Sekitar satu bulan lebih kami menghabiskan waktu bersama, menyusuri gang-gang kecil dan jalan berkelok-kelok di Gunungkidul, Yogyakarta. Desa di atas pegunungan yang asri ini dipenuhi pepohonan rindang dengan penduduk yang ramah. Kami bersenda gurau penuh sukacita dalam kebersamaan.

Kami terdiri dari 18 orang (6 orang Nusa Tenggara Barat, 6 orang Sulawesi Tenggara, dan 6 orang Papua Barat). Kami hadir ditempat tersebut dengan keinginan dan cita-cita yang sama, yaitu ingin menjadi pemuda terbaik harapan bangsa.

Kami mengisi hari-hari dengan berdiskusi dan bersosialisasi dengan masyarakat di Desa Ponjong, Nglipar, dan Patuk. Di jam-jam pertama setiap hari, kami menerima materi tentang keterampilan, yaitu berupa kerajinan tangan dan ukir kayu, serta cara membuat kue bakpia. Kami menggelutinya setiap hari hingga waktu siang tiba untuk selanjutnya beralih ke aktivitas lain.

Di antara enam teman dari Papua Barat yang masih saya ingat namanya yaitu Frans Yohanes Kawer, yang akrab kami sapa Angki. Sampai hari ini kami masih tetap berkomunikasi lewat Facebook dan WhatsApp. Teman lainnya ada Hermanus Sayori, yang akrab kami sapa herman; kemudian Simon Petrus Psaite, yang akrab kami panggil Simon.

Beberapa bulan lalu, saya mendengar kabar Simon telah meninggal dunia penyakit yang diderita. Saya masih ingat sosok simon ketika berada di aula besar Bumi Perkemahan Cibubur (Buperta). Dalam pertemuan seluruh pemuda se-Nusantara itu, dengan lantang ia menyuarakan kebanggaannya terhadap tanah Papua, menyuarakan persatuan Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Kami yang berada di ruangan tersebut pun berdecak kagum dan memberikan standing applause. Kami  sepertinya baru saja tersihir oleh kalimat-kalimat yang dilontarkannya. Kalimat yang menggugah semangat persatuan dan kesatuan.

Dan, teman kami yang satunya lagi bertama Nita. Ia gadis cantik dari Papua yang setiap hari selalu menemani aktivitas kami bersama warga Gunungkidul.

Berbeda Itu Indah

Kebersamaan itu kami lalui ketika menjadi utusan daerah pada ajang Pertukaran Pemuda Antar-Provinsi (PPAP) tahun 2006 yang diselenggarakan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Saya bersama enam orang lain yang berasal dari NTB mendapatkan penempatan di Kabupaten Gunungkidul.

Tahun itu Yogyakarta masih dalam suasana berkabung karena musibah gempa baru saja berlalu. Hari-hari kami juga masih diselingi getaran-getaran kecil gempa yang membuat kami refleks berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri. Tak jarang kami harus tidur di luar karena takut akan datang gempa susulan yang lebih besar.

Demikian hari-hari kami lewati dengan penuh dinamika. Saling mengisi satu sama lain, saling membantu, dan tak jarang kami silang pendapat dalam berbagai hal terkait pelaksanaan program kerja di lapangan. Angki, temanku dari Papua, bertubuh besar. Sering kami bersilang pendapat dengannya, tetapi tetap berakhir dengan indah.

Kami selalu mengingat kalimat yang keluar dari mulutnya dengan lantang dan keras seolah menunjukkan sedang marah, tetapi sesungguhnya hatinya lembut. Pengertian itulah yang membuat kami tidak mengangapnya marah, dan perdebatan selalu berakhir dengan manis karena ciri khasnya dia selalu tertawa melengking hingga membuat suasana menjadi cair kembali.

Kini, 13 tahun sudah berlalu. Kami mengenang masa-masa bersama itu sebagai memori yang telah menyatukan kami dalam komitmen bersama untuk menatap masa depan negeri ini yang penuh dengan harapan dan cita-cita dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal ini kami ikrarkan ketika malam puncak kegiatan di Buperta. Kami suarakan dengan lantang “Pemuda maju, Olahraga Jaya, Siapa Kita, INDONESIA.”

Kalimat tersebut menjadi doktrin yang terus kami bawa ke daerah penempatan, menyuarakan kebersamaan, persatuan, Bhinneka Tunggal Ika. Kami menyatu bersama masyarakat desa dengan memperkenalkan kebudayaan daerah melalui senam bersama sajojo Papua, tarian lulo Sulawesi Tenggara, dan tarian beriuk tinjal Lombok.

Masyarakat desa senang, dan kami pun ikut gembira karena rasa kekeluargaan begitu erat terpaut dalam hati, membangun kecintaan kami terhadap anak-anak bangsa yang setia bersama dalam perbedaan.

Merawat Kebersamaan

Hingga hari ini kami tetap mengabarkan satu sama lain, baik kontak langsung maupun mengetahui melalui media sosial. Tetapi hari ini kami merasakan suasana yang berbeda, menampakkan suatu kekhawatiran yang begitu mendalam. Kekhawatiran tentang masa depan negeri ini yang dihantui oleh bayang-bayang disintegrasi.

Bangsa ini memang sedang diuji, tetapi ujian terhadap persatuan bangsa ini tampaknya tak cukup kuat untuk kami hadapi sendiri-sendiri. Sepertinya bangunan kebersamaan telah digerogoti oleh rayap-rayap yang tidak ingin melihat bangsa ini tetap bersatu.

Miris memang melihat kejadian yang akhir-akhir ini beredar di media sosial. Kebersamaan mulai terkoyak kerusuhan, pertikaian, perselisihan, dan pembunuhan yang seharusnya tidak boleh terjadi.

Terlepas dari kondisi tersebut dipengaruhi oleh kepentingan politik internasional atau murni dari mereka yang mendambakan kebebasan dalam arti sebenarnya, kami tetap mengharapkan kebahagiaan dan kenyamanan sahabat-sahabat kami di Papua, di Tanah Air yang kita cintai. Kami tidak ingin pautan hati ini tercerabut dari akar kebersamaan yang telah tertanam puluhan tahun lamanya.

Ketika memandang wajah mereka dalam album foto yang masih tersimpan rapi di kamar, saya merasa yakin bahwa saudara kami di Papua telah ditakdirkan oleh Allah SWT untuk tetap bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Demikian pula sebaliknya keyakinan mereka tentang arti kebersamaan, sahabat yang tidak lekang oleh waktu, oleh Tuhan telah ditakdirkan kita tetap bersama dalam kebersamaan.

Teruntuk sahabatku Angki, Herman, Nita, dan Simon terkhusus yang telah mendahului kita, biarkanlah Bumi Nusantara ini tetap menjadi kebanggaan kita bersama. Biarkanlah cenderawasih tetap mengepakkan sayapnya di bumi khatulistiwa.

Jangan biarkan negeri ini terkoyak, jangan biarkan tangan-tangan jahat mencabik-cabik bangunan peradaban ini. Kami titip cinta kasih kami yang tulus kepada kalian semua. Mari tetap kita saling menautkan hati untuk sama-sama menatap negeri ini dalam segala kekurangan dan kelebihannya.

Cinta kami untuk sahabat kami di Papua.

Gunung dan tanjung terpele.
Wajahmu terpele.
Berpisah lewat pandangan.
Bertemu dalam doa.

 

 

 

Roy Marhandra
Author: Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

By Roy Marhandra

Alumnus Magister Komunikasi dan Penyiaran Islam dan pemerhati pendidikan.

One thought on “Titip Cintaku di Tanah Papua”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *