Saat saya sampai ke ruangan untuk mengambil bagasi, Maulida belum juga muncul. Saya menunggu bagasi cukup lama. Akhirnya, ketika saya akan keluar ruangan, Maulida muncul dan menyapa. Dia bilang tadi ada sedikit masalah tapi sudah beres.
Kami berjalan bersama menuju pintu keluar. Dia membantu saya menanyakan ke security tentang layanan Internet di bandara. Tapi bahasa Jerman saya belum lancar. Saya tidak mengerti apa yang mereka katakan. Maulida pun menawarkan saya untuk mengantar sampai ke rumah.

Saat di ruang kedatangan, dia masih ingin membantu saya membeli tiket kereta. Dia sebelumnya menawarkan untuk mengantar saya sampai rumah dengan mobil jemputan dari sebuah lembaga yang mengurusi masalah pengungsi. Tapi ketika akan menuruni tangga eskalator, saya disambut oleh tiga orang yang berwajah Indonesia. Sepertinya mereka dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Hamburg.
Saya tidak menyangka mereka akan menjemput. Saya hanya menghubungi salah seorang admin Facebook grup PPI di hari saya meninggalkan Indonesia. Karena tidak ada akses Internet, saya tidak tahu apakah mereka membalas pesan saya atau tidak. Saya sangat senang mereka datang menjemput. Saya tidak kenal banyak orang di Hamburg kecuali satu orang teman, tapi dia sedang berada di luar Jerman.
Mereka menyapa saya hangat dengan ucapan selamat datang. Mereka mentraktir saya makan bersama di restoran cepat saji. Ketika itu, seorang perempuan Jerman mendatangi Maulida. Tampaknya dia dari lembaga yang diceritakan Maulida sudah banyak membantu para pengungsi.
Saya memberikan sebungkus biskuit Indonesia dengan tergesa-gesa dan berharap Maulida mengambilnya. Awalnya dia menolak, tapi saya sedikit memaksakan sebagai ucapan terima kasih. Saya senang lantas dia mau menerimanya, tapi tidak ada pikiran untuk saling bertukar nomor telepon. Saya benar-benar lupa, ini karena ponsel saya belum dinyalakan akibat tidak ada sinyal dan Internet.
Setelah makan kentang goreng, teman-teman mahasiswa Indonesia mengantar saya pulang dengan kereta. Sepanjang perjalanan, kami banyak mengobrol tentang Hamburg, tapi satu ruang dalam pikiran saya terus memikirkan Maulida. Kenapa saya tidak meminta nomor teleponnya? Saya benar-benar ingin bertemu dengannya lagi.
Waktu pun berlalu dengan segala hal yang terjadi di Hamburg, segala musim telah terlewati, dan saya selalu berhenti setiap kali melihat sosok pemuda Afrika dengan ransel leopard. Saya berharap itu Maulida. Cukup banyak imigran Afrika di Hamburg, dan itu membuat semakin sulit menemukan Maulida.
Setiap memasuki kereta, saya tidak bisa untuk tidak memperhatikan pemuda kulit hitam dengan ranselnya. Tatapan saya tak akan lepas sampai benar-benar melihat wajahnya, memastikan itu Maulida atau bukan.
Seperti membuka halaman pertama sebuah buku, ini kesan pertama di awal perjalanan yang tak pernah saya lupa. Rasanya seperti bertemu dengan saudara sendiri, saya banyak dibantu selama dalam perjalanan.
Saya ingat wajah Maulida yang tenang dan ransel motif leopard yang khas. Cahaya mata dan garis senyum di wajahnya memancarkan bahwa ia sudah melewati banyak suka-duka, berpisah dari keluarga akibat perang, dengan debaran cemas sepanjang waktu.
Baca Juga: Titip Cintaku di Tanah Papua
Dua tahun sudah saya menjalani kehidupan di Hamburg, entah kapan bisa bertemu dia lagi. Dalam hidup ini, benarkah ada orang-orang yang dipertemukan dua kali? Kata seorang teman, “In life, people meet twice.” []