Syahdan, seorang pertapa hidup bahagia bersama istri dan tiga anaknya. Pertapa tersebut adalah Resi Gautama, dan tempatnya bertapa biasa disebut sebagai pertapaan “Pancuran Manik”.

Anaknya yang sulung adalah perempuan dengan nama Dewi Anjani. Sedangkan dua adik laki-lakinya bernama Guarsi dan Guarso.

Suatu ketika keheningan, kebahagiaan, serta ketentraman pertapaan Pancuran Manik terusik oleh sesuatu hal yang tidak disengaja, dan di luar dugaan siapa pun. Yakni ketika istri Resi Gautama ingin memberi hadiah sebagai tanda mata kepada Dewi Anjani berupa cincin pusaka Cupu Manik Asta Gino.

Nah, sebelum Dewi Anjani menerima hadiahnya, ternyata kedua adiknya—Bambang Guarsi dan Bambang Guarso—juga ingin memiliki cincin tersebut. Ketiganya pun memperebutkan cincin itu, hingga Resi Gautama mengetahui kejadian tersebut.

Akhirnya cincin itu diambil dan dipegang oleh Resi Gautama. Toh, ia sedikit heran dan masygul dalam hati, karena merasa tidak pernah memberi istrinya sebuah cincin. Dalam hati, Resi Gautama bertanya tanya: Dari mana istrinya mendapatkan cincin pusaka Cupu Manik Asto Gino?

Sementara itu, ketiga anaknya terus merengek meminta cincin itu.

Dalam diam dan marah, Resi Gautama melempar dan membuang jauh-jauh cincin itu. Lalu, tanpa berpikir panjang, ketiga anaknya langsung berlarian mengejar ke mana jatuhnya si cincin yang telah dibuang Resi Gautama.        

Saat ketiga anaknya berlari ke hutan untuk mencari cincin, Resi Gautama kemudian bertanya kepada istrinya. Beliau ingin sekali memperoleh keterangan dari mana cincin itu berasal. Namun, berkali kali ditanya, istrinya tetap diam seribu bahasa.

Baca juga: Pandu Swargo: Adakah Dosa yang Tak Terampuni?

Sebenarnya, istri Resi Gautama takut juga bila suaminya cemburu. Karena sebenarnya cincin Cupu Manik Asto Gino itu pemberian Dewa Surya, yaitu Dewa Matahari, ketika dirinya masih lajang. Maka untuk menutupi rahasia itu, dia memilih mogok bicara.

Telaga Angker

Bagaimanapun, Resi Gautama tetaplah seorang yang sakti luar biasa. Setengah kesal karena istrinya tak kunjung menjawab, beliau bergumam, “Ada manusia ditanya, kok, diam saja, seperti patung, seperti tugu.” Sabda itu pun terwujud. Jadilah istrinya sebuah “arca tugu”.

Lantas, dengan rasa sedih dan duka mendalam, Resi Gautama membuang arca tugu itu sampai jatuh ke tengah alun-alun Negeri Alengka. Tidak lama kemudian, karena dirundung kesedihan, Resi Gautama pun meninggal dunia.

Adapun Dewi Anjani, Guarsi, dan Guarso terus berlari, mengikuti ke arah jatuhnya cincin itu. Ternyata Cincin Cupu Manik Asto Gino jatuh ke dalam telaga. Guarsi dan Guarso pun masuk ke telaga, sementara Dewi Anjani karena perempuan hanya cuci muka, cuci tangan, dan cuci kaki.

Tidak tahunya, telaga itu angker dan gawat. Guarsi dan Guarso tidak memperoleh cincin itu, namun seluruh tubuh mereka berubah wujud menjadi Wanara atau pragosa atau kera atau monyet. Sedangkan Dewi Anjani, di bagian muka, tangan, dan kakinya tumbuh bulu seperti seekor kera.

Setelah menyadari keadaan itu, ketiganya berpelukan sambil menangis di pinggir telaga. Mereka lalu berpisah untuk mencari jalan hidup masing-masing.

Bambang Guarsi berganti nama menjadi Resi Subali, kemudian bertapa di Goa Kiskendo. Bambang Guarso berganti nama menjadi Sugriwo, kemudian mengembara untuk menambah kesaktian dan mencari keberuntungannya. Sementara Dewi Anjani bertapa tanpa busana di Telaga Cibuk Cangkiran.

Baca juga: Gatotkaca Suci

Tak lama berselang, Raja Dewa Sang Hyang Guru, ya Sang Hyang Pramesti, melihat Dewi Anjani bertapa. Maka, turunlah “koma” (benih dari sari buah, daun, dan air) dan dimakan oleh Dewi Anjani. Lalu mengandunglah Dewi Anjani.

Setelah lahir, anak di kandungannya itu diberi nama Hanoman alias Kera Berbulu Putih. [Rabo pon, 25 September 2019, Wonosari, GunungKidul, Yogyakarta]

Wija Sasmaya
Author: Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

By Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *