Kekerasan, atas nama apa pun, pertama-tama hanya menyisakan getir kepedihan.

Agama, ideologi, dan narasi besar lain yang ampuh sebagai dasar legitimasi, tak bisa menyangkal itu. Juga kata-kata bijak bahwa butuh pengorbanan untuk mewujudkan mimpi keadilan.

Pertanyaan dasarnya masih sama: siapa yang bisa menjadi korban, dan mengapa dia boleh dikorbankan?

Agus Rois, lewat buku berjudul Teror: Catatan Filsafat dan Politik tentang Firman dan Iman (2016), seolah menyatakan tak ada yang layak dikorbankan atas dasar apa pun.

“Kenapa mesti saling benci, memusuhi, bila ditinggalkannya dunia ini pada akhirnya, tua, sendiri, dan tak akan pernah kembali?” ia balik bertanya.

Tapi bagaimana dengan janji para bidadari (kesenangan) di surga nanti (hidup setelah kematian hari ini)? Tak sedikit dari kita yang bersedia menjadi martir demi janji tersebut.

Apakah mereka, para martir itu, bisa disebut sebagai orang-orang yang termakan janji semu? Tentu masalahnya lebih pelik lagi. Tak mudah membuktikan benar-tidaknya sesuatu yang terjadi kemudian. Yang bisa kita lakukan sebatas menunggu.

Namun kita juga bisa menggeser sudut pandang, sesuai fitrah manusia sebagai makhluk-yang-memaknai. Dalam hal “bidadari di surga nanti” atau “kesenangan dalam hidup setelah kematian hari ini”, kita perlu memahami “mati” sebagai laku meninggalkan segala hasrat duniawi.

Dan, hasrat ini mencakup banyak hal: kekuasaan, kekayaan, ketenaran, dan sejenisnya.

Dengan demikian, surga bisa dijumpai jika—dan hanya jika—seseorang telah selesai dengan nafsu diri. Kepada merekalah pada bidadari akan menampakkan wujudnya.

Sedangkan orang yang berjuang demi hasrat duniawi tak bisa disebut martir. Ia sekadar “bakul desas-desus”, semacam pengusaha yang meraup keuntungan dengan menjual ketakutan dan ancaman.

Stigma dan Agenda

Toh, Teror karya Agus Rois tak hanya menuding para teroris “yang tak ingin mencintai semua orang sebagai saudara”. Ia juga menunjukkan bagaimana timpangnya satu kubu (Islam) disudutkan sebagai sumber malapetaka, sementara kekerasan pun terjadi di tempat lain dan dilakukan kubu lain pula.

Pada akhirnya memang tidak ada stigma tanpa agenda. Kan, cara termudah seorang maling meloloskan diri sambil menikmati harta jarahannya adalah dengan mendakwa orang lain sebagai maling.

Celakanya, pihak di sekeliling mereka (para maling dan terdakwa maling), yang tidak tahu persis masalahnya, merasa perlu membela dengan lantang —bahkan kalau perlu sampai menyingsingkan lengan baju dan mengepalkan tangan.

Hingga kemudian yang dibela sesungguhnya bukan nilai-nilai utama: kebenaran, keadilan, kepentingan bersama, atau apa pun namanya. Melainkan mereka membela ikatan primordial atas nama kelompok.

Hal ini menyedihkan sekaligus menggelikan, seperti diungkapkan Agus Rois, “Hari ke hari, orang masih suka membunuh atas nama kitab suci, bertikai atas nama Tuhan, yang justru memberikan kehidupan.”

Sayang, Teror belum mengulik bagaimana roda kekuasaan bergerak mengakomodasi sekaligus memelihara teror agar lestari.

Padahal, tak bisa dikesampingkan begitu saja “latar belakang” berdirinya Negara Islam Irak dan Suriah serta front sipil-paramiliter di Indonesia yang kini leluasa petantang-petenteng menggerebek sana-sini. Tentunya, latar belakang itu bukan agama—malah mungkin tak ada kaitannya sama sekali. []

Judul buku: Teror (Catatan Filsafat dan Politik tentang Firman dan Iman)
Penulis: Agus Rois
Penerbit: Makar
Cetakan: Pertama, Maret 2016
Tebal: xiv + 224

Satya Wibisana
Author: Satya Wibisana

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *