Bagaimana jika segala yang selama ini kita pegang teguh sebagai keyakinan atau kebenaran tiba-tiba luruh, lalu perlahan menampakkan sisi sebaliknya?
Demikian pertanyaan pokok yang tersirat lewat novel Siwa: Kesatria Wangsa Surya karya penulis India, Amish Tripathi. Novel ini seri pertama dari trilogi yang mengisahkan perjalanan Siwa dalam memenuhi takdirnya sebagai Nilakantha—juru selamat umat manusia.
Dituturkan, Siwa memimpin Suku Guna di Gunung Kailasha, Tibet, tahun 1900 Sebelum Masehi. Suku Guna terlibat perang berkepanjangan dengan Suku Pakrati, yang membuat Siwa merasa jengah dan sia-sia.
Hingga kemudian datang utusan dari Meluha, kerajaan terkaya dan terkuat di Jambhudwipa (India). Utusan tersebut mengajak Siwa dan warganya untuk tinggal di wilayah Meluha.
Di sana, mereka dijamin bakal bisa hidup damai serta diberi tanah garapan dan perlengkapan untuk bertani. Suku Guna cukup membayar pajak dan mengikuti aturan yang berlaku.
Mimpi Hari Esok
Mempertimbangkan hari esok yang lebih cerah, Siwa pun menerima tawaran tersebut. Dan, setiba di Meluha, dia sangat terkesan. Kotanya rapi dan bersih. Orang-orangnya—yang dikenal sebagai Wangsa Surya—demikian jujur, berani, dan bersetia pada kebenaran.
Hanya ada satu persoalan: Wangsa Surya terseret perseteruan abadi dengan Wangsa Chandra, yang tinggal di negeri tetangga, Swadwipa. Dalam banyak hal, Wangsa Chandra digambarkan sebagai kebalikan dari Wangsa Surya.
Mereka, misalnya, kerap melakukan serangan mendadak kepada warga biasa dan brahmana, dan tanpa segan menghabisi nyawanya. Ini bertentangan dengan hukum perang leluhur yang hanya membolehkan serangan terbuka di medan laga terhadap prajurit bersenjata.
Sedangkan Wangsa Surya tetap menjunjung hukum dan tak pernah menyerang warga Wangsa Chandra. Dan mereka mulai kalah jumlah, dengan sebagian besar penduduk semakin resah akibat teror yang terus dilakukan musuh.
Mental prajurit Wangsa Surya pun kian merosot. Sebab, tiap kali tiba di daerah yang baru diserbu Wangsa Chandra, mereka hanya menemukan mayat-mayat bergelimpangan.
Bersandar pada Nubuat
Dalam kondisi macam itulah, di tengah mereka, hidup nubuat akan hadirnya Nilakantha yang dikenali lewat leher berwarna nila setelah meneguk Somras—minuman para dewa.
Dan ternyata, leher Siwa berubah nila setelah meminum ramuan tersebut, sehingga dia ketiban amanat menjadi juru selamat. Tentu awalnya Siwa menganggap nubuat itu omong kosong belaka, meski dia bersedia membantu orang Meluha menumpas kebatilan Wangsa Chandra.
Pada akhirnya perang besar tak terhindarkan. Lantas, seperti sudah diramalkan, Siwa berhasil mempersembahkan kemenangan.
Namun dia terguncang saat mendapati kenyataan bahwa Wangsa Chandra memiliki ramalan yang sama: Akan datang satrio piningit yang nanti membantu menghancurkan Wangsa Surya yang jahat.
Apalagi Siwa kemudian tidak mendapati sesuatu yang “benar-benar jahat” dalam diri Wangsa Chandra. Mereka hanya berbeda. Lebih luwes terhadap hukum. Dan, mereka bersumpah sama sekali tidak pernah menyerang Wangsa Surya dalam seratus tahun terakhir.
Soal Sudut Pandang
Persis pada titik inilah sang Nilakantha menyadari persoalan yang sangat mendasar tapi kerap dilupakan: sudut pandang.
Ya, kenyataan terdiri atas sekian ratus ribu sudut pandang, bahkan mungkin jauh lebih banyak lagi. Namun manusia hanya punya dua mata, dan lebih sering mengambil keputusan dari sudut pandang yang serba terbatas.
Siwa pun terperenyak. Sebelum mengobarkan perang membasmi kejahatan, dia lupa untuk terlebih dulu bertanya apakah kejahatan itu?
Upaya menyudahi rasa jengah dan sia-sia akibat peperangan antar-suku di Gunung Kailasha justru membawanya pada rasa jengah dan sia-sia yang jauh lebih hebat akibat peperangan antar-wangsa.
Namun cerita belum usai. Selanjutnya Siwa akan berhadapan dengan bangsa Naga, yang membuat Wangsa Surya mengira Wangsa Chandra selama ini merongrong warganya.
Dan cerita tetap belum usai … ketika kita hari ini, berabad-abad kemudian, masih mengumandangkan (semisal) perang melawan terorisme, melawan pemberontakan, melawan kesesatan, tanpa sedikit pun berusaha bertanya (dan berpikir) apa dan bagaimana makna dari semua itu.
Judul buku: Siwa, Kesatria Wangsa Surya Penulis: Amish Tripathi Penerbit: Javanica Cetakan: Pertama, Oktober 2016 Tebal: 427 hlm.