Bang Nardi memiliki hobi merokok. Di penghujung sisa rokoknya, Bang Nardi selalu menyisakan puntung rokok dengan ujungnya disuir. Kadang-kadang Bang Nardi menggigit-gigit bagian busanya sebelum memutuskan untuk membuang sisa kenikmatan dari barang berasap sepanjang 11 sentimeter itu.
Duh, Bang Nardi, bagaimanapun kau tetap suamiku, imam bagiku, meski kebiasaan merokokmu selalu menjadi perselisihan kecil di antara kita.
Namaku Saniah. Perempuan desa berkulit kuning langsat, rambut ikal dengan ujung pirang sebahu berpadu dengan wajah oval dan pipi yang tirus. Hidungku tidak mancung tetapi juga tidak pesek. Tahi lalat di dagu membuat orang mengatakan aku mirip penyanyi Elvy Sukaesih.
Aku menikah di usia muda. Tepatnya saat itu umurku 24 tahun, sedangkan Bang Nardi hampir empat puluh tahun. Ayah bilang menikah dengan laki-laki yang lebih tua jauh lebih membahagiakan. Dia bisa menjadi suami sekaligus ayah bagimu. Itulah pesan ayah sebelum akhirnya menghembuskan napas terakhir malam itu.
Bang Nardi anak keempat dari enam bersaudara. Kelima saudaranya laki-laki, perempuan hanya satu, yakni Laila, gadis paling bungsu yang belakangan gagal menikah karena calon suaminya membawa lari gadis lain. Hai itu membuat kakak sulung Bang Nardi, yakni Bang Parman, murka. Ia menghajar calon suami Laila habis-habisan. Alhasil ia kini mendekam di balik jeruji selama beberapa bulan. Ia memang terkenal cepat naik pitam dibanding Bang Nardi, yang cukup sabar dan pemaaf.
Pernah suatu ketika aku bermasalah dengan Bang Nardi. Kejadian itu bermula ketika Bang Nardi bekerja di sawah milik Haji Jamal. Saat itu Bang Nardi bekerja dari pagi sampai matahari tenggelam ke peraduan. Kesempatan itu tidak kulewatkan. Namun, serapat-rapat kita menyembunyikan bangkai, akhirnya tercium juga. Aku ketahuan berbuat serong dengan Bang Halil, teman karib Bang Nardi sendiri.
Sungguh pukulan berat buat Bang Nardi. Ia menyeretku dari pondok Bang Halil menuju rumah. Ia kemudian menamparku hingga dari pinggir bibirku merembes darah. Spontan aku berteriak tepat di depan wajah Bang Nardi sambil berseru, “Ini semua karena Bang Nardi yang mandul.”
Diangkatnya kembali tangan kekarnya dan ingin mengulangi tamparannya, namun diurungkan. “Pergilah, sebelum aku kehilangan kendali!” Itulah kalimat pendek yang terlontar dari wajah Bang Nardi yang merah padam kala itu.
Aku pun pergi ke rumah saudaraku, Maemunah, dan tinggal beberapa hari di sana. Sampai pada suatu hari Bang Nardi membayar harga tamparannya dengan permohonan maaf seraya mengajakku pulang. Akupun seketika luluh oleh tampang memelas Bang Nardi.
Meskipun Bang Nardi bukan orang yang cukup alim menurutku, tapi sisi baik Bang Nardi selalu tampak. Bang Nardi yang berbadan tegap, berotot dan tinggi sekitar 170 meter. Sepintas mirip perawakan tentara. Ia cukup putih, namun karena sering bekerja di sawah milik Haji Jamal, kulit Bang Nardi perlahan berganti warna menjadi hitam kilat.
“Hari ini nggak kerja, Bang?” tanyaku pada suatu pagi, saat Bang Nardi memintaku menyeduhkan kopi dengan campuran jahe. Bang Nardi merasa menjadi lelaki paling sempurna dan bahagia saat meminum kopi berpadu dengan rokok.
Ia tak langsung menjawab pertanyaanku, justru malah semakin tenggelam dengan nikmatnya asap rokok yang ia kepulkan dari rokok bermerek Surya itu. Setiap aku menyinggung tentang kebiasaan merokoknya, Bang Nardi selalu menjawab, “ Kamu tidak tau bagaimana nikmatnya merokok dengan ujung rokok yang di suwir, Niah. Ada kebanggaan tersendiri bagi Abang sebagai laki-laki.” Itulah yang selalu dijawab Bang Nardi sambil memperlihatkan deretan giginya yang mulai menguning di sebalik senyum khasnya. Senyum penuh kemenangan tatkala aku berdebat dengannya. Senyumnya yang itu.
Malam itu Bang Nardi memohon izin padaku. “Saniah, malam ini Abang pulang agak larut. Abang diminta memilah bibit padi dilumbung Pak Haji Jamal. Katanya, bibit itu akan dijemput besok oleh tuannya.”
Aku mengiyakan Bang Nardi sambil mengingatkan, “Abang makan malam dulu sebelum berangkat. Niah memasak sayur kesukaan Abang.” Bunga turi campur terong, dihidangkan dengan ikan asin. Aku yakin Bang Nardi tak akan mampu menolak untuk makan malam bersamaku.
Tapi malam itu, aku benar-benar keki. Bang Nardi justru buru-buru berangkat. “Entaran aja Abang makan malam, Niah. Malam ini Abang harus segera selesaikan kerjaan. Jika tidak, Bang Haji akan carikan pengganti Abang. Kamu nggak mau kan Abang kehilangan mata pencaharian.”
“Terserah Abang saja, tapi Niah akan menunggu Abang pulang. Kira-kira pulangnya jam berapa, Bang?”
Mendengar pertanyaan itu, Bang Nardi tertawa ngakak memperlihatkan deretan gigi kuningnya. “Abang bukan pegawai pemerintah yang kerja terikat waktu, Niah. Jadi, jangan tanyakan masalah waktu pada Abang. Kami para buruh hanya bisa menanyakan berapa rupiah harga tenaga dan tetesan keringat kami.” Kadang-kadang, memburu ringgit di Negeri Jiran jauh lebih manis dibanding rupiah yang semakin hari semakin tak tercium aromanya.
Punggung Bang Nardi lenyap di balik pintu. Ia tampak buru-buru sekali. Dalam hal kerja ia memang terkenal ulet. Bang Nardi jarang mengeluh meski kadang-kadang Haji Jamil memberikan ongkos yang tidak layak. Aku sering menggerutu sendiri dengan sikap angkuh Haji Jamil. Ia tak menghargai keringat rakyat jelata seperti kami. Semaunya saja mengatur upah. Jika para buruh tawar menawar upah, dengan entengnya ia mengganti buruh.
Tapi Bang Nardi tak pernah mengeluh. Ia hanya menjawab singkat, “Memang segitu rejeki kita, Niah. Daripada Abang tak bisa kerja lagi, yaah sedikit mengalah untuk orang kaya karena emang inilah nasib panjak”.
Entah sampai jam berapa aku menunggu Bang Nardi pulang. Aku ketiduran dengan perut lapar. [Bersambung]
- Panjak: babu/hamba yang hina.