Kisah sebelumnya baca di sini:  Bang Nardi memiliki hobi merokok. Di penghujung sisa rokoknya, Bang Nardi selalu menyisakan puntung rokok dengan ujungnya disuir. Kadang-kadang Bang Nardi menggigit-gigit bagian busanya sebelum memutuskan untuk membuang sisa kenikmatan dari barang berasap sepanjang 11 sentimeter itu.  

Aku tak tahu Bang Nardi sudah makan malam atau belum, namun saat bangun, kudapati tubuh kekar hitamnya tergolek di sampingku. Ia masih mendengkur. Lalu aku pergi mengambil wudhu dan salat subuh sendirian. Kubiarkan Bang Nardi tidur pulas. Mungkin semalam ia terlalu capek sehingga sampai sekarang belum bangun.

Saat hari mulai lebih terang, kutinggalkan Bang Nardi ke pasar. Namun sebelum pergi, kusiapkan bubuk kopi dan gula serta air panas di termos. Biarlah nanti ketika Bang Nardi bangun dan aku belum pulang, ia bisa menyeduh kopi sendiri.

Pagi hari yang begitu cerah, secerah hatiku kala itu. Aku bahagia dengan kegigihan Bang Nardi bekerja. Ia suami yang baik, meski kami belum memiliki anak. Tak kuindahkan lagi keinginan itu. Kami cukup bahagia tanpa kehadiran anak. Bercermin dari kisah tetangga yang memiliki anak, banyak yang tak bisa mendidiknya dengan baik. Alhasil, anak-anak mereka bukannya berbakti, tapi justru berbalik menjadi musuh dan melawan mereka.

Itulah yang kusyukuri saat ini dibalik kemandulan Bang Nardi. Hari ini terbersit di pikiranku untuk memberi hadiah pada Bang Nardi. Tapi apa, ya? Ah nanti saja kucari di pasar. Letak pasar tidak jauh dari balai desa. Jadi, kadang-kadang kalau mau ke pasar, aku sering mengintip orang-orang yang membuat surat keterangan ini-itu di balai desa.

Aku tak pernah masuk sekalipun ke balai desa. Bahkan untuk urusan kartu tanda penduduk dan kartu keluarga sekalipun aku tak pernah mengurusnya, meski wajib bagi setiap warga negara untuk memilikinya. Berkali-kali ketua RT mengingatkan, tapi bagiku dan Bang Nardi, hanya pegawai negeri yang memerlukan itu. Kami hanya memerlukan beras dan lauk sehari-hari. Hmm, demikianlah pikiran orang awam sepertiku yang hanya sekolah sampai tingkat dasar, bahkan tidak lulus.

Namun pagi itu, aku tersentak dari lamunanku. Di balai desa sangat ramai. Banyak warga dan bapak-bapak berseragam cokelat di sana. Bapak polisi. Jumlahnya puluhan. Ada sekitar dua belas lebih. Satu di antara mereka terus berbicara dari balik alat berantena yang dipegang. Aku tidak tau nama alatnya. Sepintas kudengar ia berbicara tentang mayat.

Ada apakah? Apakah ada penemuan mayat ataukah kecelakaan yang memakan korban? Aku merinding membayangkan sendiri apa yang kudengar. Kuberanikan diri bertanya pada salah satu warga. Ibu Raodah kujumpai mencuri informasi dari bapak berseragam. Pelan ia setengah berbisik dan dengan leher seakan tercekik, ia melirihkan suaranya. Ia mengatakan semalam ada pembunuhan di dekat kali di ujung desa. Mayatnya seorang perempuan tanpa identitas.

Semakin tertahan ia bicara. Pembunuhan sadis. Mayat ditemukan dalam keadaan bersimbah darah. Wajahnya penuh sayatan sehingga sulit dikenali. Terdapat luka robek bekas sayatan. Diduga mayat diperkosa dulu sebelum dibunuh. Barang-barang bukti sudah diamankan polisi, termasuk pisau, tali, dan kayu yang digunakan untuk membunuh korban. Dan satu lagi barang bukti yang dibawa polisi. Beberapa puntung rokok. Menurut polisi, pembunuhnya laki-laki.

Puntung rokok? Aku memperhatikan dengan seksama puntung rokok yang terbungkus plastik putih bening di tangan pak polisi. Puntung rokok yang sangat kukenali, begitu khas dengan ujung busanya yang disuwir. Putung rokok bermerk Surya. Siapa lagi yang punya puntung rokok semacam itu kalau bukan Bang Nardi? Bukankah semalam Bang Nardi lembur di lumbung Haji Jamil? Tapi mungkinkah?

