Lurik, yang umumnya dikenal sebagai pakaian tradisional pedesaan dalam bentuk surjan, kebaya, atau selendang, mulai mengalami perkembangan dari sisi fashion. Kelompok pengrajin lurik di Moyudan, Sleman, Yogyakarta, awalnya merupakan pengrajin stagen. Setelah mendapat pembinaan dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, mereka mulai berkembang memproduksi kain lurik agar dapat dibuat menjadi baju.
Lurik menjadi salah satu kain tradisional Nusantara yang tak kalah menariknya dengan batik. Berbagai cara dilakukan untuk melestarikan lurik, seperti mengikuti pameran serta meningkatkan peran Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) sebagai organisasi wadah pengembangan produk kerajinan unggulan yang mengoptimalkan keberadaan workshop. Diharapkan dapat menghubungkan konsumen dengan pengrajinnya langsung. Bahkan ada kebijakan di beberapa daerah penghasil lurik seperti Kabupaten Klaten, sebagai salah satu upaya pelestarian lurik dengan menjadikannya pakaian dinas.
Baca tulisan sebelumnya: Siapa Melirik Lurik? (1)
Proses Pembuatan Lurik
Pembuatan kain lurik dimulai dengan proses pemintalan benang menggunakan tangan, lalu ditenun menggunakan alat tradisional bernama gedog/gendhong menjadi selembar kain. Dalam perkembangannya, pembuatan kain lurik kini menggunakan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin) yang mampu menghasilkan kain lebih lebar dan panjang, bertekstur halus, dan tidak mengerut.
Tahapan proses pembuatan kain lurik dimulai dari menyiapkan benang atau lawe, umumnya benang berwarna hitam-putih, lalu diberi warna dari kulit mahoni menjadi warna cokelat, serta pewarna tarum yang menghasilkan warna nila, biru tua, dan hitam. Selanjutnya benang dicuci berkali-kali, dipukul hingga lunak, lalu dijemur, dibaluri nasi dengan kuas. Perkembangannya kini juga bergeser ke pewarna sintetis, dengan proses benang digodog atau direbus bersama pewarna, dijemur, dipintal memakai jontro (roda sepeda), di-boom pakai mesin, lalu dimasukkan gun dan suri, baru selanjutnya ditenun.
Seorang penenun berhasil membuat 10 meter kain dari sekitar 5 pak benang. Benang ini berasal dari dalam negeri seperti Majalaya, Klaten, dan Surabaya. Saat ini pun telah diproduksi benang warna di Bandung.
Para Penenun Lurik
Salah satu kendala pembuatan kain lurik adalah dari para penenun yang umumnya orang-orang tua berusia di atas 50 tahun. Proses pembuatan lurik tradisional pun lumayan lama, sehingga harganya lebih mahal dibanding lurik menggunakan mesin. Pertanyaan bagi generasi muda ke depan, siapa yang berminat menjadi penenun dan akan terus melestarikan pembuatan lurik?
Para orang tua termasuk kelompok yang sabar dan telaten menenun. Di Moyudan, Yogyakarta, para penenun mengerjakan di rumah masing-masing untuk selanjutnya dikumpulkan di satu tempat sebagai pemasar. Sehari-hari, biasanya penenun tetap melakukan tugas utama sebagai petani dan penggarap sawah. Pembuatan lurik menjadi salah satu pengisi waktu saat menunggu panen tiba.
Di masa pandemi saat ini, orientasi masyarakat lebih ke pemenuhan kebutuhan pokok dan perut, sehingga sedikit-banyak berdampak pada turunnya produksi lurik. Beberapa kegiatan, seperti pembuatan masker lurik, dilakukan untuk mengisi waktu dan menambah pemasukan.
Perawatan Lurik
Keunikan kain lurik lainnya adalah sebelum dijahit menjadi pakaian, sebaiknya dicuci atau sekadar direndam terlebih dahulu dan selanjutnya dijemur. Jika tidak dilakukan, maka kain akan mengerut atau menyusut sehingga ukurannya lebih kecil. Pakaian yang berbahan baku kain lurik sebaiknya dicuci dengan tangan tanpa menggunakan mesin cuci, tidak disikat karena dapat merusak serat kain dan pencuciannya tidak menggunakan sabun, lebih baik menggunakan lerak atau sampo.
