Di sebait Minggu sore yang remang-remang berkelindan dengan nuansa aurora di langit, emak mengajakku jalan-jalan berkeliling kampung. Ingatanku cukup kuat meski baru beranjak empat setengah tahun.
Oh ya, namaku Thalita. Anak semata wayang yang terlahir dari pasangan Ibu Hasna dan Pak Rasyid. Aku terbilang mirip bapakku. Mukaku bulat dengan kulit putih kuning langsat. Dihiasi mata sipit seperti orang Cina, bibirku mungil dan hidungku pesek tentunya.
Tinggiku selaras dengan umurku. Semampai orang dewasa menyebutnya. Tidak terlalu tinggi namun juga tidak pendek. Rambutku lurus. Entahlah mirip siapa karena bapakku berambut keriting dan emakku ikal. Mungkin campuran gen rambut itulah yang membuat rambutku lurus.
Sepintas aku mirip anak Cina. Aku tidak sedang memuji diri sendiri, bahkan aku tidak suka disebut anak Cina. Bagiku, aku adalah anak emak dan bapak.
Mmm, aku mungkin perlu menceritakan sedikit tentang orang tuaku. Ayahku berwiraswasta. Dulunya pernah kerja di Pagesangan. Tapi karena sakit, ayahku memutuskan untuk berhenti.
Sementara emakku pegawai di kantor desa, di samping sebagai guru honor di madarasah. Aku senang bisa ikut ke sekolah emakku atau ke kantornya. Di sekolah tempat emak mengajar, ada ayunan. Aku sangat suka bermain ayunan.
Itulah yang membuatku selalu merengek ketika emak melarangku ikut ke sekolah. Namun sore ini rasa kesalku pada emak yang tidak mau mengajakku ke sekolahnya terobati.
Emak mengajakku berkeliling kampung. Sekedar mampir di warung Bibi Saebah senangnya luar biasa. Namun, sore ini tiba-tiba aku sedikit kesal dengan Papuq Nine1 dan Papuq Mame2.
Mereka tidak mengajakku ke Kolam Tiga Ribu yang terletak di Dasan Tapen. Aku tidak tahu Dasan Tapen itu di mana. Karena usiaku masih sangat kecil, tidak banyak tempat yang aku tahu. Tak kutanyakan juga pada emak. Emak pun tak menjelaskan.
Ah, tidak penting buatku. Yang penting aku ingin ke Kolam Tiga Ribu. Kolam kedua yang kutahu selain kolam TV 9, yang pernah kukunjungi bersama emak dan bapak.
Teman emak yang bernama Bibi Urun-lah yang memberi tahu kalau Papuq Nine dan Papuq Mame ke Kolam Tiga Ribu bersama rombongan. Mereka menggunakan mobil Kijang Tuaq3 Man.
Tuaq Man adalah suami Bibi Indun, yang merupakan adik bapakku. Mereka memiliki dua anak bernama Muhammad dan Audi. Usia Muhammad lebih tua enam bulan dariku, sedangkan Audi baru dua bulan.
Karena kesal tidak diajak ke kolam, kuputuskan untuk main di rumah Bibi Indun. Aku biasa pergi main ke rumah bibi. Aku sangat senang saat diantar pulang oleh Tuaq Man menggunakan motor ceketernya. Suara knalpotnya dug-dug-dug. Persis suara traktor Pak Haji Idun, tetangga belakang rumah.
Sebelum sampai rumah, Tuaq Man biasa mengajakku keliling pasar baru di Dasan Baru. Aku dibonceng berdua dengan Muhammad.
Malam mulai menampakkan sisi gelapnya. Cahaya matahari bertukar dengan cahaya lampu Philips berwarna putih dan lampu kuning agak redup. Nuansa malam di rumah Bibi Indun sangat kusukai.
Lebih-lebih aku leluasa minum es dan makan permen tanpa takut lagi oleh teriakan bapak yang mengatakan, “Jangan minum es, nanti batuk.”
Ah, bapak. Mungkin beliau tidak tahu nikmatnya minum es dan makan permen untuk anak seusiaku. Batuk tidak pernah menjadi beban pikiranku karena sepertinya dokter diciptakan untuk membasmi penyakit batuk. Bukankah begitu?
Di tengah rasa asyik dengan nuansa kedip lampu neon putih dan lampu kuning redup, aku berlari berkejaran bersama Muhammad. Masa anak-anak adalah masa indah untuk bermain. Tak peduli siang ataupun malam.
Namun, tiba-tiba serentak orang sekampung berteriak sambil berdzikir “Laa ilaaha ilallah, ye lindur-ye lindur4”.
Itulah teriakan orang dewasa yang bisa kutangkap malam itu. Aku tak paham ada apa dengan kampungku, tapi aku bisa merasakan tanah tempatku bermain terasa seperti ayunan. Persis ayunan milik Titin, sahabatku.
Orang-orang berlari panik ke luar rumah, ke sana-kemari tak beraturan. Irama tangis dan pekik suara bersahutan tanpa melodi. Suaranya terdengar mengerikan.
Gelap semakin membungkus malam yang pekat dan kepanikan serta rona pucat putih menyerupai kapur tampak jelas di wajah orang dewasa. Tiba-tiba lampu padam, ayunan masih terasa jelas. Mungkin Tuhan sedang membuatkan kami ayunan.
