Setelah Rahwana gugur, berarti usai sudah perang besar Giantoro. Keluarga besar Kerajaan Alengka menjadi pihak yang kalah dan gugur semua di medan laga, kecuali Gunawan Wibisana, adik Rahwana yang dari awal membelot ke pihak musuh.

Bahkan, ia menjadi penasihat perang Raja Rama Wijaya, dan mengetahui kelemahan-kelemahan senopati perang Kerajaan Alengka. Hingga akhirnya Kerajaan Poncowati dengan Raja Rama Wijaya bisa memenangkan peperangan.

Prajurit kera dari Poncowati kemudian membersihkan  medan perang “Swela Giri”, mengubur prajurit yang mati, mengobati prajurit yang luka-luka, dan membersihkan arena  medan perang dari peralatan yang rusak, seperti kereta yang rusak, tombak patah, tameng jebol, dan lain sebagainya.

Raja Rama Wijaya kemudian memanggil Hanoman, memberi perintah untuk menghadap Dewi Shinta di Taman Masoka Alengka dan memberi tahu bahwa perang telah usai, Rahwana telah gugur. Dewi Shinta diminta untuk menyambut Sri Rama Wijaya dipintu masuk “regol” Kerajaan Alengka bersama-sama dengan Hanoman.

Di Taman Masoka Kerajaan Alengka, tempat bertahun-tahun Dewi Shinta disekap Rahwana dengan hanya ditemani seorang putri, yaitu Dewi Trijatha. Ia tidak lain adalah keponakan Rahwana sendiri, yang ditugaskan untuk menjaga, menemani, dan melayani semua kebutuhan Dewi Shinta.

Selama ini, dalam situasi yang tertekan, dengan perasaan sedih, prihatin, dan menderita, Dewi Shinta “datan kersa ngadi salira, ngadi busana, dan datan kersa siram diwasraya“. Dalam perasaan sedih Dewi Shinta tidak mau mengurus badan, tidak mau berganti pakaian, dan tidak mau mandi untuk  sekedar merawat tubuhnya. Hingga hari ini, saat Hanoman menghadap dan menyampaikan pesan dari Raja Rama Wijaya.

Dengan berurai air mata, dalam perasaan yang campur aduk, antara haru dan bahagia, bahwa kebenaran dan kejujuran bisa mengalahkan nafsu Angkara Murka, Dewi Shinta sambil terisak berkata kepada Hanoman, “Hanoman, Engkau melihat sendiri, keadaanku, maka untuk itu, Hanoman, hendaknya engkau jalan duluan. Aku mau siram diwasraya, dan ngadi busana. Nanti setelah selesai, aku menyusul.”

Praduga

Dewi Shinta, menghendaki mandi dan berganti pakaian dulu, maksudnya biar pantas dan sopan menyambut seorang suami, dan bahkan menyambut seorang raja yang menang perang. Hanoman pun maklum dan mengerti, dan segera pamit untuk menghadap Sri Rama Wijaya.

Tapi ternyata, Rama Wijaya kaget karena Hanoman menghadap tidak bersama sama dengan Dewi Shinta seperti perintahnya. Akhirnya Dewi Shinta selesai siram diwasraya, ngadi busana,dan ngadi salira. Muncullah aura kecantikannya, bagai seorang bidadari turun dari kahyangan. Ia berdiri di pintu regol Kerajaan Alengka, menyambut Sri Rama Wijaya, beserta semua senopati perang, dan ribuan prajurit kera.

Syahdan, yang terjadi kemudian adalah suatu kesalahpahaman. Rama Wijaya marah besar kepada Dewi Shinta. Seharusnya  Dewi Shinta langsung menghadap bersama sama Hanoman, tidak perlu mandi dan tidak perlu ganti pakaian. Dewi Shinta menyambut suami seharusnya apa adanya. Dewi Shinta tidak menyambut pacar, tidak menyambut seorang tunangan, tapi Dewi Shinta menyambut suami. Untuk apa semua itu?

Sesungguhnya, Rama Wijaya diliputi perasaan “jealous“, diliputi praduga su’udhon terhadap istrinya, yakni Dewi Shinta. Berarti bertahun tahun disekap Rahwana di Taman Masoka Alengka, ibarat makanan, Dewi Shinta telah dimakan oleh Rahwana, ibarat pakaian telah dipakai oleh Rahwana. Pendek kata, Dewi Shinta telah “disentuh” oleh Rahwana. Dewi Shinta sudah tidak suci lagi.

Pancala Api

Suasana menjadi sangat hening. Patih Narpati Sugriwo hanya geleng-geleng kepala. Lesmana mau bicara, namun tidak berani. Gunawan Wibisana mau usul, namun Rama Wijaya berkata, “Ini urusan pribadi, antara suami dan istri, semua tidak boleh ikut campur.”

Sementara ribuan pasukan kera hanya bisa menangis. Dewi Shinta berurai air mata, hati dan perasaannya bagai dipukul palu besi, hancur luluh hatinya. Namun demikian, Dewi Shinta adalah titisan bidadari Dewi Sri Widowati. Maka dengan lantang dan tegas, beliau berkata, “Untuk membuktikan kesucianku, bahwa Rahwana tidak sanggup dan tidak bisa menyentuhku, dan untuk membuktikan kesetiaanku pada suami, Sri Rama Wijaya, maka siapkanlah api, dan aku mau masuk dalam pancala api.”      

Segera semua menyiapkan kayu kayu bakar dan tungku pancala, untuk dinyalakan menjadi lautan api. Mereka, pasukan kera, bekerja sambil berbisik, “Gila, ini benar-benar gila. Ribuan orang mati karena perang ini. Perang ini memperebutkan Dewi Shinta, dan Dewi Shinta berhasil direbut, Dewi Shinta sudah di tangan … Gila, benar-benar gila. Kok jadi begini?  Gila, dasar gila …”

Di tungku pancala, api berkobar-kobar. Api menyala nyala. Segera Dewi Shinta menceburkan diri ke dalam lautan api. Shinta obong.

Syahdan, para dewa di kahyangan geger, segera mengadakan sidang darurat, memerintahkan api itu dingin bagi Shinta. Api itu tidak membakar Dewi Shinta. Untuk menunjukkan bahwa manusia seperti Rama Wijaya, walaupun dia titisan Dewa Wisnu, bisa salah dan keliru. Sehebat apa pun dia, masih manusia juga. Tidak ada manusia yang sempurna.

Perlahan-lahan, muncullah Dewi Shinta dari nyala api yang mulai padam, dengan penuh cahaya kesucian. Sambil menangis dan berurai air mata, Sri Rama Wijaya berlari, menyambut, dan memeluk istrinya, Dewi Shinta, seakan tak akan melepaskannya lagi. [Wonosari, Sabtu kliwon, 25 Januari 2020]

Wija Sasmaya
Author: Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

By Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *