

Lewat jendela kaca saya melihat di sekitar masjid ada tiga orang polisi yang berdiri. “Mereka sedang bertugas,” kata seorang jamaah pada saya. Alhamdulillah, balas saya dalam hati. Kini kami bisa beribadah dengan tenang. Saya yakin tanah ini telah kembali pada fitrahnya sebagai negeri yang paling aman di dunia. Senyum ramah warganya menjadi magnet yang menarik perhatian orang untuk datang berkunjung.   

Usai salat Dzuhur, saya menundukkan kepala dalam diam. Memohon ampun pada Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berharap semoga para korban penembakan dulu mendapat tempat terbaik di sosial-Nya sesuai dengan amal ibadah mereka semasa hidup. Dan juga kejadian serupa tak terulang di mana pun dan menimpa agama apa pun.  

Seorang muslimah asal Etiopia yang sempat diajak ngobrol oleh istri saya mengaku ikhlas menerima kenyataan menyedihkan itu. “Ya, kita serahkan semuanya pada Allah SWT,” ucapnya. Untuk aktivitas komunitas muslim di Canterbury sendiri, termasuk orang Indonesia, tetap diadakan setiap hari Kamis dan Jumat. Berupa pengajian umum dan anak-anak.

Menurut saya semua agama pasti punya garis haluan yang sama dalam menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Tak ada satu pun agama yang mengajarkan perpecahan dan permusuhan. Sebaliknya, kejadian-kejadian kelam yang pernah terjadi adalah bukti ketidakmampuan manusia menjalankan apa yang telah digariskan oleh agama-agama. 

Betapa egoisnya kita sebagai manusia jika bertindak tanpa memikirkan nasib manusia lainnya? Eksistensi kita hanyalah beban bagi hidup dan kehidupan orang lain.  Bukankah kualitas hubungan kita dengan Tuhan tercermin dari hubungan kita sesama manusia? Kemarahan sampai kapan pun tak akan pernah mampu menghadirkan kedamaian. Kebencian selamanya jadi musuh utama nilai-nilai kemanusiaan yang agung.   

***

Pukul dua siang, dari Masjid Al-Noor, Canterbury, saya dan istri pindah ke Linwood Islamic Centre. Menggunakan mobil rental kami hanya butuh waktu kurang-lebih lima belas menit untuk sampai ke sana. Dulu pada hari yang sama juga terjadi penyerangan di tempat ini. Hanya saja jumlah korban yang meninggal tak sebanyak di Masjid Al-Noor. Tapi, satu hal yang menyayat hati yakni adanya korban tembak asal Indonesia.

Sebagai sesama perantau, saya dan istri bisa merasakan apa yang dia rasakan. Mendapat musibah besar saat jauh dari keluarga sungguh bukan harapan semua orang. Bahkan tak pernah terlintas dalam pikiran.

Begitu turun dari mobil kami berjalan mendekati tempat itu. Tak ada siapa-siapa yang kami jumpai. Di tengah teriknya matahari, saya dan istri seolah masuk dalam sebuah kesunyian yang getir. Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, sebuah mobil bergerak ke arah kami. Kemudian berhenti dan seorang lelaki tua berjenggot putih menurunkan kaca jendela mobilnya. “Assalamu’alaikum,” teriaknya dari dalam mobil sambil melempar senyum ramah ke arah kami. Begitu melihat dan mendengarnya, kami cepat-cepat meresponsnya dengan senyum yang tak kalah ramah.

Dengan bahasa Inggris yang khas aksen timur tengah, orang tua itu menginformasikan bahwa person in charge di situ hari itu sedang tak di tempat. Jadi, kami tak bisa masuk melihat suasana di dalamnya. Meskipun kami telah mencoba bernegosiasi, orang tua itu tak kuasa memberi solusi. Kami memakluminya. Dengan permintaan maaf yang berkali-kali, mobil itu bergerak menjauh pelan-pelan. Saya dan istri pun kembali dalam kesunyian.

Hari sudah mulai panas. Saya dan istri harus puas melihat bagian luar Islamic Centre tersebut. Sejumlah karangan bunga dan ratusan lembar kartu ucapan belasungkawa masih dipertahankan di situ. Sebagian tergeletak di lantai dekat pintu masuk.  

Bersama hening yang meruang dalam dada, saya berandai-andai bagaimana jika yang jadi korbannya adalah ayah, kakak, atau mungkin adik kandung kita sendiri?[]

Muhammad Hidayat Chaidir
Author: Muhammad Hidayat Chaidir

Muhammad Hidayat Chaidir, lahir di Dompu (NTB), 12 November 1986. Belajar menulis di Rumah Dunia sejak tahun 2015. Pengagum Nelson Mandela ini pernah bermukim di Australia Selatan. Kini, sembari terus mengasah keterampilan menulisnya, Muhammad Hidayat Chaidir menjadi staf pendidik di English First (EF) Cilegon dan UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten.

By Muhammad Hidayat Chaidir

Muhammad Hidayat Chaidir, lahir di Dompu (NTB), 12 November 1986. Belajar menulis di Rumah Dunia sejak tahun 2015. Pengagum Nelson Mandela ini pernah bermukim di Australia Selatan. Kini, sembari terus mengasah keterampilan menulisnya, Muhammad Hidayat Chaidir menjadi staf pendidik di English First (EF) Cilegon dan UIN Sultan Maulana Hasanuddin, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *