Raja Astina Pura, Raja Duryudana, sedang bersedih karena Putra Mahkota Pangeran Sarjo Kusumo pergi tanpa pamit. Entah ke mana ia pergi, tidak ada seorang pun yang tahu.

Maka, raja memerintahkan Patih Sengkuni dan adik-adik raja, yakni Pangeran Dursasana, Pangeran Burisrawa, Pangeran Tirtanata, dan Pangeran Durmogati, beserta seluruh prajurit, untuk mencari Pangeran Sarjo Kusumo. Sang pangeran harus ditemukan, entah dalam keadaan hidup atau mati.

Sementara itu, di Kerajaan Dwarawati terjadi hal yang sama. Raja Sri Bathara Krisna juga bersedih karena Putra Mahkota Pangeran Sombo Wisnubroto menghilang entah ke mana. Ia pergi tanpa pamit, dan tidak ada seorang pun yang tahu.

Alhasil, raja memerintahkan Patih Udawa serta Senopati Perang Raden Haryo Setiyaki untuk mencari Pangeran Sombo Wisnubroto disertai prajurit secukupnya.

Di lain tempat, yakni Kesatrian Tanjung Anom, Raden Abimanyu juga pergi tanpa pamit dan tidak ada seorang abdi pun yang tahu ke mana.

Ternyata Pangeran Sarjo Kusumo dari Astina Pura dan Pangeran Sombo Wisnubroto dari Dwarawati pergi dari kerajaan masing masing ke Hutan Tebrasara. Keduanya hendak bertapa, bersemadi guna mendapatkan anugerah dari para dewa berupa Wahyu Cakraningrat.

Itulah wahyu kerajaan. Barang siapa memperoleh Wahyu Cakraningrat, kelak akan menurunkan para Raja di tanah Jawa.

Turun ke Bumi

Sementara itu, di Kahyangan Cakrakembang, Dewa Bathara Kamajaya berhadapan dengan Wahyu Cakraningrat. Ia menyatakan sudah saatnya Wahyu Cakraningrat turun ke bumi. Bathara Kamajaya berpesan agar Wahyu Cakraningrat berhati-hati dalam memilih tempat, di mana ia harus menyatu, sejiwa, dengan satria yang kelak akan menurunkan para raja di Tanah Jawa.

Kemudian, dalam proses pencarian sang pangeran, sempat terjadi peperangan antara prajurit Astina Pura dengan prajurit Dwarawati di Hutan Tebrasara. Mereka salah paham dan menuduh pihak lawan telah menyembunyikan, atau bahkan membunuh, putra mahkota dari kerajaan masing masing.

Namun, peperangan itu tidak sampai menimbulkan korban jiwa dan akhirnya justru mereka bergabung untuk bersama sama mencari putra mahkota masing-masing.

Pada saat bersamaan, Wahyu Cakraningrat akhirnya turun ke bumi. Sinar kebiruan itu masuk ke dalam jiwa Pangeran Sarjo Kusumo. Tak lama berselang, sinar itu keluar lagi karena terasa panas, tidak tahan. Pangeran Sarjo Kusumo tidak mempunyai akal pikiran yang sehat.

Selanjutnya, Wahyu Cakraningrat masuk ke jiwa Pangeran Sombo Wisnubroto. Pun sinar kebiruan itu tak lama kemudian keluar lagi akibat tidak tahan, terasa panas. Karena Pangeran Sombo Wisnubroto punya karakter sombong dan angkuh.

Lantas, Wahyu Cakraningrat masuk ke jiwa seorang brahmana yang sedang bersemadi di pertapaan “Waringin Putih”, yakni Begawan Madu Bronto. Sinar kebiruan itu merasa pas dan cocok, terasa dingin dan “adem ayem” serta “ayem tentrem”.

Siapa sangka, siapa kira, ternyata Begawan Madu Bronto adalah Satria Tanjung Anom alias Raden Abimanyu, putra Harjuna. Maka, kelak putra Abimanyu yakni Parikesit-lah yang akan menjadi raja. [Tegalmulyo, Kamis pon, 14 November 2019]

Wija Sasmaya
Author: Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

By Wija Sasmaya

Penulis dan penyair.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *