Beberapa hari lalu, saya membaca tulisan “Menakar Integritas ASN” dari Tuti Aprianti. Sebuah tulisan yang bagus dan bermakna. Saya pun jadi ingin berbagi pengalaman setelah membacanya. Selama tinggal di luar negeri, ada satu hal yang menurut saya sangat berpotensi mempengaruhi integritas, yaitu lingkungan. Sebab, kita harus melakukan penyesuaian diri menghadapi lingkungan baru—termasuk menyesuaikan berbagai kebiasaan.
Terkadang, hal ini dapat membuat kita mengalami krisis identitas. Contohnya, kita terbiasa melakukan salat lima waktu. Tapi, kemudian kita meninggalkannya karena berpikir kegiatan ibadah itu belum bisa diterima di tempat yang baru. Padahal, sebenarnya itu hanya pikiran kita. Hanya masalah komunikasi. Berdasarkan pengalaman saya sendiri di tempat magang, alhamdulillah, setelah dikomunikasikan, saya mendapat waktu 15 menit untuk salat zuhur di kantor.
Adapun tantangan yang sebenarnya adalah bagaimana kita bisa memfilter pengaruh negatif dari lingkungan baru dengan semua kebiasaan yang baik dari budaya kita. Seharusnya, kita dapat mengambil hal-hal yang baik dari tempat baru dan memperkenalkan budaya yang baik pula dari tempat kita. Tapi terkadang yang terjadi sebaliknya, karena kita gamang dengan identitas diri kita.
Maka dari itu, integritas keindonesiaan kita harus dikuatkan. Bagaimana budaya ramah-tamah, gotong-royong, tradisi saling membantu, dan ketaatan ibadah yang tumbuh dalam keseharian kita dapat diperkenalkan ke lingkungan baru. Misalnya, kita menunjukkan bahwa salat dan puasa bukan penghalang produktivitas, melainkan justru dapat membuat kita lebih produktif.
Lebih lanjut, kita dapat “menandingi” kebiasaan orang-orang luar negeri yang suka berpesta, keluar malam, dan tentu meneguk minuman beralkohol. Kita perlu menunjukkan bahwa tanpa melakukan itu pun kita tetap bisa bersosialisasi dengan baik. Contoh kasus, di lingkungan baru, kita malu untuk menyampaikan bahwa sekarang sudah waktunya beribadah karena tidak ada yang melakukannya. Alhasil, kita ikut saja dengan kebiasaan di sana agar dianggap bisa menyesuaikan diri.
Namun, kemudian akan muncul banyak pertentangan di dalam diri. Mau ikut dengan lingkungan yang baru atau melakukan kebaikan yang kita bawa dari Indonesia?
Sebenarnya orang Indonesia di luar negeri sudah dikenal sebagai orang yang gigih, ulet, dan pantang menyerah. Hanya perlu penguatan lagi agar mampu bertahan sebagai minoritas di negara asing. Terkadang, tekanan datang dari lingkungan, semisal lewat pertanyaan: Kok, mau sih capek-capek menahan lapar buat puasa? Terus, tidak capek ibadah lima waktu dalam sehari?
Sejatinya, terkadang mereka hanya butuh penjelasan logis atas apa yang kita lakukan. Misanya, puasa itu penting untuk kesehatan, dan salat itu sendiri bagian dari upaya mengistirahatkan tubuh dan pikiran agar kita bisa bekerja lebih baik lagi. Sederhananya, semua ini tentang bagaimana kita memperkenalkan budaya kita yang baik dan mengambil hal-hal positif dari negara lain.
Alhamdulillah, saya juga melihat teman-teman Indonesia di luar negeri saling menguatkan. Jadi, kita saling mengingatkan dan mendukung menghadapi semua permasalahan yang dialami. Kita sudah bukan berbicara dalam lingkup Nusa Tenggara Barat (NTB) lagi, karena kita bertemu juga dengan teman-teman dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Kita pun banyak melakukan kegiatan positif, termasuk dalam wadah Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Polandia. Salah satunya, pengajian masyarakat Indonesia di Kota Warsawa—saat ini ketua pengajiannya mahasiswa dari NTB.
Jadi, begitulah, kami di sini terus memperjuangkan dan menjaga integritas keindonesiaan. Selanjutnya, marilah kita sama-sama melakukan kegiatan yang positif agar dapat menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia bisa memberi dampak baik bagi lingkungan di mana pun kita berada. Sekian dan terima kasih, hanya sedikit kisah ini yang bisa saya bagi. Mohon maaf kalau banyak kekurangan dan kesalahan yang datangnya dari saya, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. []
Penulis saat ini sedang melanjutkan pendidikan master di jurusan manajemen, Vistula University, Polandia.