Wajahku tiba-tiba pucat. Hampir seputih kapur. Seakan darahku berhenti mengalir. Telinga terasa panas dan tubuh terasa dingin membayangkan kalau pelaku pembunuhan sadis itu Bang Nardi, suamiku sendiri.

Dengan langkah tergopoh-gopoh aku pulang. Hampir saja aku tertabrak motor. Tanpa sungkan, sang pengendara berteriak sambil mengumpatku. Tak kuhiraukan semua itu. Aku harus segera bertemu Bang Nardi untuk meminta penjelasan. Kudorong pintu dengan keras, mengagetkan Bang Nardi yang tengah menyeduh kopi. Hampir saja kopi itu tumpah mengenai tangannya. Ia melotot seraya menyalahkanku karena mengagetkannya.

“Apakah Abang yang membunuh perempuan itu semalam?” tanyaku pada Bang Nardi tiba-tiba.

Bang Nardi, yang tengah menyeruput kopinya, langsung terbatuk-batuk. “Kamu mabuk, ya? Kenapa kamu tanya aneh begitu ke Abang.”

“Abang tidak tahu ada apa di balai desa? Di sana banyak polisi, Bang. Ada pembunuhan sadis semalam dan polisi mengamankan barang bukti, termasuk puntung rokok Abang.”

Aku bicara bertubi-tubi. Nadaku seperti seorang hakim yang siap menjatuhkan hukuman berat kepada suami sendiri. Wajah Bang Nardi semakin heran. Dikiranya aku mengigau. Di tengah perdebatanku dengan Bang Nardi, tiba-tiba sirene mobil polisi terdengar semakin dekat. Suara itu menuju gubuk kami dan para polisi langsung memburu Bang Nardi.

Bang Nardi diborgol nyaris tanpa perlawanan. Ia hanya bingung sambil bertanya apa yang terjadi. Dengan sinis, bapak berseragam itu menyeret Bang Nardi layaknya binatang liar. Aku jadi ternganga. Wajah polos Bang Nardi menyiratkan kebingungan, dan kejujuran. Mendadak aku percaya padanya. Aku mengenal wajah itu. Aku yakin dia sungguh tidak bersalah. Tapi aku bisa apa? Wajah Bang Nardi tampak memelas agar dikasihani, tapi bapak berseragam cokelat itu terus menyeretnya, bahkan sesekali menendangnya.

Bang Nardi memberontak, namun bapak berseragam itu semakin menendangnya. Bahkan dua kali menamparnya hingga pipi Bang Nardi memerah. Para tetangga mulai berkerumun. Ada yang  menghujat dan melempar kata-kata tak pantas pada Bang Nardi. “Dasar pembunuh!” Bahkan ada yang melempari Bang Nardi dengan kerikil. Sebagian ada yang merasa iba, tapi tak mampu berbuat apa-apa.

Polisi segera membawa Bang Nardi ke dalam mobil untuk menghindari amukan massa. Aku menjerit memohon agar Bang Nardi dibebaskan. Toh, tiada yang menghiraukan. Bang Nardi akhirnya dibawa ke mobil polisi dan mobil itu kini melesat jauh meninggalkanku sendiri penuh nestapa.

Beginilah nasib kami yang miskin papa, tak ada pertolongan. Tak ada keadilan. Yang ada, kini Bang Nardi harus mendekam di balik jeruji untuk waktu yang sangat lama. Bahkan mungkin selama sisa hidupnya untuk perbuatan yang belum tentu ia lakukan. []

Fathul Janatul Aulia,S.Pd
Author: Fathul Janatul Aulia,S.Pd

Sangat kagum dipanggil dengan nama pena Aulia. Lahir di Borok Bokong, 10 Oktober 1987, memiliki hobi menulis cerpen sejak SMP. Bercita-cita menjadi guru sekaligus penulis cerpen/novel, aktif mengajar di SMP Negeri 5 Gerung. Di sekolah dipercaya sebagai pembina mading dan pembina OSIS.

By Fathul Janatul Aulia,S.Pd

Sangat kagum dipanggil dengan nama pena Aulia. Lahir di Borok Bokong, 10 Oktober 1987, memiliki hobi menulis cerpen sejak SMP. Bercita-cita menjadi guru sekaligus penulis cerpen/novel, aktif mengajar di SMP Negeri 5 Gerung. Di sekolah dipercaya sebagai pembina mading dan pembina OSIS.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *