Subjek atau Objek Internet?
Dikutip dari The Guardian, dalam sehari setidaknya ada 5 exabyte informasi yang masuk melalui Internet, atau setara dengan 40 ribu film berdurasi dua jam per detiknya. Data Kementerian Komunikasi dan Informasi menyebutkan, 63 juta orang Indonesia pengguna Internet dan 95 persen menggunakan Internet untuk mengakses jejaring sosial.
Indonesia menempati posisi keempat dalam jumlah pengguna Facebook (65 juta), setengahnya merupakan pengguna aktif. Adapun jumlah pengguna Twitter di Indonesia pada 2014 mencapai 19,5 juta, atau ketiga di dunia.
Dan, hingga 2019, Indonesia masih duduk bersama negara-negara lain, yaitu Tiongkok, Amerika Serikat, India, Brazil, dan Jepang, sebagai pengguna Internet terbesar di dunia.
Demikian pula saat ini penggunaan Internet of Things (IoT), big data, cloud database, blockchain, dan semacamnya akan mengubah pola kehidupan manusia.
Di dalam Internet, ada tatanan demokrasi yang terbangun karena terdapat kebebasan pengguna sesuai dengan kepentingan masing-masing—dan bahkan Internet bebas dari sensor. Negara-negara seperti Tiongkok, Rusia, Iran, dan Arab Saudi mencoba menyensor Internet, namun entah bagaimana informasi tetap saja bisa keluar-masuk.
Negara tidak bisa mengendalikan dunia maya. Di Internet, ada debat dan diskusi. Ada pendapat dan bantahan. Demokrasi berkembang dari diskusi-diskusi di ruang maya. Facebook, Twitter, blog, saat ini telah menjadi jurus ampuh untuk menyebarkan paham demokrasi. Hampir tak satu pun negara di dunia yang steril dari pengaruh Internet.
Amerika Serikat sendiri, yang mengklaim menguasai teknologi informasi, tetap tak terelakkan dari gempuran propaganda media sosial. Para peretas berusaha membajak situs-situs milik pemerintah AS dan Eropa. Tentu AS dan Uni Eropa membalas.
Terorisme digital pun menyerang situs-situs negara Barat. Organisasi teroris amat lihai menggunakan Internet sebagai sarana propaganda. Ini permainan tingkat tinggi yang mempertontonkan kepongahan negara-negara besar seperti, AS dan Tiongkok, dalam merebut pengaruh dunia.
Strategi kontra intelijen, Proxy War, kadang menjadikan negara berkembang seperti Indonesia mendapatkan imbas negatif yang berpengaruh terhadap stabilitas nasional. Pertanyaan selanjutnya, apakah basis Islam Indonesia sudah siap dengan SDM yang ada untuk membendung media internasional dalam membentuk opini dunia?
Adakah kekuatan basis Islam di pondok pesantren siap menghalau serangan ini? Ataukah kita hanya akan menjadi objek Internet? Dengan kata lain, apakah para santri hanya akan menjadi korban dari dampak negatif Internet atau tumbuh sebagai generasi milenial yang dapat mengendalikan Internet itu sendiri. [baca selanjutnya: Pesantren Adalah Kunci]
[…] Baca juga: Tantangan Internet di Kampung Santri […]
Nice post,thanks for sharing,very useful
Visit Us
Terima kasih, artikel yang menarik~
Kunjungi :
Website Kami
Website Kami
Thank you for sharing, please visit
Visit Us