Kata emak dan ustadzah di PAUD-ku, Allah itu Mahakuasa. Apa pun terjadi karena kehendak Allah. Dan malam ini mungkin kekuasaan yang Allah tunjukan pada hambaNya.
Saat itu, aku tak takut sedikit pun. Aku hanya heran dengan tingkah polah orang dewasa. Bagiku ayunan sangat menyenangkan. Berkali-kali aku minta pada bapak untuk membuatkan ayunan seperti di rumah Titin, tapi bapak belum juga membuatkan.
Kok, orang dewasa panik ya main ayunan? Di tengah keheranan itu, tiba-tiba sebuah tangan kekar menyambarku. Membawaku ke tengah jalan paving blok berukuran lebar satu setengah meter. Dibiarkannya aku sendiri di tengah jalan oleh si tangan kekar. Si pemilik tangan itu pun berlari kembali mencari anak lainnya barangkali.
Aku menepi ke pinggir erat5 Koperan. Meski malam itu tak paham apa yang terjadi, menepi adalah caraku menyelamatkan diri dari lalu lalang orang dewasa yang tak beraturan dengan muka putih pucat seperti tengkorak.
Ternyata malam itu terjadi gempa. Gempa dahsyat berkekuatan 7 skala Richter membuat rumah-rumah retak, bahkan gentengnya mulai berjatuhan laksana hujan. Tak ada yang saling mempedulikan. Orang berlari seakan tanpa kendali.
Gelap semakin membungkus malam. Bulan pun seakan bertengkar dengan bumi dan memilih untuk bersembunyi di balik awan hitam pekat. Wajah panik terlihat di mana-mana. Sebagian saling memeluk dengan sanak famili yang ditemukan. Sebagian lagi saling mencari.
Suara teriakan semakin tak beraturan. Aku hanya bisa membisu di pinggir erat. Pekatnya malam membuatku bergidik ngeri. Orang-orang nyaris terlihat seperti hantu. Mereka semua berwarna senada. Hitam pekat.
Sayup-sayup mulai terdengar teriakan emak memanggilku. Tapi, di manakah emak? Tak ada wajah yang kukenali. Semua hitam pekat. Namun, tiba-tiba ada cahaya remang seperti kunang-kunang dari kejauhan. Cahaya HP. Wajah orang satu persatu mulai tampak meski tidak terlalu jelas.
Dari kejauhan aku mulai melihat emak. Rambut panjangnya terurai tanpa ikatan. Emak tidak menggunakan jilbab. Tidak juga menggunakan alas kaki. Wajahnya terlihat panik. Sepintas tidak terlihat seperti emakku yang terbiasa rapi.
Emak berlari ke sana-kemari sambil membawa HP. HP itu digunakan sebagai alat penerang sambil meneriakkan namaku. “Thalitaaaaaaa!Thalitaaaaa!”
Tak ada yang mau menjawab emak. Dari jauh tampak wajahnya semakin pucat seakan menyimpan ketakutan tak berujung. Aku ingin memanggil emak. Tapi lidahku terasa kelu. Suaraku seakan tertahan di tenggorokan. Aku hanya bisa menjadi saksi kepanikan emak dan orang-orang.
Aku pun mulai merasa takut bak orang dewasa meski aku tak paham sebenarnya apa yang terjadi. Tiba-tiba Bibi Indun teriak dari Koperan sambil berseru “ Ini Talita, Kaaaaak.”
Mendengar teriakan itu emak langsung menyerbu ke erat Koperan. Dipeluk dan diciumnya aku sambil terisak. Meski tak paham, aku ikut sedih melihat emak menangis. Tak lama kemudian bapak muncul. Kami pun pulang.
Di rumah juga wajah orang-orang terlihat sama. Kepanikan dan ketakutan membungkus wajah semua orang. Tak ada yang mampu bercanda malam itu. Tak henti-hentinya kudengar firman Tuhan mengalir dari bibir setiap orang.
Gempa masih terjadi. Susul-menyusul seperti sedang berlomba. Kami semua mengarah ke Gudang6. Di sana sangat lapang, sehingga kami tidak khawatir akan terkena reruntuhan bangunan.
Malam semakin pekat. Gempa tak kunjung reda. Gelap semakin membungkus malam. Kengerian semakin menyelimuti. Firman Tuhan semakin syahdu didendangkan, seakan malam itu semua insan tobat nasuha. Tangis pun masih mengiringi.
Di tengah kengerian yang menyelimuti, tiba-tiba sayup-sayup terdengar teriakan “Maliiiing! Maliiiiing!”
Serentak para pemuda dan bapak-bapak berlari sambil membawa senter. Rupanya ada yang tengah memanfaatkan situasi. Orang-orang mulai mengejar, tapi entahlah yang dikejar seakan semakin terbawa arus angin. Hilang ditelan gelapnya malam yang seakan semakin mengejek.
Mungkin hanya isu untuk mencairkan suasana yang semakin beku. Kami tidur di lapangan beratap langit dan beralas tikar seadanya tanpa bantal. Malam Senin yang begitu mencekam. Malam yang mungkin akan mengubah insan menjadi lebih baik esok hari.
Malam yang tak akan pernah dilupakan masyarakat Lombok. Malam penuh tragedi. []
- Papuq Nine: Nenek.
- Papuq Mame: Kakek.
- Tuaq: Paman.
- Ye lindur, ye lindur: Ada gempa-ada gempa.
- Erat: Kali/sungai.
- Gudang: istilah yang digunakan untuk menyebut tempat penggilingan padi.