Cinta itu buta. Tapi cinta juga tidak pernah salah. Selalu indah pada waktunya. Walau harus kehilangan nyawa.
Bagaimana mungkin saudara kakak-beradik saling jatuh cinta? Tapi itulah kisah nyata yang terjadi di Kadipaten Tuban. Pangeran Wiratmoyo menyemai kasih cinta dengan adiknya pribadi, Sri Uning.
Tidak bertepuk sebelah tangan, Sri Uning pun di hatinya hanya ada satu pria, yakni Pangeran Wiratmoyo. Hingga ketika mereka dewasa, sebuah rahasia terbongkar dan menambah ketetapan hati dua insan yang dimabuk asmara untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
Akhirnya Pangeran Wiratmoyo tahu juga bahwa kekasih sekaligus adiknya, Sri Uning, hanyalah adik angkat. Sri Uning adalah putri semata wayang dari Almarhum Tumenggung Wangsa Pati.
Sang Tumenggung tidak lain pahlawan Kadipaten Tuban yang gugur dalam peperangan ketika terjadi pemberontakan Kadipaten Blambangan. Ketika itu, Ny Wangsa Pati melahirkan bayi perempuan. Itulah Sri Uning, yang kemudian dirawat dan dibesarkan oleh Kanjeng Adipati Ronggo Lawe sebagai anak angkat, sebagai putri Kadipaten Tuban.
Pangeran Wiratmoyo membongkar rahasia itu dan menceritakan kepada kekasihnya, Sri Uning. Alhasil, dua sejoli itu semakin mantap untuk menjalin kasih dan merencanakan pernikahan di masa depan.
Hingga pada suatu hari, Adipati Tuban, Kanjeng Adipati Ronggo Lawe, memanggil anak anaknya, Pangeran Wiratmoyo, Sri Uning, dan Pangeran Sadara. Titah Adipati Tuban jelas, Pangeran Wiratmoyo dalam waktu dekat segera dinikahkan dengan seorang putri, yaitu anak Adipati Bojonegoro yang bernama Dewi Kumolo Retno.
Hal ini sebagai bentuk persaudaraan dan hubungan baik antara Kadipaten Tuban dengan Kadipaten Bojonegoro. Bagai disambar petir Pangeran Wiratmoyo mendengar perintah itu. Dengan terus terang dan jujur, Pangeran Wiratmoyo berkata kepada ayahandanya bahwa ia hanya mencintai Sri Uning, dan hanya Sri Uninglah yang kelak akan menjadi istrinya.
Namun demikian, Titah dan Perintah Kanjeng Adipati Ronggo Lawe tidak bisa ditolak. Pembicaraan Adipati Tuban dan Bojonegoro sudah final, tidak mungkin untuk diubah atau dibatalkan.
Di tempat lain, di Bojonegoro, Adipati Lamongan melamar putri Adipati Bojonegoro, Dewi Kumolo Retno, untuk dijadikan istri permaisuri. Namun, lamaran itu ditolak karena Dewi Kumolo Retno akn segera menikah dengan Pangeran Wiratmoyo dari Tuban.
Dengan rasa sakit hati dan mengancam untuk memerangi Bojonegoro, pulanglah Adipati Lamongan. Dan malam resepsi pernikahan pun berlangsung, meresmikan hubungan Pangeran Wiratmoyo dengan Dewi Kumolo Retno.
Malam pertama yang kelabu, karena Pangeran Wiratmoyo kelihatan acuh dan tidak bergairah. Dewi Kumolo Retno, sebagai wanita, merasa tersinggung atas sikap dan perilaku Pangeran Wiratmoyo. Dengan muka merah, setengah marah, Dewi Kumolo Retno mendesak dan bertanya, “Kenapa?”
Pangeran Wiratmoyo pun menjawab jujur. Di dunia ini, hanya ada satu wanita di hatinya, dia adalah Sri Uning.”
Ternyata di luar telah terjadi pertempuran dasyat. Adipati Lamongan dan seluruh prajuritnya mengamuk. Bahkan Kanjeng Adipati Bojonegoro telah gugur di medan pertempuran.
Pangeran Wiratmoyo pun turun ke medan pertempuran. Alangkah kagetnya ia melihat Sri Uning ikut berperang, dan kekasihnya itu terluka oleh pusaka Adipati Lamongan. Sri Uning pun gugur di pangkuan Raden Wiratmoyo.
Akhirnya, Pangeran Wiratmoyo “duel” dengan Adipati Lamongan. Karena keduanya sama-sama sakti, akhirnya mereka mati “sampyuh”, meninggal secara bersamaan.
Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Pangeran Wiratmoyo berpesan, “Untuk Persaudaraan dan persahabatan antara Tuban dan Bojonegoro, selanjutnya supaya Dewi Kumolo Retno dinikahkan dengan Pangeran Sadara, adikku.”
Lalu terlihat, sebagai tanda cinta yang tulus suci, arwah Pangeran Wiratmoyo dan Sri Uning, bergandengan tangan menuju surga. [Tegalmulyo, Gunungkidul, Sabtu pon, 14 Desember 2019]