Cara menjemur kain lurik sama seperti batik. Untuk menghindari pudarnya warna, sebaiknya dijemur di tempat teduh. Proses menyetrika pun bersuhu rendah dengan alur gerakan mengikuti pola kain, dan masih diperbolehkan menggunakan pewarna atau pelicin pakaian. Untuk penyimpanan di lemari, berdasarkan pengalamanan, akan lebih rapi digantung dibandingkan dilipat agar tidak mudah kusut.
Keistimewaan Lurik
Motif kain lurik yang hanya berupa garis-garis ternyata menjadi keunikan tersendiri jika dipadupadankan dengan kain polos, tenun, ataupun batik. Kesan klasik dan eksotik justru terpancar dari perpaduan tersebut sehingga tak berkesan kuno dan monoton.
Desain Lurik
Kain lurik kini banyak didesain menjadi dres, setelan, celana, rok, dan sebagainya dengan kombinasi kain polos hingga tenun. Pada akhirnya, hal ini meningkatkan nilai jual tersendiri. Bahkan gorden untuk interior rumah, dompet, tas, sandal, topi, sarung bantal, dan taplak meja hingga masker mulai banyak ditemui yang berbahan baku kain lurik. Keunikan dan keindahan lurik menjadi ciri khas seni yang menonjol, bahkan tidak terkesan murahan atau ndeso.


Contoh produk lurik Diwasasri. Untuk pemesanan dan katalog produk lainnya, klik:
Pengalaman Berkesan dengan Lurik sampai ke Jepang
Perkenalan pertama tak terlupakan bagi saya dengan kain lurik terjadi saat berkunjung ke Dekranasda Kabupaten Sleman, di Jalan Parasamya, di Kompleks Pemda Sleman. Selama ini saya hanya tahu kain lurik dengan warna khas cokelat dan hitam, terkesan jadul, kuno, dan kurang menarik. Tetapi di sini saya justru disuguhi berbagai warna lurik yang menarik seperti hijau muda, ungu, merah jambu, dan sebagainya yang disandingkan dengan batik khas Sleman, parijotho.
Proses padu padan lurik dan batik itulah yang mengantarkan cinta pertama saya pada lurik. Setelah saya membuat lurik menjadi baju, justru banyak kawan yang tertarik, maka pemburuan kain lurik ke pengrajin pun dimulai. Hobi lama menggambar desain baju, dari hanya sekadar corat-coret sketsa di kertas mulai saya bangkitkan kembali. Saya mulai menawarkan desain sketsa pada teman yang fashionable dan berbakat modeling hingga jatuhlah pilihannya pada outer atau long vest perpaduan lurik klasik cokelat dengan warna kain polos mustard.
Postingan lewat media sosial Facebook pun menarik perhatian salah seorang teman yang sedang menyelesaikan magister di Negeri Sakura, Jepang. Negeri impian yang ingin saya tapaki setelah Mekkah dan Madinah. Itulah pesanan pertama saya, mengirimkan hampir dua lusin outer atau long vest dengan warna dan kombinasi yang berbeda. Rasanya senang dan terharu, campur aduk, karena walaupun raga belum sampai sana justru desain lurik mendarat dengan selamat.
Dari situlah lahirnya Diwasasri, yang dalam bahasa Sanskerta berarti matahari untuk menjadi penerang, mengangkat kesan klasik, unik, dan eksotik dari kain-kain tradisional. Kita berharap para penenun yang telah berusia paruh baya pun tetap semangat melestarikan lurik. Mari bersama beraksi nyata melestarikan dan mengangkat kain tradisional dengan karya agar lebih bernilai, sehingga banyak orang ingin memiliki, memakai, dan menjadikannya salah satu koleksi pakaian sehari-hari. []
Sumber :
- https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160330013322-277-120390/kisah-panjang-lurik-si-kain-bergaris
- https://www.goodnewsfromindonesia.id/2019/10/24/filosofi-dalam-motif-garis-kain-tenun
- https://griyatenun.com/blog/tips-mudah-merawat-kain-lurik-
- Buku karya Nian S. Djoemena, Lurik: Garis-garis Bertuah, yang terbit pada tahun 2000