Apa relevansi puisi hari ini? Hari ketika kata tak lagi bermakna. Ucapan kehilangan pegangan. Kenyataan dilampaui keyakinan. Dan harapan tinggal sebatang kara. Masih adakah yang relevan dari bait-bait puisi—kata demi kata yang tersusun liris itu?

Barangkali, puisi memang tak pernah relevan. Terlebih bagi dunia yang menua, kehabisan suara. Kan hidup sudah terlalu bising. Dengan kebohongan, muslihat, kecurangan, dan kebebalan lainnya. Maka yang paling penting adalah kita mencari selamat. Sendiri-sendiri. Bukan begitu?

Puisi memang tak pernah relevan. Karena kita tidak tertarik pada erti. Benar, kita bisa mengartikan. Tapi kita tidak kunjung memiliki pengertian. Kita bisa memilih dan memilah. Tapi sering luput melihat benang merah. Bahwa ada yang sama di balik segala yang berbeda.

Ketimpangan, korupsi, kesewenangan, kesembronoan. Kita semua dapat mengartikan itu. Sama-sama berusaha menyudahinya (mungkin). Tapi apa yang terjadi? Malah makin menjadi-jadi. Lihat saja Ibu Pertiwi. Tampak kita semakin tidak mengerti betapa manusia di mana pun satu. Setara. Berharga.

Hmh … bagaimanapun puisi tak kan pernah relevan. Jika semua harus selalu tentang kita. Manusia. Bukan yang lain. Bukan debur ombak, desau angin, gemerisik daun, rintik hujan, kicau burung, kokok ayam, lenguh lembu, apalagi bisik semut. Atau kerikil di atas kuali untuk menenangkan si kecil.

Mau ke mana lagi? Bisa apa sih kata-kata tanpa manusia? Diam meringkuk sembunyi di sudut. Terpuruk. Kehilangan ada. Tapi akan tetap terus di sana. Setia. Tak hendak ke mana-mana. Hingga ditemukan kembali pada hari yang dijanjikan.

Lalu, kapan puisi akan relevan? Bilakah hari yang dijanjikan itu tiba? Kalau kota, jalan, dan jembatan sudah jadi? Jadi apa? Jadi berantakan? Selamanya manusia tak punya pengertian. Hanya mengais arti selama nyawa dikandung badan.

Kasihan, kasihan, kasihan.

Kapan-kapan mungkin puisi bisa relevan, kalau manusia mau beringsut menggeser sudut pandang. Bertanya dan menanya, bisa apa kita tanpa kata-kata? Gelagapan berbahasa, mengeja aksara. Takut pada suara, juga lolongan serigala.

Ternyata, tanpa kata-kata, manusia bukan apa-apa. Tak bisa apa-apa. Biarlah, lebih baik begitu. Mati saja kau kata-kata. Biar manusia hilang guna. Demikian kata kerumunan semut yang rumahnya baru dilibas sang khalifah. Ingin sekali dia berdiri melawan. Tapi semut hanya bisa menang dalam cerita yang silam.

Kalau begitu, kalau memang tak kan kunjung relevan, untuk apa kita menulis puisi, kemudian membacanya? Dan, mengapa pula kami menerbitkan lagi sekawanan puisi ini—untuk ketiga kali? Demi kepuasan sendiri? Merayakan mimpi-mimpi yang tak terjadi?

Tidak. Sama sekali bukan. Kami hanya ingin mengajak kamu sesekali bersua dengan yang tak relevan. Sekaligus menjadi yang tak relevan. Tapi lalu punya pengertian. Rasanya itu lebih menyenangkan. Juga menenangkan. Itu pun kalau kamu mau.

Jadi, teruntuk pembaca yang terkasih, kami mempersembahkan buku ini. Sekali lagi. []

Judul: Ketika Puisi Tak Lagi Bermakna
Penulis: Wija Sasmaya
Penerbit: Rehal Mata Nusantara
Cetakan Ketiga: Februari, 2021
Halaman: xx + 148
Pemesanan: s.id/rehal

Redaksi
Author: Redaksi

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *